TULISAN INI PERNAH DI MUAT DI KORAN HARIAN TANGSEL POST 8 JUNI 2015
Presiden pertama Soekarno memberi pesan penuh makna bahwa Indonesia harus menggoyangkan langit, menggemparkan darat dan gelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen dollar sehari. Bangsa kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli, bangsa rela menderita demi cita-cita. (Pidato Megawati pada Rakernas PDIP 2014 di Jawa Tengah)
Demikian pidato Megawati mengutif kalimat sang ayahnya Soekarno yang menegaskan bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang lembek seperti tempe. Pada masa revolusi kemerdekaan kata tempe di identik sikap cengeng dan karakter lembek. Maka sindiran pidato Soekarno itu kepada para pejabat kelas tempe yang dianggap lemah. Tetapi, kesadaran itu berlalu, revolusi mental hanya jargoisme berharap melanjutkan pesan Soekarno tentang rumusan mental cita-cita bangsa. Namun, revolusi mental kandas di persimpangan jalan antara sikap dan karakter kepemimpinan.
Krisis ekonomi, politik hingga krisis karakter jujur melanda negeri ini. Melambungnya harga pangan berpotensi mengancam keutuhan harmoni sosial dan menjepit kelangsungan kesejahteraan. Betapa tidak, suplai pangan terganggu akibat rupiah terperosok, lemahnya antikorupsi, bahkan uang TKI dituding faktor melemahnya rupiah. Sungguh bangsa ini memeras warga negaranya sendiri. Sementara penguasa selalu bercermin pada kaca yang terbelah pada kondisi politik, ketakutan atas isu impeacment.
Rupanya, tak membuat pemerintah khawatir atas krisis stabilitas ekonomi nasional, beralasan menunggu hasil panen petani dan menanti dollar kiriman tenaga kerja dari luar negeri. Sangat ironis, bertolak belakang dengan tradisi trisakti sebagai pembuktian sejarah dan tumpulnya watak tegas sehingga bangsa ini belum siuman dari konspirasi jajahan masa lalu. Negeri ini tengah dilanda kekeringan mental negarawan dan gagal paham terhadap mekanisme kerja ekonomi, hukum dan politik.
Kegaduhan pentas politik semua bicara kesejahteraan untuk hindari tekanan, seolah-olah revolusi mental sudah menjadi final sebagai instrumen perbaikan. Namun, cita-cita tak semulus konsep dan gagasan, akibatnya sering berbohong mulai dari rencana pemberian remisi koruptor, naiknya BBM, penjualan energi sumberdaya alam dan kolapsnya ekonomi.
Tak logis, akibatnya tujuh puluh porsen (70%) pemenuhan kebutuhan kesejahteraan pangan nasional tergantung hasil impor delapan puluh porsen (80%) dari berbagai negara, sementara produksi kekayaan ekonomi dalam negeri masih jauh dari cukup. Ironis, ternyata tong kosong suara visi nawacita dan program revolusi mental, hanya mengisi alam pikiran, tak lebih dari sebuah gerosong keledai. Padahal rakyat terjepit kesakitan di tengah gempuran intervensi ekonomi global. Pemilu tahun 2014 lalu, masih tergiang "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan" tetapi visi misi itu terlupakan. Bahkan suara jeritan rakyat dibawah angin "sakitnya tuh di sini dan menyesal kupilih".
Seperti biasa, pemerintah gugup merespon dan berwajah garang, tak ada solusi jangka pendek maupun kebijakan long policy sebagai pilihan utama untuk keluar dari masalah sehingga bisa menstabilkan perekonomian nasional. Apalagi kabarnya pemerintah telah memutuskan untuk membuka keran impor sederas-derasnya dalam jangka pendek, bea masuk bahan pangan impor, yang tadinya sebesar 5% akan diturunkan menjadi 0%.
Apalagi, pemerintah menambah hutang sebesar 131,6 triliun kepada kreditur global ang sudah jelas membuka jalan seluas-luasnya pada asing. Perlakuan pemerintah, tidak terhenti disitu, justru kembali memicu merebaknya praktek mental tempe para pejabat, yakni korupsi, kolusi, dan nepotisme. Yang sangat jelas membela koruptor dan menghakimi lawan politik.
Meskipun, penegakan hukum bermental tempe, tetap saja langkah instan mereka membuka peluang permainan kotor, seperti lemahnya keputusan soal antikorupsi. Jika akhirnya penguasa berlipat-lipat kesalahan yang tak terkendali, maka bangsa ini layak status "bangsa bermental tempe" karena pemimpinnya tak berwatak nawacita.
Solusi saat ini bagi pemerintah segera stabilkan ekonomi nasional, supaya agenda revolusi mental dan nawacita tak berada di jalan “sesat” sehingga bisa siuman dari masalah dan keluar sebagai negara kesejahteraan. Tanggungjawab penguasa mencegah disparitas, seperti kata pepatah sumbawa, “buya siup kakan siup, buya rawi kakan rawi” "cari pagi makan pagi, cari sore makan sore". Mengurus rakyat bukan selayak “sulapan sapu tangan mr bean” . Jangan lagi berada pada daerah tinta merah inkonsistensi sehingga keluar dari ciri khas mental tempe elit pemerintahan bangsa ini. Pepatah Jawa menegur "esuk dhele sore tempe gemar ingkar janji. Lain pagi, lain sore, hanya manis di bibir, mung manis-manis lambe. Lain di mulut, lain di hati, lain pula di aksi.