Fenomena sekulerisasi menjadi sumber masalah tersendiri saat ini. Fenomena sekulerisasi terlihat dari tidak dilibatkannya Tuhan dalam urusan yang dikerjakan manusia, termasuk urusan berbangsa dan bernegara. Agus Sukoco dalam berbagai forum diskusi kecil maupun besar kerap kali mengingatkan bahwa pendahulu bangsa kita sudah meneladankan sikap berbangsa dan bernegara yang tidak sekuler dengan senantiasa melibatkan Tuhan.Â
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 contohnya, termaktub dengan jelas bahwa kemerdekaan adalah "Atas berkat rahmat Allah", baru kemudian dilengkapi dengan "Dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur". Maka spirit Pembukaan UUD 1945 yang harus terwariskan pada kita saat ini adalah spirit untuk menjaga kehadiran peran Tuhan dalam setiap pencapaian-pencapaian kita, baik itu pencapaian kita sebagai pribadi maupun pencapaian kita sebagai bangsa.
Ketika pendahulu bangsa mengatakan bahwa kemerdekaan adalah "Atas berkat rahmat Allah", itu bukanlah omong kosong belaka. Pada era pra kemerdekaan, peran ulama dan santri memiliki andil yang besar didalamnya. KH. Hasyim Asy'ari pendiri Nahdlatul Ulama mengeluarkan resolusi jihad hingga kemudian meletuplah peristiwa besar 10 November yang kita kenang saat ini sebagai hari pahlawan. Peran santri begitu kentara, para santri menjadi prajurit dalam tiga wadah pasukan : PETA, KNIL dan Hisbullah. Betapa saat itu kedaulatan negara dan martabat agama menjadi dua sisi mata uang yang tidak terpisah.
Hari ini kita miris ketika nilai-nilai agama justru dibenturkan dengan ideologi bangsa, Pancasila. Sehingga semakin hari seolah-olah jihad agama dan perjuangan bangsa semakin jauh bahkan bertolak belakang. Pada kesempatan Agus Sukoco berbicara dihadapan para aparat kepolisian, Agus dengan lugas mengajak para aparat untuk berintrospeksi terhadap semangat Pancasila mereka. Seorang yang berjiwa Pancasilais menurut tafsir yang dipaparkan Agus cirinya adalah orang tersebut senantiasa mengaitkan segala urusan dan pekerjaannya dengan Tuhan. Ini adalah tafsir dari sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Sikap membela negara tanpa menyambungkan diri dengan Tuhan, bukanlah cerminan jiwa Pancasilais.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah set up awal paradigma bernegara, bahwa penghuni negara ini satu sama lain adalah sama-sama hamba Tuhan. Kesadaran sebagai sesama hamba Tuhan akan mengantarkan kita pada kesadaran turunan bahwa satu sama lain diantara kita hanyalah sama-sama manusia. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab tidak dapat diejawantahkan ketika kita masih terjebak pada gemerlapnya identitas dan menipunya topeng-topeng. Kesadaran sebagai sama-sama manusia akan cenderung mengarah kepada persatuan, bukan perpecahan. Persatuan Indonesia diharapkan bukan menjadi doktrin, tetapi kebutuhan naluriah, yakni naluri untuk bersatu.
Ketika sudah bersatu, maka kepemimpinan dan pengamanahan kekuasaan penentuannya adalah hikmah, bukan skill kepemimpinan semata. Hikmah adalah saripati kebenaran. Saripati kebenaran dimiliki oleh orang-orang yang lembut hatinya, sehingga mampu meraba dan merasa benda dan hidayah selembut kapas. Saripati kebenaran tidak akan mampu diendus oleh orang-orang yang hatinya masih riuh ramai oleh gejolak ambisi pribadi. Kalau kekuasaan sudah diorientasikan dari hikmah, maka output-nya adalah Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Demikianlah Agus mencoba menyatukan kembali spirit ketuhanan dan spirit NKRI harga mati yang dilandasi jiwa pancasialis. Tuhan tidak boleh lagi absen dari spirit di dalam slogan-slogan berbangsa dan bernegara. Ini merupakan upaya desekulerisasi yang patut diapresiasi.
Pada kesempatan lain, di hadapan jaksa-jaksa, Agus Sukoco mengingatkan bahwa aparat hukum sejatinya bukan sekedar petugas negara. Akan tetapi, mereka juga merupakan petugas langit. Pada operasionalnya, memang mereka adalah pelaku penegakkan KUHP yang buatan manusia dan dipilih oleh bangsa kita untuk digunakan. Akan tetapi, pada hakikatnya, mereka sejatinya sedang menjadi penegak hukum Tuhan. Diantara hukum Tuhan yang berlaku adalah "Faman ya'mal mitsqaala dzaratin khairay yarah. Waman ya'mal mitsqaala dzaratin syarray yarah" (QS Az Zalzalah 7-8). Jaksa, hakim dan pengacara adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk meniscayakan terwujudnya apa yang sudah difirmankan Tuhan di dalam ayat "Barang siapa berbuat kebaikan sebesar biji, maka ia mendapat balasannya. Dan barang siapa berbuat keburukan sebesar biji, maka ia mendapat balasannya".
Firman Tuhan adalah ketetapannya. Firman Tuhan adalah hukumnya. Sehingga ketika seorang aparat hukum berusaha mewujudkan terjadinya apa yang termaktub di dalam firman Tuhan, maka ia sudah menegakkan hukum Tuhan, menegakkan syariat Tuhan. Bahwasannya dalam proses penegakan hukum itu menggunakan KUHP, atau menggunakan lainnya, itu hanyalah pilihan perangkat.Â
Pemikiran Agus Sukoco yang disampaikan kepada para penegak hukum itu, selain merupakan bagian dari upaya desekulerisasi, juga merupakan ajakan untuk memperdalam kembali agama dan kebertuhanan kita. Agus mengingatkan kembali bahwa dalam tiap amar putusan peradilan tidak tertulis "Demi Negara", tetapi tertulis "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Kalimat tersebut tidak boleh dijadikan formalitas belaka, tetapi harus kita dalami. Tanpa pendalaman agama dan ketuhanan, kita menegakkan hukum syariat Islam sekalipun bisa justru menjadi salah kaprah.Â
Sebagai tokoh kultural, Agus tidak memiliki ruang untuk mengendus dan menghakimi praktek transaksional yang menjadi kebobrokan penegakkan hukum di negeri ini. Perubahan revolusioner dalam hal tersebut adalah tanggung jawab instruksional dari atas ke bawah. Tanggung jawab ulama dan tokoh kultural hanyalah sebatas memperluas cakrawala pikir dan memperdalamnya hingga pada lapisan landasan akar dan perspektif ruhani yang menjadi falsafah dirinya atas pekerjaannya.[]