Mohon tunggu...
Rizki Muhammad Ramadiansyah
Rizki Muhammad Ramadiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - History Enthusiast

Menulis adalah menyemai perasaan absurd manusia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hakikat Belajar Melalui Pendidikan Humanisme

16 April 2024   17:12 Diperbarui: 16 April 2024   17:13 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemajuan sebuah negara tidak terlepas dari peran pendidikan dan/atau ilmu pengetahuan yang mewadahi seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan dinilai mampu memajukan sebuah peradaban manusia menuju ke arah yang lebih baik yang tidak hanya mengutamakan profit semata. Di Indonesia, tujuan pendidikan secara gamblang dituturkan pada alinea ke-4 UUD 1945 bahwa peran negara seharusnya "mencerdaskan kehidupan bangsa" 

Roem Topatimasan (2015:4) menjelaskan bahwa Ia (pendidikan) adalah perjuangan terhadap pembebasan dari belenggu kebodohan dan ketidaktahuan, keacuhan dan kebohongan yang semuanya merupakan kejahatan akan hati nurani manusia sendiri. Jika melihat ke Benua Amerika, Kuba, mendapati bahwa negara sosialis tersebut menggratiskan seluruh pendidikan kepada seluruh masyarakat.

Di negara Kuba ilmu kedokteran menjadi salah satu pendidikan terbaik dunia. Saat masa pandemi Covid-19 mulai merambah ke seluruh dunia, Kuba menjadi penyumbang dokter terbanyak untuk membantu negara-negara yang terjangkit virus yang berasal dari Wuhan. Seyogyanya Indonesia sebagai negara yang mengutamakan kepentingan rakyat untuk mencoba berkiblat kepada pendidikan di Kuba sebagai anti-tesis pendidikan kapitalistik yang menjamur ke seluruh dunia dan juga Indonesia.

Menurut Prof. Dr. H.A.R Tilaar (dalam Yamin, 2009:40), pendidikan di Indonesia selalu di bawah kungkungan penguasa yang digunakan guna melanggengkan kekuasaan. Intervensi yang terlalu berlebihan yang dilakukan Negara untuk mendompleng penguasa yang jauh dari akar rumput masyarakat, sehingga pendidikan jauh dari rakyatnya. 

Selanjutnya, Ngainum Naim dan Achmad Sauqi (dalam Yamin, 2009:42--43) sebetulnya relasi resiprokal (timbal balik) antara dunia pendidikan dengan kondisi masyarakat. Karena hakikat pendidikan sebagai mestinya untuk memajukan peradaban seluruh umat manusia, bukan usaha pembangunan konstruksi kelas sosial pemodal belaka.  

Pemajuan sebuah pendidikan adalah bagaimana menstimulasikan kurikulum dalam menjawab hakikat belajar. Robert Heinich dalam bukunya Instructional Media and Technology for Learning (1999:8) mengatakan bahwa belajar adalah proses aktivitas pengembangan pengetahuan, keterampilan atau sikap sebagai interaksi seseorang dengan informasi dan lingkungannya sehingga dalam proses belajar diperlukan pemilihan, penyusunan dan penyampaian informasi dalam lingkungan yang sesuai dan melalui interaksi pembelajar dengan lingkungannya. 

Belajar ditujukan untuk menciptakan rasa dan karsa manusia dalam melihat, merasakan, memahami, mencerna, menginterpretasi, dan mengakumulasi pengetahuan dengan mendekatkannya terhadap kehidupan sehari-hari. Hakikat belajar mencoba untuk menjawab fenomena-fenomena permasalahan masyarakat secara akademisi. 

Dengan demikian belajar merupakan hubungan antara manusia dan lingkungan yang distimulasikan melalui menulis, membaca, dan diskusi. Seseorang harus mendapatkan pembelajaran di lembaga pendidikan mewujudkan dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tahu menjadi sangat tahu, dan dari yang sangat tahu mampu berguna untuk masyarakat luas ke arah yang lebih baik.

Kegiatan belajar mengajar merupakan proses interaksi dua arah antara guru dan murid dalam menjawab serta memecahkan permasalahan yang terjadi di sekitar dengan menghubungkan teori-teori yang difasilitasi oleh guru sehingga murid mengeksplorasi, membedah, ataupun membantah apa yang dikemukakan guru sampai mencapai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Pendidikan harus menjunjung tinggi dialektika guru dan murid sebagai subjek. 

Menurut Freire (2015:54) fitrah manusia sejatinya adalah menjadi pelaku atau subjek bukan penderita atau objek. Jika pendidikan hanya terfokus pada kuasa guru di dalam kelas, membungkam kreativitas sekaligus nalar liar siswa sebagai manusia. Pendidikan seperti ini bagi Freire adalah "pendidikan Gaya Bank". Pendidikan gaya bank menghantam eksistensi manusia sebagai subjek bebas yang merdeka. 

Hal ini akan menciptakan generasi manusia-manusia penindas baru seperti apa yang guru lakukan di dalam kelas. Pola pendidikan seperti itu paling jauh hanya akan mampu mengubah penafsiran seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak akan mampu mengubah realitas dirinya sendiri.Sebab itu, hakikat belajar adalah memanusiakan manusia, mendekatkan dengan realitas, dan menghapus kebodohan yang berkepanjangan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun