Aku berlari menuju anakku dengan air mata yang tertahan. Kuingat beberapa minggu sebelum kepergiannya dari rumah, ia memang mulai berubah, mulai mengeluh dengan keadaan.
Pandemi memang berdampak buruk pada keluarga kami. Keuangan benar-benar surut. Sampai segala barang-barang berharga terjual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk handphone rizky anakku dan handphone milikku.
Tapi tidak dengan handphone suamiku, karena kami tahu dia lebih membutuhkan untuk pekerjaannya. Aku dan anakku benar-benar mengalah demi suamiku. Ternyata, di balik mengalahnya kami, tersimpan secercah kesempatan yang cerah untuk ia berkhianat.
“Ibu darimana? Kok lama?” tanya anakku dengan rasa penasaran.
“Tadi tidak ada kembalian, jadi menunggu penjualnya menukarkan uang.” untuk kali pertama aku tipu anak semata wayangku.
Semenjak Rizky tahu ayahnya telah tiada, di malam-malam yang dihujani jangkrik, acapkali ia menangis diam-diam dalam kamarnya. Aku pura-pura tidak tahu. Aku takut hatinya semakin rapuh.
Namun, setiap pagi, ia adalah Rizky yang ceria. Si kuat dan tabah. Remaja yang selalu menenangkanku. Aku adalah ibu yang juga berusaha menjadi ayahnya. Tak pernah kubiarkan ia menyelesaikan masalah sendiri. Namun, satu pertanyaannya yang benar-benar tak bisa terjawab olehku, “ Bu, apa mungkin suatu hari ayah akan kembali?”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H