Mohon tunggu...
Rizki Muhammad Ramadiansyah
Rizki Muhammad Ramadiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - History Enthusiast

Menulis adalah menyemai perasaan absurd manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Elegi Cinta Sutan Sjahrir: Keterasingan Hati Bung Kecil di Boven Digul

11 April 2024   02:13 Diperbarui: 11 April 2024   02:39 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 6. Sutan Sjahrir bersama Hatta, Maskoen, Boeharnoeddin, Marwoto & Maskoen di Boven Digul (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)

Ujung timur wilayah Indonesia, New Guinea atau Papua, menyimpan sejarah panjang hegemoni bangsa Eropa (terkhusus Belanda) untuk membangun koloni di sana. Luas keseluruhan pulau New Guinea 12 kali lebih besar negeri induk Belanda dan 3 kali dari pulau Jawa, yang terbelah menjadi 3 yaitu "kepala burung"; "leher" dan "tubuh" dipisahkan oleh teluk Mac Cluer. Belanda secara malu-malu mulai membangun Fort Du Bus di Teluk Triton pada tanggal 24 Agustus 1828. Pada 1895, terjadi pertentangan klaim wilayah antar Belanda dan Inggris yang menghasilkan pembagian wilayah barat (untuk Belanda) dan Timur (untuk Inggris). Tiga tahun setelah perjanjian tersebut, Belanda baru mendirikan pemukiman permanen di kawasan Hollandia (Fak-fak) dan Manokwari (Schoonheyt, 1936).

Perluasan wilayah New Guinea terus digencarkan oleh Belanda untuk menyingkap misteri dan keindahannya. Pada 1905, Ekspedisi pertama dimulai menyisir daerah Boven Digul atau Digul Atas oleh Kapal Uap Pemerintah bernama "Valk". Kemudian dilanjutkan ekspedisi militer tiga tahun setelahnya oleh Kapal Uap "Zwaluw" dalam memetakan sungai Digul (Schoonheyt, 1936).

Boven Digul merupakan sebuah daerah di ujung Pulau New Guinea yang berada di tengah hutan. Penyebutan daerah Boven Digul karena terletak di dataran tinggi sungai Digul (Shiraishi, 2001). Jauh sebelum ekspedisi ini dilakukan, beberapa orang Tionghoa yang tinggal di Merauke sudah terlebih dahulu keluar-masuk Boven Digul melakukan aktivitas berburu Burung Cenderawasih dengan memanfaatkan orang Papua untuk menembak, dan bahkan tak segan merampas secara paksa hingga terjadi pertumpahan darah (Schoonheyt, 1936: 22).

Pasca pemberontakan PKI 1926--1927, Pemerintah Kolonial Belanda tidak ingin kecolongan kembali. Pemberontakan itu menciptakan kerusuhan di berbagai daerah---dari Batavia hingga Silungkang. Di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda De Graff yang otoriter, pengasingan kaum komunis adalah cara terbaik ke daerah isolasi Digul. Selain itu, hak istimewa yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal digunakan untuk melakukan pembungkaman surat kabar, penangkapan, penyiksaan, pembubaran, serta pelarangan aktivitas politik yang mengganggu ketertiban dan keamanan (Soebagyo Toer, 2010).

Perjalanan menuju Boven Digul tidaklah mudah membutuhkan waktu dan transit di beberapa daerah. Bermula di Batavia menuju Surabaya, lanjut transit ke Makassar untuk pergi ke Ambon, kemudian menaiki kapal "perahu putih" uap pemerintah menuju Boven Digul (Schoonheyt, 1936: 23). Kamp utama dan pusat pemerintah Digul berada di Tanah Merah sejauh 455 km dari bibir sungai Digul---membutuhkan tiga setengah hari, dan kamp kedua di Tanah Tinggi berjarak 55 km dari hulu sungai Tanah Merah---memakan waktu 5 jam menggunakan perahu motor (Shiraishi, 2001).

Karakteristik wilayah Boven Digul jauh dari kata "nyaman" sebagai tempat untuk mendirikan koloni---juga membangun kamp internian. Kesulitan akses dalam mobilitas di Boven Digul menjadi permasalahan Pemerintah Kolonial Belanda. Awalnya, beberapa kampung telahdibangun di Tanah-Merah, yang diberi nomor menurut abjad dari A sampai G. Kampung B dan C paling dekat dengan lapangan militer, sedangkan terutama kampung D, F, dan G terletak jauh lebih dalam, sehingga pada awalnya orang buangan kadang-kadang "dipanah" dari hutan oleh suku asli pedalaman. Selain itu, terdapat permasalahan-permasalahan mendasar  di Boven Digul yaitu (1) iklim dan cuaca; (2) Orang Papua yang belum "bersahabat"; (3) penyakit; (4) kesepian (Schoonheyt, 1936).

Pertama, Iklim di Boven Digul berbeda dengan Jawa-Sumatera karena tidak memiliki angin muson barat dan timur, juga tak pernah absen hujan setiap bulannya. Curah hujan yang cukup tinggi mengakibatkan wilayah Boven Digul cenderung berair dan dipenuhi rawa-rawa. Hidup di hutan Belantara lebih mudah bertemu hewan-hewan yang mendiami daerah tersebut. Buaya sering ditemui di sungai Digul --dalam beberapa kasus para tawanan dimakan buaya.

Kedua, Masyarakat asli Papua yang mendiami daerah Digul masih cukup primitif dan bahkan kanibal. Beberapa upaya dilakukan oleh pemerintah kolonial agar suku-suku di sekitar bisa bersahabat dan hidup berdampingan. Salah satu cara dilakukan adalah dengan menerjunkan seorang antropolog. Akhir September 1935, Pemerintah Hindia Belanda di bawah pimpinan pensiunan petugas kesehatan kelas I, Dr. H.J.T Biljmer melakukan ekspedisi kecil studi antropologis mengidentifikasi suku-suku di sekitar, hasil dari ekspedisi tersebut dapat menugukur suku Papua kerdil dengan rata-rata ukuran manusia sekitar 1,49 meter (Schoonheyt, 1936).

Ketiga, Malaria menjadi penyakit utama saat itu di Boven Digul. Dari pejabat, penjaga, hingga orang buangan terjangkit penyakit mematikan ini. Pada bulan Maret 1929, memiliki tingkat penyakit malaria tidak kurang dari 85% dan pada bulan Januari 1930 bahkan 55%, setelah kampanye pengendalian intensif diluncurkan, yang juga termasuk pengenalan wajib profilaksis kina dan plasmokin, serta pada November 1930, jumlah ini hanya 12%, hanya mendekati nol setelah 1 Januari 1931. Beberapa rumah sakit juga dibangun dalam menanggulangi penyakit ini. Selain malaria, masih ada penyakit-penyakit yang ditemukan di Boven Digul seperti framboesia tropica, filariasis bancrofti, ankylostomiasis atau penyakit cacing tambang, tinea imbricata atau kudis Dayak, dan ichthyosis (Schoonheyt, 1936).

Terakhir, tak hanya penyakit fisik yang diterima penghuni Boven Digul, terdapat penyakit batin yaitu: kesepian. Kesepian merongrong seluruh penghuni karena terisolasi di hutan belantara. Jarak dan akses dunia luar tidak semudah ketika berada di kota. Informasi di luar Boven Digul hanya melalui radio milik pejabat Belanda. Perahu yang hanya datang 12 kali selama setahun dan lingkungan yang tidak ramah, membuat siapapun yang berada di Boven Digul tidak betah. Tak terkecuali Sjahrir yang juga diasingkan ke daerah ini.

Boven Digul bukan merupakan kamp konsentrasi sebagai halnya kamp Auschwitz Nazi dan Gulag Soviet (Shiraishi, 2001: 2). Menurut hukum yang berlaku saat itu, pembangunan kamp pada bulan Januari 1927 bukan dianggap sebagai tahanan kriminal, melainkan hanya melanggar tindakan administratif (MRazek, 1996:224).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun