Mohon tunggu...
Rizky D. Rahmawan
Rizky D. Rahmawan Mohon Tunggu... Entrepreneur -

Menyukai jalan-jalan. Mencari inspirasi, mengulik potensi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Neo Tutur Tinular

16 Januari 2017   12:16 Diperbarui: 22 Januari 2017   08:57 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Boleh jadi zaman yang sedang kita masuki saat ini adalah zaman "Tutur Tinular Gaya Baru" atau zaman "Neo Tutur Tinular". Cepatnya transfer informasi memberi andil sangat besar dalam cepatnya transfer budaya dan kebiasaan yang terjadi di masyarakat. Sebut saja di budaya dan kebiasaan masyarakat dalam menulis. Beberapa belas tahun yang lalu kita masih akrab dengan diary atau buku harian, kemudian bersamaan dengan memasyarakatnya internet buku harian tergantikan oleh blog. Blog kemudian mencapai masa keemasannya. Ngeblog itu keren, ngeblog itu gaul, apalagi dari blog orang bisa earning money. Dari sudut pandang pembaca, blog menjadi 'camilan' favorit di luar waktu melahap buku-buku bacaan yang tebal dan berat. 

Waktu berganti, blog mulai meredup, membudayalah twit. Media microblogging digandrungi aktivis dunia maya. Nge-twit tidak semelelahkan menulis blog memang. Tetapi, dari sudut pandang pembaca, membaca twit itu sulit untuk menggugurkan kepenasaran atas suatu informasi secara utuh sebenarnya. Seolah menulis menjadi sesuatu yang makin malas dikerjakan, generasi saat ini sudah tidak akrab-akrab amat dengan twit. Penggantinya adalah berbagi gambar dan berbagi video. Cekrek, unggah, share, sangat instan memproduksi informasi berupa meme atau vlog. 

Silih berganti cara-cara orang berbagi informasi itu membuat saya penasaran, lantas apalagi setelah ini? Kamera dan pena yang dulu identik bahkan seolah adalah 'monopoli' para kuli tinta, sekarang bisa dipegang oleh siapa saja. Tentu ini adalah kemajuan yang luar biasa, informasi demi informasi menjadi begitu dekat keberadaannya, begitu cepat pendistribusiannya. Namun begitu, pergantian budaya dan kebiasaan itu terjadi secara alamiah, bukan hasil kebijakan, bukan lahir dari proses pendidikan, tetapi tutur yang tinular di tengah-tengah masyarakat. Semua seolah mengalir begitu alamiah. Akan tetapi kalau tidak diperhatikan dan dipelajari alirannya, jangan-jangan kita bukan mengalir pada kemajuan, tetapi justru pada kemunduran. 

Semakin simple bentuk informasi, membuat semakin banyaka orang bisa dengan mudah memproduksi informasi. Maka yang terjadi berikutnya adalah, tumbuh suburnya berita-berita yang tidak tervalidasi dan hoax seperti yang terjadi saat ini. Maka PR di hadapan kita ada dua, pertama : Mengkaji perlukah kurikulum khusus di pendidikan kita yang mengatur transformasi-transformasi dalam penggunaan alat-alat penginformasi di dunia maya? Sehingga proses transformasi tidak berjalan sebab tutur tinular yang liar, tetapi memang masyarakat berganti-ganti platform media sosial atas arahan-arahan yang bisa dipertanggung jawabkan secara akademis. Kemudian PR yang kedua adalah karena hoax sudah kadung merajalela, perlu sekali masyarakat mendapat edukasi tentang bagaimana memfilter dan memvalidasi informasi. 

Namun, jika kedua PR itu dirasa terlalu berat dikerjakan oleh pihak-pihak yang berwenang dan dikenai kewajiban sosial darinya, maka pilihannya adalah biarkan saja semua pitutur terus mengalir dan tular menular. Intervensi sosial yang mungkin bisa ditempuh adalah kita sesama masyarakat saja yang saling berbagi edukasi. Entah itu membuat vlog, meme, twit atau blog tetapi yang bernilai edukatif. Sehingga produk yang kita buat adalah produk informasi yang beyond, karena di dalamnya memuat konten edukasi yang dibutuhkan di tengah permasalahan sistem informasi di tengah-tengah masyarakat.

Bagi saya, beyond blogging adalah mempublikasikan informasi yang tidak terpublikasikan sebelumnya. Contohnya adalah mempublikasikan konten edukasi yang berguna. Seperti disebutkan di atas, yakni edukasi tentang pilihan-pilihan dalam masyarakat melakukan transformasi alat-alat penginformasi di dunia maya dan edukasi tentang bagaimana memfirlter dan memvalidasi informasi. 

Contoh lain lagi dari beyond blogging adalah mempublikasikan informasi yang belum, tidak atau sengaja tidak dipublikasikan yang padahal informasi itu penting bagi masyarakat. Karena berita benar yang tidak dipublikasikan apalagi sengaja ditutupi bisa jadi lebih berbahaya dari berita bohong atau hoax yang disebarluaskan. Yakni ketika berita tersebut menyangkut hal-hal yang sangat strategis dan vital bagi masyarakat. 

Semakin banyak pelaku beyond blogging, yang karena integritasnya mau dan mampu mengedukasi dan memberitakan yang tertutupi, yang ia tak hanya earning money, tidak cuma mengejar click dan hits, maka semakin luas konten positif dan bermanfaat tertutur dan tinular di tengah-tengah masyarakat. *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun