Mohon tunggu...
Rizki Ramadhan
Rizki Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa universitas pamulang, prodi ilmu komunikasi fakultas ilmu komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Warna pink dan konstruksi gender : sejarah dan perubahan dalam pandangan sosia;

27 Desember 2024   18:35 Diperbarui: 27 Desember 2024   19:57 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Ilustrasi Pink. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki) 

Warna pink sering kali dianggap sebagai lambang feminitas dalam budaya populer saat ini. Namun, hubungan ini tidaklah benar sebaliknya, ia merupakan hasil dari konstruksi sosial yang terus berkembang sepanjang sejarah. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri asal-usul hubungan antara warna pink dan gender, bagaimana persepsi sosial tentang warna ini telah berubah, serta bagaimana perubahan tersebut mencerminkan pergeseran norma-norma sosial. 

Sejarah Awal Warna Pink

Pada abad ke-18 dan ke-19 di Eropa, pink tidak memiliki hubungan khusus dengan satu gender tertentu. Sebaliknya, pink sering dipandang sebagai versi lembut dari merah, yang melambangkan kekuatan dan keberanian. Oleh karena itu, warna pink sering dihubungkan dengan laki-laki muda, sedangkan biru dianggap lebih sesuai untuk perempuan karena warna biru memiliki karakteristik yang lembut dan tenang.
Namun, perubahan mulai terjadi pada awal abad ke-20. Dengan kemunculan industri tekstil massal dan pengembangan pemasaran modern, warna mulai digunakan untuk mengelompokkan produk-produk bayi dan anak-anak. Dalam konteks ini, hubungan gender dengan warna pink dan biru mulai terbentuk, meskipun hal tersebut belum sepenuhnya konsisten.

Pink sebagai Simbol Feminitas

Penghubungan warna pink dengan perempuan mulai menjadi dominan pada pertengahan abad ke-20, terutama di negara-negara Barat. Perubahan ini banyak dipengaruhi oleh kampanye pemasaran dan media populer yang memperkuat stereotip gender. Sebagai contoh, produk anak perempuan seperti mainan, pakaian, dan perlengkapan sekolah sering kali dirancang dengan warna pink, menekankan aspek "feminisme".
Pada saat yang sama, biru bertransformasi menjadi simbol maskulinitas. Asosiasi ini semakin dikuatkan oleh budaya populer, termasuk dalam film dan iklan, yang menciptakan pembagian warna yang tegas berdasarkan gender. Pembagian ini turut mendukung norma-norma tradisional yang mengharapkan perempuan berperilaku lembut, manis, dan feminin

Paoletti, yang menulis buku Pink and Blue: Telling the Boys from the Girls in America, menjelaskan bahwa anak perempuan memakai warna biru sehubungan dengan Perawan Maria yang dianggap memakai banyak warna biru.

Kode gender untuk pink dan biru mulai berubah pada awal abad ke-20. Pada tahun 1930-an dan 1940-an, anak perempuan lebih sering memakai warna pink daripada anak laki-laki.

Greyser mengatakan ada banyak pendapat dari sejarawan tentang mengapa hal ini terjadi, tetapi teori yang berlaku adalah bahwa warna yang lebih gelap dikaitkan dengan maskulinitas karena seragam militer. 

Pada tahun 1980-an warna pink hampir sepenuhnya dianggap sebagai warna perempuan. Pada saat itu juga mulai populer tes kehamilan USG yang membuat calon orang tua bisa mengetahui jenis kelamin janin mereka. Greyser mengatakan, perusahaan melihat ini sebagai sebuah peluang untuk memasarkan produk karena orang tua bersedia menghabiskan uang lebih banyak ketika mereka bersiap menyambut kehadiran bayi. Dari sini lahirlah pasar pakaian dan aksesori pink dan biru untuk menghiasi kamar bayi, dengan gagasan bahwa setiap warna eksklusif untuk jenis kelamin tertentu. 

Pergeseran Pandangan Modern

Dalam beberapa dekade terakhir, pandangan terhadap warna pink mulai mengalami perubahan. Gerakan feminisme, kritik terhadap stereotip gender, dan kesadaran yang semakin meningkat akan pentingnya inklusivitas telah menantang asosiasi tradisional yang mengaitkan pink dengan feminitas.

Contohnya, pria yang mengenakan pakaian warna pink kini tidak lagi dianggap melanggar norma maskulinitas. Sebaliknya, pink sering digunakan sebagai simbol pemberontakan terhadap konvensi gender atau sebagai bentuk ekspresi individualitas.

Selain itu, gerakan pemasaran yang berfokus pada netralitas gender mulai mendorong penggunaan warna tanpa mengaitkannya dengan gender tertentu. Beberapa perusahaan bahkan menghapus kategorisasi berdasarkan warna untuk produk anak-anak, menciptakan ruang yang lebih inklusif.

Kesimpulan

Warna pink menggambarkan bagaimana konstruksi sosial dapat memengaruhi cara kita memaknai hal-hal sederhana seperti warna. hubungan pink dengan feminitas tidaklah tetap; ia merupakan produk dari proses sejarah, budaya, dan ekonomi yang kompleks. Dengan semakin meningkatnya perhatian terhadap pentingnya kesetaraan gender, warna pink kini menjadi simbol yang beraneka ragam karena kini warna pink bisa dipakai oleh seluruh gender meski masi banyak orang yang beranggapan bahwa warna pink adalah warna perempuan. Pergeseran ini membuktikan bahwa makna simbolis suatu warna dapat terus berubah seiring waktu, mencerminkan dinamika sosial yang terus berkembang.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun