Dukun di jaman modern berubah nama menjadi organizer. Kata dukun sendiri dieliminir sedemikian rupa sampai-sampai baunya 'mistik abiz' kata itu. Dukun adalah syirik, klenik, tidak ilmiah, berteman dengan jin dan seterusnya. Padahal dukun, dukun bayi misalnya adalah orang yang memiliki pengetahuan komprehensif di sebuah wilayah pada masanya dalam hal penanganan kelahiran dan perawatan bayi yang baru lahir, ia lebih cerdas, jauh lebih cerdas ketimbang dokter kandungan yang dikit-dikit sesar, dikit dikit sesar. Dan cerita kali ini adalah tentang kisah dukun ronggeng. Inspiring dari film Sang Penari, dukun ronggeng di film itu diperankan oleh Slamet Raharjo idolaku. Haha, senang sekali menonton si mbah yang biasa bersama arswendo di TVRI itu berakting dengan bahasa ngapak khasnya orang Banyumas. Di film itu, dukun ronggeng memiliki otoritas penuh untuk membaiat seorang gadis itu menjadi ronggeng. Mau pandai dan cantik seperti apapun, kalau oleh si dukun tidak dibaiat ya tidak ada orang sekampung yang mengakui bahwa dirinya adalah penari ronggeng. Penari ronggeng pada zaman yang dikisahkan di film itu memiliki kedudukan yang begitu tinggi, saking tingginya bahkan istri-istri di kampung itu akan senang sekali kalau suaminya dikalungi selendang oleh nyai ronggeng dan akhirnya berkesempatan meniduri si nyai ronggeng itu. Kepercayaan yang begitu itulah yang akhirnya menjadi celah bagi dukun ronggeng untuk mendapatkan keuntungan. Laki-laki dari seantero dukuh bahkan dari luar pedukukan datang ke rumah dukun ronggeng, rumah dimana penari ronggeng di-openi. Agar oleh dukun ronggeng diijinkan meniduri nyai ronggeng, para lelaki itu membawa aneka rupa upeti, kerbau, kambing, ringgit emas sampai sekedar sepasang sendal sebagai mahar. Begitulah, tradisi masyarakat yang meninggikan arti penari ronggeng dan penari ronggeng itu sendiri dijadikan komoditas untuk memperoleh profit bagi orang yang ndilalah-nya dipercaya sebagai dukun ronggeng. Sekarang keseninan ronggeng sudah nyaris punah, sudah seperti pertunjukan setara ngamenan belaka. Tidak ada lagi istri yang senang kalau suaminya mendapat kesempatan meniduri penari ronggeng. dukun ronggenpun bukan lagi menjadi profesi yang menjadi incaran. Sekarang zamannya orang mengincar jabatan di kampus-kampus. Yang setahun sekali, dua kali hingga empat kali dilakukan sebuah prosesi seremoni, ya semacam nglarung sesaji, atau semacam grebeg di kraton, prosesi itu namanya adalah "wisuda". Orang zaman ini meyakini kalau anaknya memakai toga, lalu kuncirnya digeser oleh rektornya dari sebelah kiri ke sebelah kanan, itu artinya luar biasa, ya mungkin sama luarbiasanya dengan perasaan istri yang suaminya berkesempatan meniduri penari ronggeng setengah abad yang lalu. Dan untuk prosesi penggeseran kuncir toga itu, orang dipaksa membayar sampai 1 juta besarnya. Hampir setara dengan satu ekor kambing. Tapi tentu saja tidak ada yang mendaftar wisuda dengan mnyumbang sepasang sandal seperti yang dibawa ke dukun ronggeng di masa lalu. Lalu siapa yang diuntungkan dari keyakinan masyarakat terhadap wisuda itu? Tidak lain, ya wisuda organizer. Kalau yang menjadi organizer itu kampus itu sendiri, ya tinggal dihitung, tarif ikut wisuda berapa?fasilitas yang didapatkan berapa?BEP kalau peserta wisuda berapa? lalu untungnya dibagi kemana saja. Aku percaya, akan datang zaman dimana orang gerah dengan segala rupa prosesi, dari wisuda sampai peresmian ini dan itu yang hobi banget dilakukan tiap hari oleh para pejabat. Dan dimasa itu, wisuda organizer tidak lagi menjadi posisi yang diburu-buru oleh orang. Semoga saat itu segera datang. Kasihan, orang sekolah untuk pandai, bukan untuk dibodohi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H