Mohon tunggu...
Rizki Nurianjaya
Rizki Nurianjaya Mohon Tunggu... Akuntan - Suka Merenung

Ingin berkontribusi, supaya tidak useless rizkinurianjaya@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Romantisasi Masa Lalu, Layaknya Minum Ciu Bekonang

2 Juni 2021   13:15 Diperbarui: 4 Juni 2021   23:20 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disclaimer : Semua yang termuat dalam tulisan berikut adalah pendapat pribadi 

Ciu!

                   Dikutip dari Kerah Biru: Pengrajin Alkohol Medis dan Ciu di Desa Bekonang, jika banyak orang mengenal Boyolali terkenal dengan 'susu murni' nya, Pak Sabaryono dalam video tersebut "kalau Bekonang ya ingatnya ciu hehehe". Cairan dengan kandungan alkohol bisa mencapai 90% ini sangat akrab di kalangan orang Solo atau karesidenan Surakarta secara umum, telah ada sejak pemerintah kolonial Belanda. Seperti yang disampakan Pak Sabaryono, semua bahan hasil bumi yang mengandung gula bisa diproses menjadi alkohol. 

                    Ciu Bekonang tujuan utama produksinya adalah alkohol untuk kepentingan medis, tetapi juga telah menjadi  rahasia umum bahwa ciu dikonsumsi untuk kepentingan mabuk-mabukkan. Jika ada yang membatah pernyataan tersebut setidaknya berdasar pada apa yang pernah saya lihat semasa SMA, dalam ruang sampel yang sempit dan minim bukti saya menyimpulkan demikian. Sisi sebaliknya, beberapa kelompok orang menganggapnya sebagai minuman yang harus dijauhi.

Sumber : Kompas.com
Sumber : Kompas.com
                  Ya, minum ciu juga menjadi identitas bagi anak muda yang baru mencari jadi diri, tentang menarik simpati orang yang lebih dewasa supaya dinggap keren. Jika mau menelisik lebih jauh, mungkin juga sebagai simbol perlawanan terhadap kemapanan tatanan sistem yang sudah ada, anak muda tanggung  yang menenggak minuman haram bagi sebagian orang ini mungkin sudah merasa seperti Karl Marx. Mabuk ciu, mungkin salah satu cara untuk sejenak bisa ngaso dari kehidupan nyata. Hidup yang semakin dipikir justru kian ruwet, mulai dari hal sepele memilih warna jurusan kuliah, tentang kejombloan yang sering dibincangkan anak muda. Lebih jauh tentang masalah yeng pelik dalam rumah tangga, uang sekolah anak bulan depan atau 'angsuran BRI' yang menanti. Semua itu dengan singkat bisa lenyap walau sekejap dengan menenggaknya. 

                      Burn out hingga toxic environment hanya sebuah istilah turunan istilah dari ide yang lebih besar, bahwa dunia sekitar kita sesungguhnya jauh dari ideal, dan akhirnya menjadi alasan untuk pergi. Jiwa manusia itu sendiri, sering tidak sadar kelelahan dan ingin berhenti dari realitas dunia yang rusak. Jadi sebagian kalangan akan pergi ke Bali nongkrong di cafe mahal, bersepeda gowes dengan sepeda puluhan juta (bagi yang punya uang) pihak yang lain sekedar mengunggah foto untuk mengenang momen-momen indah. Lantas apa bedanya hal di atas dengan minum ciu? sama saja bukan?  Jangan berburuk sangka bukan berarti saya mendukung, sebaliknya saya justru menolak hal-hal di itu. Hanya mencari contoh ekstrim untuk menjelaskan keresahan saya tentang kerinduan manusia akan sebuah dunia yang ideal, dimana manifestasinya berbeda-beda pada setiap kita.

Sumber : Kompas.com
Sumber : Kompas.com
                       Saya kira mengunggah foto untuk mengenang momen-momen indah sejajar dengan nenggak ciu. Semua itu hanya aksi permukaan yang sejatinya berangkat dari masalah yang sama (hanya untuk konteks yang saya tulis di atas -tidak bisa digeneralisasi), jiwa gelisah oleh kenyaatan yang tak sesuai dengan harapan melahirkan keinginan mengungsi sejenak ke tempat yang lain meski hanya sementara waktu. Dengan modal sedikit kejujuran dan waktu sejenak untuk merenung, saya percaya banyak orang akan setuju kalimat di atas. Apakah mengungsi sejenak itu itu akibat dari kerinduan realitas yang sejati dalam dunia ide yang tidak bisa ditemui dalam dunia materi indrawi layaknya teori Plato? 

                      Seperti sebuah topik yang menarik untuk dikusi lebih lanjut. 

                      Saya tidak bertujuan mengampanyekan hal yang tabu dan negatif, hanya menyampaikan renungan pribadi. Sesungguhnya manusia kita sama bobroknya dengan orang yang dipandang hina dalam masyarakat secara umum, sehingga bisa mawas diri dan tidak mudah menghina atau menghakimi pihak lain dengan penuh kebencian.

                       Tulisan ini hanya untuk provokasi terhadap ide dari melihat realita di sekeliling, tidak bermaksud menyinggung pihak manapun. Seperti tulisan saya sebelumnya saya minta maaf jika ada kesalahan dalam mengutip atau menulis, khususnya pihak yang saya sebutkan kurang tepat. Saya bersedia berkomunikasi, dikoreksi dan memperbaiki. 

Tangerang, 2 Juni 2021

Salam

Rizki Nurianjaya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun