Mohon tunggu...
Rusdianto Samawa Tarano Sagarino
Rusdianto Samawa Tarano Sagarino Mohon Tunggu... Dosen -

Membaca dan Menulis adalah Mutiara Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Politik

Koloni Anti Korupsi

13 Oktober 2015   20:18 Diperbarui: 13 Oktober 2015   20:33 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Budi Gunawan (2006:4) mengatakan pragmatisme telah merambah semakin kronis dalam ranah politik hukum. Ibarat lomba panjat pinang, para elit hanya berebut mendaki untuk bersanding dekat kekuasaan, tanpa hirau lagi akan etika dan suara rakyat. Satu-satunya jalan harus segera meninggalkan pragmatisme. Jika tidak, kepentingan rakyat dan masa depan bangsa ini menjadi taruhan.

Jika Budi Gunawan mendengar nalar pemikirannya, tentu harus konsisten agar tidak menerima tawaran menjadi wakapolri dan tetap menjalankan proses hukum atas status tersangkanya. Karena hal ini akan dikenang, seperti yang dikatakan Julian Benda dalam La Trahison des Cleres pengingkaran kaum intelektual atas berbagai pelanggaran etika yang merupakan dasar hukum.

Lain juga, argumentasi Karl Marx memandang bahwa politik merupakan persoalan bagi hukum, maka ungkapan Marx tersebut harus di tinggalkan oleh KPK-Polri agar tidak masuk wilayah pragmatisme politik yang merusak etika hukum dan sistem negara. Tetapi kalimat yang mengalir dari Karl Marx terasa hambar, sepintas ada peringatan kepada KPK-Polri untuk selalu ingat pengalaman berbagai kasus yang tidak tuntas sehingga berdampak pada distrust terhadap keberadaan penegak hukum itu sendiri.

Saat ini di mana orang-orang bertindak semau gue, betapa pekatnya situasi bila semua orang merasa dirinya sebagai penegak hukum yang dapat menebas melibas siapa saja. Kendati kasus BG cukup relevan dengan hiruk pikuk penegakan hukum negeri ini menjadi petanda koloni antikorupsi sedang galau yang lahirkan sikap prematur. Sangat sayangkan, diduga pengalihan kasus BG ke Polri berpotensi menghilangkan jejak. Sementara penetapan tersangka merupakan keputusan hukum yang harus di jalani bagi pelaku koruptor.

Kendati pimpinan kapolri sendiri tidak bergeming untuk mengambil tindakan tegas agar mencopot bagi anggota yang di nyatakan tersangka. Ternyata sebaliknya, Polri malah mengayunkan pedang perlawanan terhadap KPK dengan mentersangkakan AS dan BW serta pimpinan komisioner KPK yang lainnya. Kini koloni antikorupsi semakin melemah, sikap KPK tak bergeming sembari bisu eksesif terhadap situasi.

Harapannya, para penegak hukum memberikan pemahaman mendasar mengenai cara menyelsaikan masalah yang penuh etika dan konstruktif. Dimana opini masyarakat sebagai pemantik dalam bekerja dan membangun hubungan baik agar tidak saling mengkriminalkan. Termasuk kepada kapolri baru akan datang agar tidak mengangkat BG sebagai wakapolri dan lebih pada apresiasi untuk menjalankan proses hukum.

Penegak hukum dan pemegang kekuasaan jangan gemar berlagak picik terhadap supremasi undang-undang yang mengikat. Karena kepicikan itu dapat menjungkal makna koloni antikorupsi menjadi destruktif yang artinya penegak hukum sebaiknya tidak seperti pepatah “menampik air di dulang, terpercik muka sendiri”.

Rusdianto PSDOD STIE Ahmad Dahlan Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun