Mohon tunggu...
Rusdianto Samawa Tarano Sagarino
Rusdianto Samawa Tarano Sagarino Mohon Tunggu... Dosen -

Membaca dan Menulis adalah Mutiara Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Politik

Makna Mergerisasi Pencitraan Jokowi - Bajang

20 Oktober 2015   13:38 Diperbarui: 20 Oktober 2015   14:05 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makna simbolisasi politik baju putih celana hitam TGH. Bajang dalam rangkaian peresmian sekolah IPDN di Lombok Tengah dan agenda tambora menyapa dunia ialah sebuah upaya konstruktif. Kecerdasan iqranisasi politik Bajang membuat spekulasi muncul ke permukaan ditengah hiruk pikuk situasi pemerintahan Jokowi-JK yang dianggap menyulitkan rakyat. Namun, dalam teori komunikasi simbol yang diungkap oleh Litle John seorang tokoh pakar communication, culture and simbolistyc bahwa fenomena bajang mengenakan baju putih celana hitam merupakan konsep mergerisasi pencitraan diantara dua kutub kekuasaan diantara perbedaan partai, gaya, dan sikap.

Kemampuan Bajang menakar gaya dan sikap Jokowi sebagai seorang presiden laik disebut “the mens political civilized blusucanism” individu yang mencerna teori blusukan menjadi energi positif bagi perkembangan masyarakat kedepannya. Pencernaan nalar Jokowi oleh Bajang dalam persamaan simbol merupakan faktor pragmatik pembangunan (development pragmatic) bertujuan pada satu sumber visi, yakni kesejahteraan.

Sangsi sosial bajang terbayar ketika berhasil menghadirkan Jokowi ke tengah-tengah masyarakat kepulauan Sasak-Sumbawa. Pasalnya presiden ketujuh urutan ketiga tahun 2015 menjenguk pulau seribu masjid itu setelah Soekarno tahun 1967 ke Bima dan Soesilo Bambang Yudoyono tahun 2012 – 2014. Artinya, bajang mendengar public choice (harapan publik) akan pentingnya kehadiran pemimpin number wahid Indonesia itu ketengah masyarakat, walaupun terdapat priksi dua kutub berbeda dalam pilpres dengan pilihan 70 porsen tidak ke Jokowi.

Disinilah kita bisa mengancungkan jempol kepada kedua pemimpin pusat dan daerah bahwa Jokowi selalu menjadi kebanggaan masyarakat NTB dan Bajang tidak kalah magnetnya ketika performance komunikasi politiknya diatas rata-rata presiden. Kehadiran Jokowi menambah suplemen semangat untuk merealisasikan pembangunan dengan berbagai bentuk kerjasama dan kemitraan untuk perbaikan masyarakat.

Lebih jauh, tafsir civilized komunikasi bajang seolah–olah telah ter-upgrade sebagai kembalinya poros sunda kecil dalam tatanan pemerintahan demokratis yang mengharmoniskan tatanan sosial yang tak terurai sebelumnya. Kendati, Jokowi dan Bajang memiliki kesamaan karakter leadershif yang mafhum dalam berbagai sektoral kehidupan, namun sayang hanya beda wilayah. Mungkin, argumentasi tulisan ini juga bisa menjadi pemantik Bajang sebagai nominator one the president of Indonesian di waktu mendatang.

Blusukan merupakan kanal pencitraan bagi sang Jokowi khas baju putih celana hitam, bisa saja ini tradisi soekarno melalang buana nusantara memakai atribut yang sama. Namun, bagi Bajang trah baju putih celana hitam menandakan peleburan mistikasi antara kerajaan solo dan sasak yang sedang bermetamorfosis dalam tabung sikap dan nalar yang sama atas ekspansi culture. Pasalnya, baju putih celana hitam di internal kerajaan solo hanya orang tertentu yang mendapatkan, konon hikayatnya sebagai generasi leaders low profile.

Berbeda juga arahnya kalau di tarik pada orbit awal film wirosableng pada 11-04-1989 dengan branch simbol baju putih sandal karet hitam kapak naga geni 212 yang berperan melakukan perlindungan, penyelamatan dan sikap santun seorang pemimpin prajurit. Penyamaan ini tidak berlebihan, karena kehadiran Jokowi memenuhi undangan jamuan Bajang pada 11-04-15 seorang presiden yang bergenre genetik blusukan itu. Tidak menutup kemungkinan juga Bajang sedang memainkan kehangatan sikap dan santunnya, sebagaimana wirosableng berperan ganda dalam konteks keulamaan dan keumaraan.

Kode hitungan 11-04-15 matematika politik sebagai perkawinan simbol citra di maknai bargaining position Bajang melihat perkembangan NTB jauh ke depan. Mengutif Henry Hazlit (2002) dalam bukunya "Kode Moral" bahwa upaya sikap santun diantara lingkungan berbeda merupakan proses pengangkatan magic moralitas dan penyodoran pesan politik yang anggun. Kita lihat kedepannya, seperti apa prediksi bargaining Bajang sebagai pengungkit pembangunan NTB melalui kemitraanya.

Kesempatan lain, ada mentereng hiruk pikuk gerakan mahasiswa menolak kehadiran Jokowi. Tapi tak membuat lobi politik Bajang dimentahkan. Walaupun tak masalah bagi entitas gerakan mahasiswa poros kaum intelektual terpinggirkan atas pengabdiannya terhadap dunia paduan suara demonstrasi. Jokowi tak gentar dan tetap hadir di kepulauan sasak-sumbawa, Karena bagi Jokowi, pengabdian masyarakat NTB harus disantuni dengan sikap ramah. Tetapi tak jarang juga, kadang masyarakat diantara dua kepulauan ini sering di makzulkan aspirasinya oleh penguasa.

Teruslah berjuang bagi mahasiswa dan masyarakat kepulauan sasak-samawa sebagai bentuk emansipasi dan partisipasi membangun daerah yang kita cintai. Mengutif kata pejuang kemerdekaan dari tana Sumbawa Taliwang Dea Undru mengatakan "aspirasi keadilanlah yang mengantarkan kita pada kemakmuran". Mudah-mudahan saja Bajang dengan mergerisasi simbol baju putih celana hitam menularkan seruan nadi pejuang Dea Unru berharap pada nasib perubahan seperti soekarno mendikte dunia menggetarkan nusantara demi sebuah kesejahteraan dengan copy paste kesantunan low profile Jokowi, sehingga layak diangkat pada derajat nominator one the president of Indonesian mendatang.

Semoga kehadiran presiden kemaren tidak membawa kebutaan terhadap realitas sosial masyarakat atas janjinya. Berharap kolaborasi baju putih celana hitam adalah napak tilas kesejahteraan masyarakat, bukan simbol kematian naluri seperti justifikasi pakar psikologi massa John Charles Lielyyn (1847) “aku tertipu” dan Samuel P Hungtington (2001) “akibat perbenturan atas kepentingan culture pragmatism” atau Ibnu Sina (1987:21) dalam buku Politik Etic” yang terkenal “dahulu merangkul, sekarang dibohongi”. Argumentasi para pakar itu harus menjadi pemicu untuk meningkatkan pelayanan tanpa pamrih sehingga nantinya tidak pertanda seorang leaders menggali kuburan masyarakatnya sendiri atas janji manis, agar tidak tertimpa nyanyian artis cita citata “sakitnya tuh di sini”. Selamat bekerja.

Rusdianto PenGAMAT Komunikasi Pembangunan dan Politik Pemerintahan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun