Masih terkait judul utama. Merambah ke sektor lain. Semakin menjamurnya minimarket di Kota Bandung sepertinya tidak lepas dari andil pemerintah daerah juga. Warung dan toko-toko pribumi dengan modal seadanya, jika diharuskan bersebelahan dengan minimarket di kiri dan di kanan, tentu menjadi sebuah persaingan antara pemuncak klasemen dengan penghuni juru kunci jika perlu mengambil contoh aturan peringkat dalam sepakbola.
Persaingan-persaingan seperti ini menurut pengamatan penulis tidak masuk akal. Karena dengan jarak kurang dari 1 km pada kenyataannya terdapat beberapa minimarket dengan nama yang sama. Logikanya, sangat sulit bagi warung dan toko yang mengandalkan pembeli satuan, dengan sistem pembelian di minimarket yang borongan ---bahkan ada juga yang membeli satuan. Bukan tidak mungkin membuat warung dan toko kecil milik pengusaha ekonomi menengah itu terpaksa harus tutup di tengah jalan karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk bertahan. Penulis rasa pada bagian ini dibutuhkan alasan yang jelas dari pihak pemerintah daerah terkait kebijakan pemberian izin terhadap menjamurnya minimarket. Iri jika harus berkaca pada daerah lain di Sumatera Barat sana yang dengan tegas melarang hadirnya minimarket.
Jika terus banyak keputusan yang tidak memihak pada warga Kota Bandung, dan dengan terus melemahnya kesejahteraan para warga aslinya. Bukan tidak mungkin akan ada perpindahan penduduk dari Kota menuju Kabupaten yang menandakan pemilik rumah dikalahkan oleh tamunya.
***
“Bandung soméah teuing ka sémah” ceuk kuring.
Bandung, 12 Désémber 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H