Perkebunan Kopi di Kawasan Regentschap MalangÂ
Tahun 1830-1942
Oleh: Rizky Wahyu Amalia-124221062
Dalam sejarah Indonesia, aktifitas penduduk di negara ini hanyalah berkebun. Sehingga perolehan devisa masa kolonial hanya mengandalkan produktivitas dari sektor perkebunan. Namun dalam catatan sejarah, kopi bukanlah tanaman asli Indonesia. Kopi pertama kali diperkenalkan oleh Batavia pada awal abad ke-17. Perkebunan kopi di Nusantara terjadi pada periode tanam paksa atau Cultuurstelsel dari kebijakan gubernur jenderal Van Den Bosch pada tahun 1832, komonditas kopi menjadi salah satu komonditas yang primadona dalam perdagangan internasional. Seluruh wilayah Hindia Belanda yang memiliki geografi pegunungan aktif menjadi wilayah perkebunan kopi, termasuk juga Afdeling Malang. (Goor, 1986: 35).
Sebelum ekonomi perkebunan masuk, Malang bukanlah tempat yang penting. Namun sejak kopi ditanam di Malang, wilayah Malang perlahan mulai berubah. Pemerintah Kolonial Belanda mulai menaruh perhatian dan menjadikan malang sebagai perkebunan kopi sekaligus eksploitasi. Perubahan ini dimulai dari kebijakan Ordonansi Priangan yang dikeluarkan gubernur jendral H.W. Daendels di tahun 1808. Saat itu, Daendels mengeluarkan peraturan berisi kebijakan penanaman kopi didaerah lain di Jawa dan dilakukan dengan cara yang sama seperti di Kabupaten Priangan.
Perkebunan kopi di Malang dibuka sejak 1832. Secara afdeling, Malang sangat strategis karena diapit oleh dua pegunungan yaitu Arjuna-Kawi. Wilayah regentschap Malang cukup luas mencakup 8 distrik yaitu Ngantang, Penanggungan, Pakis, Karanglo, Gondanglegi, Turen, Sengguruh (Kepanjen) dan Kota Malang. Kawasan ini menjadi pusat aktivitas pengusaha perkebunan di Kawasan Lereng Semeru, Bromo, Arjuna, dan Kawi. Kondisi ini menguntungkan karena aktivitas vulkanis gunung berapi membuat lahan tanah menjadi subur.
Perkembangan kopi di Afdeling Malang semakin pesat sejak memasuki tahun 1870. Besarnya produksi kopi di Afdeeling Malang membuat pemerintah colonial Belanda mulai membangun berbagai sarana transportasi hingga akhirnya mengubah wajah kota Malang. Salah satunya dalam catatan sejarah, sudah mulai banyak bermunculan rel kereta api di berbagai daerah. Sehingga transportasi ini menjadi penghubung antardaerah penting.
Dalam perkembangan kopi di wilayah Malang, selain tanah, system perkebunan juga membutuhkan tenaga kerja rakyat secara besar-besaran. Namun masyarakat Pribumi hanya berperan sebagai petani. Mereka tidak diperbolehkan untuk menjual karena pemerintah telah memilih satu kelompok untuk mengirim dan menjual kopi kepada sejumlah konsumen.
Kolonial Verslag tahun 1890 menyebutkan Afdeling Malang menjadi penghasil kopi terbesar di Provinsi Jawa Timur. Pada 1887-1889, Penghasilannya mencapai 143.173 pikul kopi. Sementara daerah penghasil kopi lainnya seperti di Besuki (Banyuwangi-Jember), Probolinggo dan jombang hanya menghasilkan 13.630 pikul, 22.098 pikul, dan 4.332 pikul. Sehingga disimpulkan bahwa produksi kopi di Afdeling Malang hampir 10 kali lipat dibanding Besuki.
Kekayaan alam dan sumber air melimpah meski cuaca kemarau menjadi modal agar hasil produksi kopi di Afdeling Malang menjadi tinggi. Perkebunan kopi di Kawasan Malang juga didominasi dengan jenis Robusta dan juga Arabika dan Liberia (Sardjono, 1954:6).
Kesuksesan dalam perkebunan kopi tidak hanya berefek untuk ekonomi. Namun juga untuk gelar bupati juga ikut mengalami perubahan dari tumenggung menjadi ario adipati. Jika pendapatan asli daerah rendah maka gelarnya tumenggung, namun jika tinggi maka gelarnya ario adipati.