Masih ingat betul dalam benak, sosok Najwa Shihab pertama kali saya ketahui saat live report tragedi Tsunami Aceh pada Desember 2004 lalu. Ketika Najwa melaporkan peristiwa yang sangat miris tersebut di salah satu program berita di Metro TV dengan suara lirih serta tetesan air mata, kontan saya pun ikut terenyuh.
Beberapa tahun kemudian, Najwa dipercaya sebagai host talkshow in-house di Metro TV bernama Mata Najwa. Sebuah talkshow fenomenal yang mungkin di awal produksinya para crew tidak menyangka akan banyak lampu sorot dan kontroversi yang mewarnai di setiap tahunnya.
Fenty Effendy, seorang penulis senior berkesempatan mengemas perjalanan Najwa Shihab di Mata Najwa dalam sebuah buku berjudul Mantra Layar Kaca. Sebuah buku yang menjelaskan tentang sebuah talkshow yang tiba-tiba masuk dalam dinamika perpolitikan Indonesia, tentang seorang jurnalis perempuan yang liputan pertamanya di stasiun Gambir dan kini menjadi role-model bagi jurnalis-jurnalis lainnya dan tentang bagaimana melakukan wawancara dengan baik, membongkar segala jawaban misterius narasumber, mencari celah agar narasumber bercerita privasi dengan cara yang elegan tanpa melupakan etika jurnalistik.
Kemampuan Najwa lainnya yakni dirinya selalu menjadi pendengar yang sangat baik dan menciptakan gestur penuh arti. Bisa dilihat dari gestur yang dirinya lakukan saat narasumber berbicara, terkadang Najwa tampak setengah merunduk dengan tangan diletakkan di dagu, alis di naik-turunkan hingga beberapa gestur yang jarang dilakukan oleh host talkshow lainnya.
Dalam Mantra Layar Kaca, Fenty merekam dengan baik beberapa moment-moment penting perjalanan Mata Najwa. Mulai dari proses kreatif pra produksi, eksekusi sehigga behind the scene dibalik setiap episodenya. Fenty membagi keseluruhan moment-moment berharga tersebut dalam tiga bab yakni Dunia Dalam Kotak Ajaib, Menuju Ketujuh dan Warna Mata Najwa.
Di buku ini pula, diceritakan kembali bagaimana antusias ribuan orang saat digelarnya Mata Najwa On Stage. Saya sendiri menjadi saksi bagaimana daya magis Mata Najwa saat digelar di beberapa kota di Indonesia. Saat saya menonton langsung di Gedung Graha Widya Wisuda (GWW) IPB pada 27 September tahun lalu, sungguh pengalaman luar biasa, biasanya saya berdesak-desakan untuk menonton konser musik tapi kali ini saya berdesak-desakan untuk sebuah talkshow politik.
[caption caption="Mahasiswa Antri Untuk Menonton Matanajwa On Stage"][/caption]
Tak hanya itu, ambience selama talkshow pun begitu stabil, Najwa sebagai si empunya acara pintar menjaga ritme diskusi. Favorit saya adalah ketika Najwa selalu memberikan pertanyaan ‘balon’ atau sederhananya pertanyaan tambahan/pertanyaan lanjutan demi memperjelas jawaban narasumber, kemampuan ini tidak akan muncul jika Najwa tidak memiliki semacam ‘sixth sense’ yakni sudah memperkirakan jawaban narasumber. Sekilas style Najwa ini mengingatkan saya pada Rachel Anne Maddow, host The Rachel Maddow Show di MSNBC.
Mata Najwa sendiri kini sudah menjadi pilar penting untuk dinamika perpolitikan praktis di Indonesia. Saat tahun pemilu 2014 lalu, kredit tersendiri bagi Mata Najwa dan tim karena telah menunjukkan kelasnya karena tidak terpengaruh dengan posisi owner yang menjadi ketua umum partai dan anggota koalisi pendukung salah satu presiden atau tidak menganut filosofi ‘asal bapak senang', justru Mata Najwa memberikan edukasi politik yang begitu bagus di beberapa episodenya, contohnya di episode Jokowi atau Prabowo yang menampilkan masing-masing juru bicara kedua pihak yakni Anies Baswedan dan Mahfud MD serta mendatangkan empat politisi muda yang mengusung calonnya masing-masing kala itu yakni Fadli Zon dan Ahmad Yani di kubu Prabowo, sedangkan di kubu Jokowi terdapat Maruarar Sirait dan Adian Napitupulu.
Tak hanya berkutat dengan topik politik yang begitu berat, terkadang beberapa tokoh politik diundang untuk berbicara di luar pakemnya, semisal BJ Habibie mencurahkan kesedihannya setelah ditinggal sang istri, Hasri Ainun Habibie, dalam episode Separuh Jiwaku Pergi.
Dalam Mantra Layar Kaca, pembaca akan diajak kembali ke episode-episode terbaik Mata Najwa, salah satunya episode Merayakan Indonesia. Mengumpulkan banyak tokoh-tokoh penting seperti Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri , Boediono dan Basuki Tjahaja Purnama di satu acara bukan kenegaraan atau formal adalah cita-cita seluruh talkshow politik manapun di Indonesia dan Mata Najwa telah mencapai cita-cita tersebut. Episode Merayakan Indonesia jauh dari kata serius atau kaku, justru sangat cair dan asyik.
[caption caption="Boedino Saat Diwawancara Najwa Dalam Mata Najwa Episode "Di Balik Diam Boediono""]
Mantra Layar Kaca membuktikan bahwa tayangan Mata Najwa tidak sesederhana yang pemirsa lihat di televisi, ada proses yang begitu panjang yang harus dilakukan sebelumnya oleh Najwa dan tim. Insting jurnalistik Najwa pun selalu terasah tajam dari episode ke episode, Najwa selalu memiliki flow tersendiri saat melakukan wawancara dengan narasumber, yang belum tentu jurnalis lainnya bisa lakukan. Jika kiranya tak berlebihan, saya sendiri sangat mengakui kompetensi Najwa sebagai jurnalis memang tidak terbantahkan dan tentunya Najwa sangat berjasa bagi perkembangan dunia jurnalistik di Indonesia.
“Journalism can never be silent: that is its greatest virtue and its greatest fault. It must speak, and speak immediately, while the echoes of wonder, the claims of triumph and the signs of horror are still in the air ..” – Henry Anatole Grenwald, Former Managing Editor of TIME Magazine.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H