Sapardi Djoko Damono adalah maestro sastra yang raganya sudah tiada, namun karyanya tetap hidup minimal untuk saya sampai saat masih mengagumi karya-karyanya.
Salah satu puisi yang berkesan untuk saya adalah "Hujan Bulan Juni"
Kesan pertama ketika membaca puisi adalah gambaran kekaguman pada alam, tetapi ketika membaca dengan lebih teliti ternyata ungkapan yang digunakan adalah personifikasi. Betul, majas yang biasa dipakai untuk membuat benda atau sesuatu yang mati nampak hidup dan memiliki perilaku atau sifat-sifat manusia.
Saya mencoba menafsirkan isi dari ungkapan yang ditulis dalam sajak 'Hujan Bulan Juni' dengan versi saya.
Baik, kita masuk ke bait pertama :
Tak ada yang lebih tabah
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Pilihan kata tabah di kalimat pertama memiliki arti yang khusus, terutama untuk kultur ketimuran yang cenderung menyimpan perasaan daripada mengatakannya dengan terang. Definisi tabah bagi saya adalah kesiapan menjalani hidup dengan tekun, bahkan diam jika diperlukan menyimpan rasa yang sesungguhnya meski sebenarnya ingin berontak. 'Tabah' ada kemiripan dengan kata nrimo dalam bahasa Jawa, perbedaannya nrimo cenderung menerima nasib karena tidak bisa melawan sedang tabah adalah menerima kenyataan karena menyadari itulah yang terbaik, jika pun punya kekuatan melawan keadaan tetap memutuskan untuk menahan diri (tidak memaksa).
Hujan bulan Juni adalah frasa sangat menarik diperhatikan selain menjadi judul dalam puisi, untuk mengetahui apa yang penulis maksudkan dengan pilihannya ini saya pribadi memerlukan waktu sejenak untuk merenungkannya.