Ahmad Rizky Mardhatillah Umar*
GOLDMAN SACHS dalam sebuah papernya di Global Economic Power No. 99 (2001)telah meramalkan kemunculan poros ekonomi baru dalam 50 tahun ke depan. Keempat negara itu antara lain Brazil, Rusia, India, dan China.
Prediksinya, dari analisis terhadap beberapa variabel ekonomi pada keempat negara tersebut, ada kecenderungan income per capita dan GDP mereka dapat berkompetisi dengan negara G6 dalam kurun waktu 40 tahun yang akan datang.
Pergerakan ekonomi yang ia prediksi akan tumbuh cepat di empat negara tersebut akan selaras dengan pergeseran ekonomi di negara G6, sehingga kompetisi antara kedua kekuatan ekonomi tersebut akan cukup dialektis.
Kita tentu maklum dengan perkembangan ekonomi Cina sebagai raksasa Asia selama beberapa dekade terakhir. Tetapi, yang di luar dugaan adalah India. Sebab, selama ini India dikesankan kumuh, berpenduduk padat, dan bergulat dengan kemiskinan.
Ini cukup menarik untuk ditelaah. Selama ini, fokus kajian mengenai India cukup jarang dilakukan di pelbagai perguruan tinggi, sehingga informasi yang didapat pun kurang lengkap. Akibatnya, persepsi mengenai pendidikan di India juga kurang.
Padahal, Indonesia dan India punya keterkaitan sejarah dan budaya yang sangat erat dan saling berhubungan. Akar kebudayaan tersebut membekas hingga kini dalam bahasa, tata perilaku, hingga kesusastraan Indonesia.
Walau demikian, hubungan diplomatik antara kedua negara ini ternyata tak selaras dengan akar budayanya. Jika dibandingkan dengan Cina, misalnya, hubungan antara Indonesia dan India terasa “biasa-biasa saja”.
The Jakarta Post (17/9/2010)mencatat bahwa hubungan “mesra” antara India dan Indonesia pernah terjadi separuh abad silam, ketika Presiden Soekarno dan Pandit Jawaharlal Nehru menginisiasi Kongres Asia-Afrika di Bandung.
Namun, seiring perkembangan politik internasional, hubungan tersebut lepas begitu saja, terutama setelah Indonesia mengalihkan layarnya pasca-1966. Secara politik, Nehru memang condong pada sosialisme yang tidak disenangi oleh Soeharto.
Baru setelah Soeharto jatuh, India kembali dilirik untuk menjadi sasaran kerjasama. Apalagi, setelah perekonomian India meroket dan menjadi salah satu kekuatan ekonomi-politik di Asia.
Satu hal yang cukup dilirik di India adalah pendidikan. Salah satu rahasia perkembangan ekonomi yang pesat di negeri ini ialah ketekunan di bidang pendidikan.
Memang, tak mudah mengelola pendidikan di negeri yang dihuni oleh lebih dari 1 milyar orang ini. Dari segi kuantitas, mungkin masih ada problem aksesibilitas warga miskin yang jumlahnya lebih dari 30% dari total populasi.
Tapi, dari segi kualitas, agaknya kita perlu belajar lebih banyak. Sanat Kaul (2006) dalam working papernya menunjukkan bahwa India dikenal luas sebagai salah satu negara yang terkemuka dalam technical manpower.
Untuk menjaga pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia tersebut, India sangat menekankan subsidi yang besar untuk bidang pendidikan. Wajar jika kemudian biaya pendidikan murah.
Di samping itu, menurut Gonda Yumitro (Sinar Harapan, 21/6), keberanian melakukan internasionalisasi tanpa harus tergantung kepada kekuatan lain (baca: AS) membuat India mampu menjadikan pendidikan sebagai wahana pendukung industrialisasi.
Berkaca pada pertimbangan tersebut, sudah saatnya kerjasama yang lebih erat dibangun antara Indonesia dan India. Kerjasama ini, saya kira, tidak hanya terjadi antara government to government, tetapi juga society to society.
Dalam konteks ini, kerjasama pendidikan bisa menjadi sarana untuk memperluas kajian mengenai Asia Selatan, khususnya India, sehingga rahasia kesuksesan India sebagai salah satu kekuatan baru dalam pentas ekonomi dunia dapat dikuak.
Namun, berbagai hambatan politik dan budaya masih menghalangi kerjasama yang lebih erat antara dua negara ini.
Persoalan budaya sering disinyalir menjadi problem atas keengganan negara membuka kerjasamanya di bidang pendidikan. Ini mungkin disebabkan oleh informasi yang kurang dari masyarakat Indonesia tentang India.
Jika hambatan-hambatan ini masih ada, awal kerjasama tersebut bisa dimulai dari informasi. Kini adalah era informasi yang mendobrak batas-batas formalitas hubungan antarnegara. Artinya, kerjasama dapat dilakukan secara lebih informal.
Dengan demikian, ada secercah harapan untuk lebih melirik Asia Selatan sebagai tujuan kerjasama pendidikan. Bisakah tantangan ini kita jawab bersama? Semoga.
*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol, UGM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H