Dengan mudah kita bisa menafsirkan penonton yang tertawa pada jawaban Pak Sapardi, memiliki pikiran "pasti ini pengalaman pribadi, khususnya bagian cinta tak sampai".  Meskipun kemungkinan penafsiran itu benar, saya pribadi punya penilaian sendiri tentang puisi ini. Saya percaya puisi yang  terdiri dari satu bait dan empat baris itu bercerita tentang usaha untuk merelakan.Â
Seperti proses manusia dari kecil menjadi dewasa, diawali dengan naluri memaksa (menangis saat lapar dan tidak nyaman) keinginan cocok dengan kenyataan. Tentang mengerti arti bijaksana adalah menahan diri untuk tidak memaksa meskipun keinginan (cinta) itu begitu menggelora, adalah yang juga ingin disampaikan Pak Sapardi.Â
Selamat menikmati karya beliau dan tafsiran sendiri dengan bebas. Seperti waktu yang fana, saya percaya Pak Sapardi melihat cinta layaknya waktu. Dia tidak abadi, mesti dinikmati perjalanannya tapi tak perlu dipaksakan terjadi. Karena akhir darinya adalah abu, maka cukup saja kita mencintai dengan cara paling sulit yaitu 'sederhana'.Â
Terakhir saya minta maaf jika ada kesalahan dalam mengutip atau menulis, khususnya pihak yang saya sebutkan kurang tepat. Saya bersedia berkomunikasi, dikoreksi dan memperbaiki.
Tangerang, 31 Mei 2021
Salam
Rizki Nurianjaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H