Rini dan mertuanya asyik bermain bersama Edo, Edo semakin hari semakin kelihatan bertambah akal dan kelakuannya. Canda dan tawa menghiasi wajah mereka saat bermain bersama dip ruang tengah. Rini sejak awal menikah memang ikut keluarga besar suaminya, karena Agus adalah anak sulung dan yang mau merawat kedua orang tuanya.
Selain alasan mereka belum punya rumah juga, sejak awal sudah dilarang jauh dari orang tuanya. Akhirnya Rini ikut tinggal bersama mertuanya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari arah depan. Rini bersiap membuka pintu.
"Halloo, gimana ni kabarnya, wah lagi ngumpul nih." Winda adik kandungnya bang Agus yang sudah berkeluarga datang bersama anak semata wayangnya, Icha. Meski berbeda kota, namun dalam masa sebulan dua atau tiga kali selalu datang mengunjungi orang tuanya.
"Baik Win, masuk yuk."
"Eh Win, suami kamu tau kan kamu ke sini?"
"Udah Bu, sebenarnya dia mau ikut, tapi kerjanya gak bisa ditinggal, maaf ya Bu.""
"Iya gak masalah, gimana semua sehat kan?"
"Aku ke sini mau ngasi tau ini Bu." Winda tersenyum penuh makna sambil mengelus perutnya.
"Kamu hamil? Iya?"
"Alhamdulillah Bu." Winda tersenyum. Namun beda dengan Rini, entah kenapa dia seperti kurang senang mendengar Winda hamil. Dia teringat perutnya sendiri. Apa kabar ya dengan kandungannya? Sepertinya hari ini tak ada mual sama sekali. Namun dia mulai khawatir andai yang diminumnya kemarin tak membuahkan dampak sama sekali.
"Waah Ibu bakal dapat dua cucu setelah Icha dan Edo."
"Maksud Ibu?"
"Rini juga hamil Win."
"Ya Allah, syukurlah bu, senang dengarnya."
"Itulah, kamu jaga makan minum kamu ya, vitamin, susu, istirahat. Jangan ke sini dulu ya. Kan jauh Win."
"Iya Bu, kan winda gak sabar mau ngasi tau ibu tentang ini."
"Bu, Rini ke kamar bentar ya ganti pempers Edo."
"Iya, Ibu, Icha dan Winda ke belakang ya."
Dengan cepat Rini berjalan ke kamar. Dia meletak Edo dan mulai melihat perutnya di cermin. Belum ada kelihatan beda. Sama saja saat dia tak hamil. Apa obat itu sudah bekerja dengan baik? Tapi kenapa belum ada tanda ya? Sedangkan tiga hari lagi tepat tiga minggu usia kandungannya. Gawat! Apa yang harus dilakukannya?
Dilihatnya wajah Edo. Berdosakah yang dilakukannya, berdosakah jika dia belum rela membagi kasih sayang dengan calon anak keduanya ini. Hal itu membuatnya sangat tertekan. Tak ada tempat cerita buatnya makin bingung. Sedangkan belum punya adik saja Edo sudah diperlakukan beda jika sudah ada Icha.
Ibu selalu lupa dengan Edo jika sudah ada Icha. Ibu selalu menyukai anak perempuan. Katanya perempuan lebih telaten, rapi dan disiplin dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Jika sudah begitu Rini mulai muak dan tak betah bicara lama-lama dengan Ibu.
***
"Rin, minggu depan siap-siap kita USG ya, biar jelas keadaan anak kita. Kebetulan aku dapat rezeki lebih, sudah niat untuk periksa kandungan kamu."
"Minggu depan? Kok gak ngomong dapat rezeki lebih? Mana? Berapa?"
"Ini." Agus menyerahkan amplop cokelat berisi beberapa lembar uang.
"Sayang bang, aku gak ada masalah koq, vitamin juga belum habis. Nanti tambah vitamin lagi malas ah."
"Kamu sayang gak sih dengan anak kita? Dia butuh asupan gizi lengkap dan dijaga sejak dalam kandungan Rin. Ini juga dapat uang rezekinya dia. Pokoknya kita periksa minghu depan. Titik."Â
Rini hanya terdiam percuma melawan. Agus jika sudah membuat keputusan tak akan ada yang membantah.
"Yok kita makan malam dulu, ingat perutmu harus diisi demi perkembangannya."
Rini ikut ke meja makan. Ternyata Ibu dan Ayah sudah makan dari tadi, begitu malasnya dia harus menyiapkan ulang lauk dan piring untuk suaminya. Fikirannya masih uring-uringan mengingat harus ke dokter minggu depan. Sepertinya rencananya akan gagal total. Haruskah dia merawat kandungannya? Arrgggh! Apa lagi yang harus dilakukan.
"Semangat Rin, tambah sayurnya." Agus kesal melihat begitu sedikitnya nasi yang diambil Rini.
"Iya bang."
"Kamu gak suka lauknya? Mau makan apa? Ayok bilang, yang penting anak kita makan."
"Aku cuma mau buah bang. Boleh?"
"Buah apa? Selagi belum terlalu malam biar aku cari."
"Buah jambu air merah dan tidak busuk ya bang."
"Ya sudah, habiskan tu nasinya dulu. Habis makan langsung dicari."
Rini senyum saja mendengar Agus bicara. Sebenarnya itu hanya akal-akalannya agak tak ketahuan membuang obat dan vitamin pas habis makan malam ini. Jika Agus pergi dia bisa lebih leluasa. Jika minggu depan harus ke dokter apa ketahuan obat-obat yang diminumnya kemarin?Â
Sebenarnya dia penasaran apa di perutnya masih ada janin atau sudah tidak ada. Sepertinya tak ada salahnya sia ikut saja untuk USG, biar lebih jelas dan diapun tak perlu menduga-duga. Dia duduk di tempat tidur. Edo sedang tertidur pulas. Diciuminya kening dan pipi Edo.
"Ibu sayang banget sama Edo. Cepat besar ya Nak, ajak Ibu pergi jauh dari sini. Ibu bosan tinggal di sini."
Edo bergerak sedikit, mungkin saja mendengar Ibunya berkeluh kesah.Â
"Edo pasti belum mau punya adik kan? Maafin Ibu dan Ayah ya. Semua salah Ibu. Ibu akan bikin Edo bahagia dan menikmati masa kecil Edo tanpa harus membagi kasih sayang dengan siapapun. Ibu janji."
Suara motor Agus terdengar. Ya ampun! Cepat juga bang Agus fikirnya. Tanpa buang waktu diambilnya obat dan tablet yang tersedia di piring kecil di samping ranjangnya. Rini berlari ke kamar mandi dan menghidupkan keran air. Semoga bang Agus tak curiga harapnya.
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H