Sisi sangat sayang dengan ayah dan emaknya. Dia memang sudah berjanji kepada emak akan menjadi seorang guru seperti emaknya dulu seorang guru ngaji. Tapi dia tak ingin dengan menjadi istri kedua. Dia malu dan tak ingin menjadi bahan omongan orang kampung.
Betapa tak ada harga dirinya jika dia menjadi duri antara tok ismail dan istrinya. Namun kata ayah, istrinya tak menolak dan tak berucap setuju juga. Karena sebagai istri dia tak bisa menolak setiap keinginan tok ismail. Apapun yang dikatakan suaminya harus diiyakan. Jika tidak maka akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Dia tak ingin semua itu berlaku. Biarlah dia setuju saja, termasuk lamaran tok ismail terhadap Sisi.
Sisi kembali ke rumah, dilihatnya ayah masih menangis hingga matanya bengkak.
"Ayah, sudah jangan menangis." Sisi duduk di bawah kaki ayahnya.
"Jangan nak, duduk di sebelah ayah."
"Maafkan sisi, yah."Â
"Tidak nak, kamu berhak tentukan hidupmu sendiri. Ayah tak akan memaksamu lagi. Tapi berjanjilah, tolong pergi jauh dari kampung ini. Tok ismail tak akan berhenti mencarimu sebelum dia dapat menikahimu. Pergilah sekarang juga."
"Sisi tinggalkan ayah sendiri?" Ucap sisi sedih.
"Ayah dah tua dan sakit-sakitan, ayah biar saja di sini." Pak rozak mengeluarkan sebuah cincin emas peninggalan istrinya sebelum meninggal.Â
"Ini punya emak, emak bilang ini untuk Sisi jika sisi butuh uang. Juallah ini untuk berangkat ke kota. Ayah tak bisa ngasi apa-apa sama kamu." Ucap ayah sambil mengusap kepala anak gadisnya. Dia berdoa agar Allah selalu menjaga putrinya di manapun berada.
"Ayah, sisi berangkat ya."