Mohon tunggu...
Rusdianto Samawa Tarano Sagarino
Rusdianto Samawa Tarano Sagarino Mohon Tunggu... Dosen -

Membaca dan Menulis adalah Mutiara Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Politik

Koloni Anti Korupsi

13 Oktober 2015   20:18 Diperbarui: 13 Oktober 2015   20:33 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus Budi Gunawan terus menjadi perbincangan hangat publik, tak lepas ingatan beberapa waktu lalu. Dimulai dari patsun politik bersumber pada eksekutif-legislatif sebagai koloni antikorupsi yang di harapkan. Namun, semata-mata tempat festivalisasi akrobat bualan kekuasaan diatas pentas politik korupsi yang berimbas pada rusaknya sistem komunikasi antar lembaga penegak hukum. Ibu kota negara Indonesia sebagai koloni metropolitan berkumpul untuk memegang kendali kekuasaan. Kasus rekening gendut Budi Gunawan yang berakibat tersangka oleh KPK beberapa bulan lalu.

Tulisan ini muncul dari kegelisahan seorang Budi Gunawan dalam bukunya berjudul "Koloni Keadilan". Keprihatinan itu rupanya terjadi pada diri Budi Gunawan yang berhadapan dengan realitas politik. Frase pengangkatan polri adalah kebijakan politik memberi rekomendasi untuk fit and profertest di DPR yang pada akhirnya di setujui. Padahal sebelumnya KPK Jilid III telah memberi pesan tinta merah yang tak boleh di lakukan yang pada akhirnya juga menetapkan Budi Gunawan tersangka atas kasus rekening gendut menjelang seleksi di DPR.

Berawal dari kasus ini, dinamika politik hukum melahirkan banyak mekanisme aturan, termasuk sidang praperadilan Budi Gunawan yang dikabulkan untuk membersihkan nama baiknya dari seorang tersangka. Sembari memainkan strategi politik kekuasaaan dengan memakai tangan bareskrim Polri yang berujung pemakzulan terhadap Abraham Samad dan Bambang Wijoyanto komisioner KPK nonaktif melalui kasus yang sebetulnya tak layak dijadikan dasar pelanggaran hukum. Sehingga secara terang-terangan pemerintah melakukan agenda transisi komisioner pimpinan KPK dengan sala satu agenda mengalihkan kasus Budi Gunawan ke Polri sebagai upaya menyelamatkan nama baiknya.

Namun adilkah sebuah proses hukum antara BG dan AS maupun BW ?. tentu tengok secara objektif dan mendalam agar tidak terjebak pada destruktif. Ungkapan taurat yang dikutif oleh Budi Gunawan dalam bukunya Koloni Keadilan bahwa siapapun yang mengerti hukum, tergelincir oleh satu perkara saja, akan dianggap bersalah segalanya. Ungkapan ini, menandakan satu titik kekhilafan, apalagi perdagangkan keadilan, seluruh reputasi yang dibangun bertahun-tahun akan luntur. Mungkin karena itulah, untuk legitimasi penegak hukum melahirkan kredonya sendiri. Bahwa lebih baik membebaskan seratus orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tak bersalah. Kredo ini terdengar nyaring dan menggetarkan. Betapa hukum dan keadilan begitu mulia dan utopis. Namun, dibalik keagungan moralitas yang tertanam dalam kredo tersebut, mengangga peluang yang bisa di susupi. Celakanya, moralitas sekedar di jadikan jubah menutupi penyusupan itu. Tak heran, bila banyak orang bersalah, termasuk koruptor yang dibebaskan dengan dalih itu. (Budi Gunawan, 2006:235-236)

Evolusi Pragmatis Politik

Evolusi pragmatis KPK - POLRI membuka lipatan kasus untuk keluar dari jeratan justifikasi ketidakadilan sekaligus menggulung opini publik yang berkembang agar membuka lipatan kasus BG dialihkan ke POLRI. Sesuai istilah evolusi berkait kasus yang tengah terjadi saat ini. Pada tahun 1622-1832 istilah ini digunakan Charles Lyell dalam buku berjudul "Membuka Gulungan Buku" hingga Charles Darwin kemudian memakai istilah ini dalam paragraf penutup bukunya berjudul "The Origin of Species" pada tahun 1859. Selanjutnya istilah ini juga dipopulerkan oleh Herbert Spencer dalam menyoroti kondisi sosial politik hukum ketika melihat berbagai prilaku kejahatan dan pengingkaran nilai biologis manusia yang menyebabkan pragmatis itu sebagai mahluk menggoda.

Evolusi kasus BG dari KPK ke Polri layak disebut agenda senyap tak penuhi tuntutan moral etik publik untuk tetap di proses status tersangkanya. Namun pragmatisme politik menjauhkan dari etika hukum negeri ini, dimana patsun politik berada diatas segalanya. Sesuai ungkapan patron Niccolo Machiaveli the end justifies the means yang menghalalkan segala cara demi tercapai suatu tujuan.

Fase ini pantas dikibarkan sebagai kredo kaum pragmatis yang masih meranggas dalam politik. Pemantiknya, tentu perut dan kekuasaan, sesuatu yang menyilapkan mata. Pragmatisme sebagai anak haram dari pergulatan panjang untuk menjawab berbagai persoalan yang terjadi. Konsekwensi pola ini menjadi lahan subur bagi lahirnya berbagai jenis penghianatan dan kejahatan baru dalam sistem hukum. Karena, cara - cara mengalihkan kasus BG dari KPK ke POLRI dan menawarkan wakapolri adalah sikap jalanan yang kurang civilized bagi penegak hukum. Proses evolusi pragmatisme ini berangsur membawa petaka penegakan hukum karena tidak menggunakan asas etika sehingga kredo politik dan hukum tak bisa dipisahkan.

Tokoh Julian Benda mengkritisi prilaku pengingkaran dan pabrikasi nilai-nilai moral hukum yang mengikat hanya untuk meraih kekuasaan. Padahal persoalanya sangat sederhana untuk diselesaikan, apabila KPK-POLRI dan penguasa tidak berfikir pragmatisme politik terhadap berbagai kasus. Namun, BG mencari keadilan atas apa yang di katakan Plato bahwa sumber keadilan yang tertinggi adalah nurani para hakim itu sendiri. Sehingga BG mengajukan gugatan praperadilan yang berhasil meraih putusan palu hakim keadilan itu membatalkan status tersangkanya.

Koloni Antikorupsi

Apapun seruan dalam buku BG tentang perkara koloni keadilan tak lagi membalut naluri dan etika atas kasusnya karena keinginan publik BG tetap di proses hukum. Sangat ironis, namun faktanya tak bisa di bantah bahwa kasusnya sudah banyak orang yang di korbankan, termasuk Polri tidak mendengar tekanan publik akibat terrasuki pragmatisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun