Mohon tunggu...
Rizki Muhammad Ramadiansyah
Rizki Muhammad Ramadiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - History Enthusiast

Menulis adalah menyemai perasaan absurd manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Elegi Cinta Sutan Sjahrir: Keterasingan Hati Bung Kecil di Boven Digul

11 April 2024   02:13 Diperbarui: 11 April 2024   02:39 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 2. Maria (Historia.id)

Bagi kawula muda cinta bertepuk sebelah tangan memang menyakitkan. Namun pernah nggak sih membayangkan cinta terhalang karena urusan sosial-politik suatu negara? 

Jika pernah menonton film Surat dari Praha (2016) karya Angga Dwimas Sasongko berlatar tahun 1960-an,  mengisahkan tentang Jaya (Tio Pakusadewo) seorang Pelajar Indonesia yang sedang studi di Praha harus terasing dari tanah airnya sendiri karena pergantian pemerintah dari Orde Lama ke Orde Baru. Keadaan politik Indonesia yang sedang berkecamuk membuat Jaya dan beberapa teman seangkatannya tidak bisa kembali ke Indonesia karena menolak rezim militer Soeharto saat itu. Sehingga ia menjadi seorang stateless atau tidak mempunyai kewarganegaraan bertahun-tahun. Usut punya usut, Jaya sebelumnya memiliki seorang pacar yang akan ia nikahi selepas menyelesaikan studi di Praha, perempuan itu bernama Sulastri (Widyawati Sophiaan). Sebuah kisah tentang cinta, amarah, dan keikhlasan sepasang kekasih yang terhalang oleh pengaruh politik negara. 

Jauh sebelum transisi politik yang memengaruhi keadaan seseorang tak terkecuali persoalan asmara, ternyata seorang tokoh pejuang kemerdekaan juga pernah merasakan cinta yang terhalang karena urusan sosial dan politik negara, ia bernama Sutan Sjahrir yang diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda ke wilayah pedalaman Boven Digul, Papua.

Sutan Sjahrir lahir pada 15 Maret 1909 di Padang Panjang, Sumatera Barat, sebuah kawasan yang diapit oleh dua gunung yaitu Gunung Singgalang dan Marapi. Sutan Sjahrir kerap dijuluki 'Bung Kecil' karena ukuran tubuhnya yang mungil dengan tinggi 145 sentimeter. Ia lahir dari keluarga bangsawan hasil pernikahan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan dan Siti Rabiah pada tahun 1898. Sudah barang tentu dengan kondisi keluarga terpandang saat itu, Bung Kecil mendapatkan privelese pendidikan dengan mengenyam pendidikan b studi bahasa belanda atau ELS dan melanjutkannya di Meer Uitgebreid Laager Onderwijs setara Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kebudayaan Minangkabau yang mengharuskan anak laki-laki merantau harus dilakukan oleh Sjahrir. Setelah menamatkan studi di MULO, ia memilih "Kota Kembang" dengan bersekolah di Aglemene Middlebare School (AMS) setara Sekolah Menengah Atas (Mrazek,1996).

Privilese yang dimiliki olehnya digunakan dengan baik tatkala ia menjadi pemuda pintar dan aktif. Pada musim semi 1929, Sjahrir melanjutkan studinya ke negeri Belanda memasuki Fakultas Hukum Universitas Amsterdam.  Sjahrir kerap kali menjadi motor penggerak organisasi baik itu ketika di AMS hingga Belanda. Relasi Sjahrir semakin meluas ketika memasuki organisasi di Belanda. Ia berkenalan dengan Salomon Tas atau disapa Sal Tas pemipin dari organisasi Sociaal Democratische Studenten Club atau klub belajar Sosial-Demokrat. Kedekatan yang dimiliki oleh keduanya membuat Sjahrir tinggal di rumah kecil Sal Tas. Rumah kecil ini dihuni oleh Maria (istri Sal Tas), kedua anak mereka, dan seorang perempuan bernama Judith (MRazek, 1996).

Sjahrir merupakan sosok yang mudah bergaul dengan orang lain, dan terkenal dengan kecintaannya terhadap dunia barat dalam hal gaya hidup. Bersama Sal Tas, Maria, dan Judith, Sjahrir beberapa kali menonton teater, konser musik layaknya anak muda pada saat itu. Entah takdir atau kebetulan, hubungan Maria dengan Sal Tas mulai merenggang karena intrik di dalam kisah cinta mereka. Sjahrir dan Maria mulai mempunyai rasa satu sama lain, dan mereka berdua mulai menjalin cinta kasih walau saat itu masih menjadi istri Sal Tas.

Gambar 2. Maria (Historia.id)
Gambar 2. Maria (Historia.id)

Sjahrir sangat mencintai Maria dengan segenap perasaannya, begitupun sebaliknya. Namun, kecintaan Sjahrir akan negara dan bangsanya membuat keputusan yang sangat berani. Kritisisme Sjahrir dalam berorganisasi akhirnya mempertemukannya dengan Hatta (seorang pemuda Indonesia yang kemudian menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia) dan mendirikan Perhimpunan Indonesia, yang mana Sjahrir menjadi sekertaris di PI. Perbedaan idealisme politik di antara anggota membuat Sjahrir dan Hatta disisihkan di PI (Anwar, 2011). Pada November 1931, Sjahrir bersama Hatta bersiap untuk pulang ke Hindia Belanda. Sesampai di "tempat berbahaya" (penyebutan kondisi Indonesia saat itu), Sjahrir menjadi ketua PNI-Pendidikan atau PNI-Baru pada kongres PNI yang dilaksanakan pada 23--26 Juni 1932.

Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge atau De Jonge (1931--1936) memimpin Hindia Belanda secara otoritarian. Ia tak segan-segan untuk membungkam kaum pribumi yang mengganggu stabilitas keamanan dan politik Hindia Belanda. Pada 1930-an, banyak orang pribumi diasingkan karena dianggap sebagai provokator atau pengganggu pemerintah kolonial. Sjahrir dan Hatta saat itu vokal dan berpengaruh tak luput dari penjara dan pengasingan. Dari penjara ke kamp pengasingan, membuat kegusaran hatinya meningkat. Puncaknya ketika ia diasingkan ke Boven Digul. Di sana, Sjahrir mengalami keterasingan batin dan jiwa, serta membuat hubungan ia dengan Maria semakin memburuk.

Berdamai dengan Boven Digul

Ujung timur wilayah Indonesia, New Guinea atau Papua, menyimpan sejarah panjang hegemoni bangsa Eropa (terkhusus Belanda) untuk membangun koloni di sana. Luas keseluruhan pulau New Guinea 12 kali lebih besar negeri induk Belanda dan 3 kali dari pulau Jawa, yang terbelah menjadi 3 yaitu "kepala burung"; "leher" dan "tubuh" dipisahkan oleh teluk Mac Cluer. Belanda secara malu-malu mulai membangun Fort Du Bus di Teluk Triton pada tanggal 24 Agustus 1828. Pada 1895, terjadi pertentangan klaim wilayah antar Belanda dan Inggris yang menghasilkan pembagian wilayah barat (untuk Belanda) dan Timur (untuk Inggris). Tiga tahun setelah perjanjian tersebut, Belanda baru mendirikan pemukiman permanen di kawasan Hollandia (Fak-fak) dan Manokwari (Schoonheyt, 1936).

Perluasan wilayah New Guinea terus digencarkan oleh Belanda untuk menyingkap misteri dan keindahannya. Pada 1905, Ekspedisi pertama dimulai menyisir daerah Boven Digul atau Digul Atas oleh Kapal Uap Pemerintah bernama "Valk". Kemudian dilanjutkan ekspedisi militer tiga tahun setelahnya oleh Kapal Uap "Zwaluw" dalam memetakan sungai Digul (Schoonheyt, 1936).

Boven Digul merupakan sebuah daerah di ujung Pulau New Guinea yang berada di tengah hutan. Penyebutan daerah Boven Digul karena terletak di dataran tinggi sungai Digul (Shiraishi, 2001). Jauh sebelum ekspedisi ini dilakukan, beberapa orang Tionghoa yang tinggal di Merauke sudah terlebih dahulu keluar-masuk Boven Digul melakukan aktivitas berburu Burung Cenderawasih dengan memanfaatkan orang Papua untuk menembak, dan bahkan tak segan merampas secara paksa hingga terjadi pertumpahan darah (Schoonheyt, 1936: 22).

Pasca pemberontakan PKI 1926--1927, Pemerintah Kolonial Belanda tidak ingin kecolongan kembali. Pemberontakan itu menciptakan kerusuhan di berbagai daerah---dari Batavia hingga Silungkang. Di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda De Graff yang otoriter, pengasingan kaum komunis adalah cara terbaik ke daerah isolasi Digul. Selain itu, hak istimewa yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal digunakan untuk melakukan pembungkaman surat kabar, penangkapan, penyiksaan, pembubaran, serta pelarangan aktivitas politik yang mengganggu ketertiban dan keamanan (Soebagyo Toer, 2010).

Perjalanan menuju Boven Digul tidaklah mudah membutuhkan waktu dan transit di beberapa daerah. Bermula di Batavia menuju Surabaya, lanjut transit ke Makassar untuk pergi ke Ambon, kemudian menaiki kapal "perahu putih" uap pemerintah menuju Boven Digul (Schoonheyt, 1936: 23). Kamp utama dan pusat pemerintah Digul berada di Tanah Merah sejauh 455 km dari bibir sungai Digul---membutuhkan tiga setengah hari, dan kamp kedua di Tanah Tinggi berjarak 55 km dari hulu sungai Tanah Merah---memakan waktu 5 jam menggunakan perahu motor (Shiraishi, 2001).

Karakteristik wilayah Boven Digul jauh dari kata "nyaman" sebagai tempat untuk mendirikan koloni---juga membangun kamp internian. Kesulitan akses dalam mobilitas di Boven Digul menjadi permasalahan Pemerintah Kolonial Belanda. Awalnya, beberapa kampung telahdibangun di Tanah-Merah, yang diberi nomor menurut abjad dari A sampai G. Kampung B dan C paling dekat dengan lapangan militer, sedangkan terutama kampung D, F, dan G terletak jauh lebih dalam, sehingga pada awalnya orang buangan kadang-kadang "dipanah" dari hutan oleh suku asli pedalaman. Selain itu, terdapat permasalahan-permasalahan mendasar  di Boven Digul yaitu (1) iklim dan cuaca; (2) Orang Papua yang belum "bersahabat"; (3) penyakit; (4) kesepian (Schoonheyt, 1936).

Pertama, Iklim di Boven Digul berbeda dengan Jawa-Sumatera karena tidak memiliki angin muson barat dan timur, juga tak pernah absen hujan setiap bulannya. Curah hujan yang cukup tinggi mengakibatkan wilayah Boven Digul cenderung berair dan dipenuhi rawa-rawa. Hidup di hutan Belantara lebih mudah bertemu hewan-hewan yang mendiami daerah tersebut. Buaya sering ditemui di sungai Digul --dalam beberapa kasus para tawanan dimakan buaya.

Kedua, Masyarakat asli Papua yang mendiami daerah Digul masih cukup primitif dan bahkan kanibal. Beberapa upaya dilakukan oleh pemerintah kolonial agar suku-suku di sekitar bisa bersahabat dan hidup berdampingan. Salah satu cara dilakukan adalah dengan menerjunkan seorang antropolog. Akhir September 1935, Pemerintah Hindia Belanda di bawah pimpinan pensiunan petugas kesehatan kelas I, Dr. H.J.T Biljmer melakukan ekspedisi kecil studi antropologis mengidentifikasi suku-suku di sekitar, hasil dari ekspedisi tersebut dapat menugukur suku Papua kerdil dengan rata-rata ukuran manusia sekitar 1,49 meter (Schoonheyt, 1936).

Ketiga, Malaria menjadi penyakit utama saat itu di Boven Digul. Dari pejabat, penjaga, hingga orang buangan terjangkit penyakit mematikan ini. Pada bulan Maret 1929, memiliki tingkat penyakit malaria tidak kurang dari 85% dan pada bulan Januari 1930 bahkan 55%, setelah kampanye pengendalian intensif diluncurkan, yang juga termasuk pengenalan wajib profilaksis kina dan plasmokin, serta pada November 1930, jumlah ini hanya 12%, hanya mendekati nol setelah 1 Januari 1931. Beberapa rumah sakit juga dibangun dalam menanggulangi penyakit ini. Selain malaria, masih ada penyakit-penyakit yang ditemukan di Boven Digul seperti framboesia tropica, filariasis bancrofti, ankylostomiasis atau penyakit cacing tambang, tinea imbricata atau kudis Dayak, dan ichthyosis (Schoonheyt, 1936).

Terakhir, tak hanya penyakit fisik yang diterima penghuni Boven Digul, terdapat penyakit batin yaitu: kesepian. Kesepian merongrong seluruh penghuni karena terisolasi di hutan belantara. Jarak dan akses dunia luar tidak semudah ketika berada di kota. Informasi di luar Boven Digul hanya melalui radio milik pejabat Belanda. Perahu yang hanya datang 12 kali selama setahun dan lingkungan yang tidak ramah, membuat siapapun yang berada di Boven Digul tidak betah. Tak terkecuali Sjahrir yang juga diasingkan ke daerah ini.

Boven Digul bukan merupakan kamp konsentrasi sebagai halnya kamp Auschwitz Nazi dan Gulag Soviet (Shiraishi, 2001: 2). Menurut hukum yang berlaku saat itu, pembangunan kamp pada bulan Januari 1927 bukan dianggap sebagai tahanan kriminal, melainkan hanya melanggar tindakan administratif (MRazek, 1996:224).

Keunikan penghuni Boven Digul dalam menanggulangi kesepian adalah membuat papan iklan bertuliskan "guru bahasa Inggris", "Pencuci pakaian", dan "Penata rambut", yang mana hal itu didirikan di tengah hutan. Banyak juga aktivitas lainnya yang terjadi di kamp ini seperti berjalan santai, membuat toko kelontong, membaca buku, menulis, bermain bola, serta dibolehkan mendirikan organisasi, dan juga orang buangan punya 'polisi pengaman' sendiri yang disebut R.0.8. atau Pelestarian Kedamaian dan Ketertiban (Schoonheyt, 1936).

Selepas mendekam di Penjara Cipinang, Sutan Sjahrir bersama Mohammad Hatta dan Mohammad Bondan diberangkatkan dalam satu mobil, juga bertemu di Tanjung Priok denga Boerhanuddin, Maskoen, Moerwoto, dan Suka, yang selanjutnya menaiki kapal Intersuler Melchior Treub dengan tujuan akhir Boven Digul pada 29 Januari 1935. Sebelumnya, Sjahrir meminta untuk diasingkan ke luar negeri, tapi ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada 5 Februari 1935, rombongan sudah sampai di Makassar, dan 3 hari berikutnya diangkut kapal KPM Pijnacker Hordijk menuju Ambon, dan singkatnya pada 23 Februari 1935, menaiki kapal Albatros rombongan sampai di Tanah Merah, Boven Digul. Sjahrir dan Mohammad Hatta merupakan penumpang kapal kelas dua, pemerintah sebelumnya sudah mendirikan rumah untuk mereka tinggal (Soebagyo Toer, 2010).

Gambar 6. Sutan Sjahrir bersama Hatta, Maskoen, Boeharnoeddin, Marwoto & Maskoen di Boven Digul (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)
Gambar 6. Sutan Sjahrir bersama Hatta, Maskoen, Boeharnoeddin, Marwoto & Maskoen di Boven Digul (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)

Di tahun 1935, ketika Sjahrir menghuni kamp pengasingan, pejabat dengan jabatan lebih tinggi menegur administrator kamp dengan keras karena terlalu bersemangat mengawasi kaum interniran (MRazek, 1996). Ketat atau tidaknya penjagaan interniran tidak berlaku di Boven Digul karena terpencil dan paling isolasi dibandingkan kamp-kamp lain di Hindia Belanda.

Sjahrir dan ratusan kaum interniran lainnya mengalami hal yang serupa yakni kesepian yang mendalam. Batin Sjahrir kian hari kian terpuruk dalam rindunya untuk Maria. Semenjak di Cipinang hingga Boven Digul, dan nantinya ke Banda Neira, Sjahrir dan Maria sering berbalas "surat cinta" beda benua. Seperti tulisan di atas, kecintaaan Sjahrir dengan bangsa dan Negaranya membuat ia kembali ke tanah air, membuat dirinya dengan Maria menjalani hubungan jarak jauh atau Long Distance Relationship (LDR).  Semenjak di Boven Digul, surat-surat yang ditulis oleh Sjahrir mengalami sedikit hambatan karena kesusahan akses. Dalam surat-suratnya ketika di Boven Digul mengejawantahkan pribadi Sjahrir dalam perenungannya untuk hidup di tempat kematian melawan fisik dan batin yang menderanya.

Keterasingan Hati Seorang Sjahrir

Ditengah Keheningan Boven Digul, Sjahrir mencemaskan kisah asmaranya bersama sang kekasih---Maria atau Mieske sebuah sapaan sayang Sjahrir kepada Maria, dan Sidi sebaliknya panggilan kesayangan Maria kepada Sjahrir. Sapaan yang merepresentasikan kisah cinta mereka begitu mendalam. Pada surat yang ditulis oleh Sjahrir dan juga sebaliknya, menggema syair-syair indah dan romantis yang diutarakan dalam sepucuk surat tersebut. Sjahrir memang ahli dalam menulis untaian kata manis, sebab ia gemar membaca karya sastra dan juga menyukai musik---juga teater semasa di Belanda. Pertemuan Sjahrir dan Maria adalah kilas balik 2 manusia, yang dipisahkan kondisi politik yang berkecamuk saat itu.

Sigmund Freud (pencetus psikoanalisis) dalam penemuannya menciptakan struktur kepribadian manusia yang terbagi menjadi 3 unsur, yaitu id, ego, dan superego, yang ketiganya memiliki asal, fungsi, aspek, prinsip, operasi, dan perlengkapan masing-masing. Secara definisi, (1) id adalah sistem keinginan atau tabiat manusia yang muncul sejak lahir ke dunia; (2) ego adalah mengontrol kesadaran manusia sesuai dengan prinsip realistis dan rasional; (3) super ego adalah memaksakan sistem moral dari kepribadian manusia secara ideal (Syawal & Helaluddin, 2018).

Pribadi Sjahrir kemudian diuji, dan ujian itu semakin berat saat berada dalam realitas yang tidak diinginkan: terisolasi dan keharusan pemenuhan cinta yang ideal. Id yang dimiliki oleh Sjahrir adalah bentuk lahiriah manusia dalam menggapai cinta yang sempurna. Sjahrir mengontrol (ego) cinta dengan keadaan terkungkung di tengah hutan belantara, tak jauh dari situ banyak buaya dan malaria yang siap membinasakannya sewaktu-waktu. Dan superego Sjahrir adalah reaksi hati dan pikirannya, yang dihegemoni oleh kondisi yang di luar kehendaknya. Diasingkan ke Boven Digul.

Ketidakseimbangan antara id, ego, dan superego melahirkan kecemasan seseorang. Sjahrir merasa cemas, dan yang bisa ia lakukan adalah merenung dan menorehkannya di dalam secarik kertas---yang tentu ditujukan untuk kekasihnya, Mieske. Tulisan yang ditulis Sjahrir pada tanggal 30 Mei 1935, merupakan salah satu proses mediasi pikiran dan hati Sjahrir kepada Maria. Sjahrir memulai tulisannya larut dengan sikap pesimistis dan mengelaborasi sikapnya atas dirinya dan untuk Maria.

Gambar 7. Tulisan Sjahrir (30--5--1935) untuk 'Mieske saat di Boven Digul (Historia.id)
Gambar 7. Tulisan Sjahrir (30--5--1935) untuk 'Mieske saat di Boven Digul (Historia.id)

"Mieske, pelan-pelan saya membaca suratmu beberapa kali. Di dalamnya ada begitu banyak yang saya mengasihi, khusus di dalam fragmen-fragmen pesimistis. Saya tahu kenapa dan bagaimana kamu menulisnya, saya tahu dan itu membangkitkan kenangan-kenangan di dalam diriku. Yang pahit dan yang manis. Itu membuat saya melamun dan berpikir. Itu begitu menyenangkan bagi saya. Saya merasa lebih baik, lebih murni, merdeka, terangkat atas semua hal manusiawi yang sepele. Di dalam diri kita adalah begitu banyak hal sepele, begitu banyak kebodohan dan piciknya pandangan. Saya kaget melihat itu dalam diriku sendiri," ujar Sjahrir.

Menurut Freud, 'kecemasan realita' merupakan kegelisahan eksternal di luar diri manusia. Kebebasan Sjahrir harus hilang ketika pintu penjara tertutup, dan gelapnya hutan Digul.

"...Di mana ketenangan dan kedamaian yang saya mengira saya merebut di penjara untuk selamanya? Di mana perasaan luas yang nyaman, pengertian untuk menerima dan pasrah itu, kekuatan itu karena stabilitas, karena kepastian. Itu hilang, saat pintu-pintu penjara di belakang saya ditutupkan. Kamu sudah bisa mengetahui dari surat-surat dari kapal bahwa ketenangan saya hilang. Sampai sekarang saya belum ketemu itu lagi..."

Upaya berdamai dengan alam pikiran dan alam bebas Boven Digul hanya melahirkan kebuntuan dalam bayang-bayang kecintaan terhadap Maria. Sjahrir bersikeras melewati hari-harinya dikala gundah gulana tentang keuangan dan makanan, lingkungan, studi hingga masa depannya bersama Maria. "Di mana penguasaan diri, di mana kepastian yang tenteram saya? Selama waktu ini (di Boven Digul), itu hilang Mieske", tulis Sjahrir.

Selanjutnya, yang diutarakan oleh Sjahrir merupakan bentuk reaksi formasi dalam Defense Mechanism atau mekanisme pertahanan diri. Reaksi formasi adalah bentuk keterbalikan perilaku yang berlawanan. Sjahrir mencoba penguatan hati yang sebenarnya tidak benar-benar kuat dalam situasi seperti ini di Boven Digul.

"Hari ini, malam ini saya merasa itu begitu tajam. Suratmu, dengan sendirinya, membuat saya memikir, melamun, tarik saya dari lingkungannya, membersihkan saya dari semua hal yang sepele saya. Malam ini saya merasa tenang lagi, sayang dan seperti keadaan saya sekarang, seperti perasaan saya sekarang, saya tidak bisa melakukan kesalahan sama sekali," tulisnya.

Pada akhirnya, sudut pandang gombal Sjahrir kepada Maria yaitu, "...yang tidak saya menemukan di studi, maupun filosofi, saya ketemu di dirimu, di suratmu." Walau akhirnya cinta mereka benar-benar tak sampai karena keduanya memiliki pasangan barunya masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun