Innalillahi wa inna ilahi raji’un, masyarakat Islam kembali berduka, bukan karena wafatnya seorang ulama atau tokoh Islam, melainkan karena rezim Jokowi telah membunuh kebebasan pers. Begitulah posting status pesan (private message) di berbagai media sosial mulai dari facebook, twitter hingga path.
Anehnya, pihak Menkominfo pada senin (30/3/2015) kemaren melayangkan surat kepada penyelenggara Internet Service Provider (ISP) untuk membredel sejumlah situs website berbasis Islam karena dituding mendukung ISIS dan penyebaran paham radikal. Surat tersebut, menindaklanjuti permintaan penutupan situs yang dianggap radikal atas perintah BNPT RI dengan nomor surat 149/K.BNPT/3/2015 tentang situs website radikal Islam.
Situs yang direkomendasikan, yaitu arrahmah.com, voa-islam.com, ghur4ba.blogspot.com, panjimas.com, thoriquna.com, dakwatuna.com, kafilahmujahid.com, an-najah.net, muslimdaily.net, hidayatullah.com, salam-online.com, aqlislamiccenter.com, kiblat.net, dakwahmedia.com, muqawamah.com, lasdipo.com, gemaislam.com, eramuslim.com, daulahislam.com dan lain sebaginya. Sesuai yang disampaikan pihak BNPT bahwa situs website tersebut merupakan penggerak paham radikal dan di maknai jihad ruang lingkup kecil. Demikian bunyi substansi surat resmi BNPT RI kepada menkominfo kemudian ditindak lanjuti ke provider internet.
Sejak diedarkannya surat tersebut, media Islam ada yang lumpuh, sebagian juga belum di blokir serta masih bisa diakses sampai sekarang. Atas tindakan konyol pemerintah yang tak substantif itu justru tidak menggurangi intensitas masyarakat Islam berdakwah melalui berbagai cara apapun, termasuk media sosial, seperti twitter, facebook, path dan lainnya.
Namun, perlu cermat menyikapi masalah ini karena beberapa bulan belakangan santer terdengar isu bangkitnya komunis dengan corak lain. Isu lain juga menyebar kerjasama pemerintah Indonesia dengan negeri Republik Islam Iran yang mayoritas Syiah yang di duga pemerintah melakukan kontrak untuk kebebasan Syiah di Indonesia. Selain itu, arus ekstrem dari isu penutupan media Islam ialah karena dianggap bagian dari rangsangan jihad paham radikal ISIS.
Beberapa isu diatas, bisa saja terjadi dengan indikator politik devide et impera bagi umat Islam agar terjebak dalam masalah-masalah sektarian. Perlu diketahui bahwa penutupan situs Islam dibilang penting disikapi dan tentu ini masalah kecil. Masyarakat Islam tidak harus merespon dengan cara negatif karena pembuatan dan produksi media berbasis provider internet itu sangat mudah. Dalam bahasa falsafah “mati satu tumbuh seribu”, ini bisa menjadi cambuk perkembangan Islam agar generasi mendatang bisa membuat situs website dan media sosial sebagai lahan dakwah terbuka seluas-luas dan menjadi antitesa paham radikal.
Sikap pemerintah melakukan pemblokiran sejumlah situs Islam tersebut jelas melanggar kebebasan pers, sebagaimana diatur undang undang pers nomor 40 tahun 1999 pasal 4 tentang kebebasan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Kebebasan mendapat informasi juga merupakan salah satu tonggak penting alam demokrasi sebagai wujud nampak kedaulatan rakyat.
Lebih tragis ketika pemerintah tak memahami bahwa sejarah Islam dan media dakwah sudah lahir sebelum bangsa Indonesia merdeka. Media Islam justru memberi nafas suplemen pemikiran bagi masyarakat Indonesia yang dikenal majemuk. Karena itu, tidak boleh ada pengekangan apapun terhadap kebebasan pers apalagi campur tangan dengan alasan apapun.
Kalau saja alasan antisipasi penyebaran paham radikal, caranya bukan menyumbat berbagai media Islam, banyak cara elegan yang harus ditempuh. Perkembangan pemikiran Islam tak bisa dihentikan dengan regulasi blokir karena pemroduksian gagasan sebagai pandangan keyakinan ke berbagai bentuk media merupakan kebebasan yang tak dapat disangkal. Media Islam bukanlah penjara bagi Indonesia sehingga sekonyong-konyong harus di blokir.
Jika indaktor pemerintah bahwa media Islam penyebaran paham radikal tentu tidak objektif karena media lain yang terlarang juga banyak berperan sebagai perusak moral ideologi bangsa, seperti situs pornografi pornoaksi dan situs website paham radikal komunis Indonesia. Padahal paham porno dan komunis terbukti merusak moral bahngsa ini dan melebihi kejahatan kemanusiaan dibanding situs media Islam yang dituduhkan pemerintah.
Pemerintah harus mencabut dan kembalikan eksistensi situs media Islam, karena bisa saja situs-situs dakwah Islam lainnya akan tumbuh berjuta-juta. Masalah ini butuh kearifan pemerintah, bahwa cara pandang terhadap Islam tidak memakai kacamata kuda. Melihat masyarakat Islam harus dengan hati, otak dan pikiran yang positif agar output pemberantasan paham radikal juga positif adanya.