Mohon tunggu...
Rizki Sanjaya Masbox
Rizki Sanjaya Masbox Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang manusia yang mengagungkan Persib setelah Allah juga Muhammad.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guguritan di Tangan Dian: Pinunjul Hadiah Sastera Rancagé 2015

2 September 2015   19:00 Diperbarui: 7 September 2015   10:01 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sabtu, 22 Agustus 2015, di Gedung Yayasan Kebudayaan Rancagé Jalan Garut No 2 Kota Bandung, telah terselenggara penganugerahan Hadiah Sastera Rancagé 2015. Penganugerahan tahun ini diberikan kepada karya-karya dari Sastra Sunda, Sastra Jawa, Sastra Bali, dan Sastra Batak. Selain pemberian Hadiah Sastera Rancagé, di waktu dan tempat yang sama diberikan juga Hadiah Samsudi, untuk kategori karya sastra anak.

Hadiah Sastera Rancagé pertama diselenggarakan tahun 1989 oleh Yayasan Kebudayan Rancagé. Yayasan ini didirikan oleh para budayawan Sunda seperti Ajip Rosidi, Edi S. Ekajati, dan Erry Riyana Harjapamekas. Dengan usia lebih dari seperempat abad, tentu sudah banyak judul dan sastrawan yang memenangkan penghargaan ini, baik dalam karya maupun jasa.

Pada tahun 2014 terdapat 19 judul buku yang masuk kriteria penilaian Hadiah Sastera Rancagé. Kriteria yang menjadi penilaian yaitu buku-buku selain karya Ajip Rosidi, cetakan ulang, terjemahan, danyang dibuat bersama. Dari ke-19 judul tersebut, akhirnya terpilih tiga buku yang menjadi pertimbangan para juri, antara lain: Dayeuh Kasareupnakeun Nazarudin Azhar, Kembang-Kembang Anten Aam Amilia, dan Lagu Ngajadi Dian Hendrayana.

Aam Amilia berani mengangkat masalah poligami dalam novel Kembang-Kembang Anten. Pengarang yang pernah memperoleh Anugerah Budaya Wali Kota Bandung, Gubernur Jawa Barat, dan Institut Budaya Sunda ini dinilai dewan juri kurang meyakinkan secara psikologis.

Seorang pegiat fiksi mini, Nazarudin Azhar membuat buku kumpulan fiksi mini yang berjudul Dayeuh Kasareupnakeun. Kumpulan fiksi mini ini dinilai rajin mencari bentuk baru untuk menyatakan suatu gagasan. Sayang dari beberapa yang berhasil, banyak juga yang belum berhasil.

Kumpulan guguritan Lagu Ngajadi karangan Dian Hendrayana, dalam penilaian dewan juri mendapat pujian. Meski mendapat penilaian baik, dewan juri mengkritik dalam beberapa bagian, Dian membuat kalimat yang terasa dipaksakan. Tapi tidak sampai menurunkan rasa imajinasi dalam buku tersebut.

Dari berbagai penilaian dan pertimbangan, akhirnya dewan juri memutuskan bahwa kumpulan guguritan Dian Hendrayana dan novel Aam Amilia berhak menjadi pemenang Hadiah Sastera Rancagé 2015 kategori karya dan jasa.

***

Awal 2014, Dian Hendrayana membuat sebuah buku kumpulan guguritan yang diberi judul Lagu Ngajadi. Dalam Kamus Basa Sunda R. Satjadibrata dijelaskan bahwa “guguritan” berasal dari kata “gurit”, yang mempunyai arti “ngagurit” atau mengarang sebuah tembang, melalui proses dirajék dengan bentuk pengulangan dwipurwa menjadi “guguritan” yang mempunyai arti cerita pendek yang bisa ditembangkan.

Buku Lagu Ngajadi, diisi oleh 36 kumpulan guguritan yang diambil dari rumpaka pupuh sekar ageung. Kemudian dibagi menjadi: Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula. Ke-36 guguritan tersebut, kemudian dibagi menurut bentuk dan jumlahnya: (1) Kinanti, 5 (2) Asmarandana, 5 (3) Sinom, 9 (4) Dangdanggula, 17. Dian lebih memilih guguritan dalam bentuk dangdanggula. Mengacu pada sifatnya, dangdanggula adalah pupuh yang menceritakan ketentraman dan kegembiraan. Keluar dari sifatnya, bisa saja Dian bermaksud mencari ruang lebih dalam merangkai kata. Karena dari empat pupuh yang tergolong sekar ageungdangdanggula menjadi pupuh yang memiliki baris ”padalisan” paling panjang, yakni 10 baris. Lebih banyak satu baris dibanding asmarandana.

Tahun 1991 menjadi awal Dian membuat guguritan. Guguritan pertama yang dibuat dalam bukunya, berbentuk sinom, dengan judul Pegat Asih. Karakter Dian bisa terlihat dari pengulangan kata “engkang” yang dibuat berkali-kali. Dian menempatkan dirinya sebagai seorang perempuan yang merasa kehilangan. Kehilangan di sini sangat terasa ketika air mata sudah terasa tak bernilai dan menganggap rendah penilaian dosa. Di sini guguritan menjadi pengungkapan rasa bagi Dian.

Ada kalanya Dian berhenti menulis guguritan. Terhitung ada tiga fase Dian berhenti menulis. Yakni rentang 1992-1998, 2000-2003, dan 2006. Sebelum fase pertama, hanya satu guguritan yang Dian buat. Mendekati berakhirnya orde baru, banyak sekali orator yang menulis gagasan dan pemikirannya lewat sebuah sajak. Dengan semangat zaman, mungkin Dian juga ikut meramaikan waktu itu. Untuk fase kedua, tentu bisa dihubungkan dengan kesibukan Dian yang bekerja menjadi wartawan di Metro Bandung. Sedangkan 2006, Dian lagi-lagi tidak membuat guguritan.

Guguritan merupakan primadona pada zamannya. Penggagasnya adalah Haji Hasan Mustapa. Etti RS pernah menjelaskan bahwa guguritan dan dangding sering dipakai dalam bentuk gending karesmen dan setra karesmen. Beberapa di antaranya karya-karya dari Ahmad BakriHidayat Suryalaga, dan Wahyu Wibisana. Dan sebelum Dian membuat Lagu Ngajadi, sudah ada buku-buku guguritan sebelumnya. Beberapa pengarang yang guguritannya dibukukan adalah Dedy Windyagiri, Dyah Padmini, Wahyu Wibisana, dan Yus Rusyana.

Bicara tentang awal dibuatnya guguritan, Ajip Rosidi dalam esainya Haji Hasan Mustapa: Hiji Fénoména Manusa Sunda, menceritakan bahwa naskah tulisan Haji Hasan Mustapa yang diceritakan dari Mangsawirdja, lebih dari 10.000 pada. Naskah tersebut pernah dikumpulkan dan dijilid menjadi empat jilid. Bisa dibayangkan banyaknya tulisan mengenai guguritan dan dangding pada masa itu.

Pada tahun 2013, Dian semakin rajin membuat guguritan: (1) 1991,1 (2) 1999, 1 (3) 2004, 5 (4) 2005, 4 (5) 2007, 1 (6) 2008, 1 (7) 2009, 2 (8) 2010, 3 (9) 2011, 3 (10) 2012, 2 (11) 2013, 13. Melihat dari semakin giatnya Dian mengumpulkan guguritan di tahun 2013, perlu dipertanyakan apa maksud di balik niatnya itu. Apakah Dian ingin cepat menerbitkan buku, dikejar deadline, atau Dian sedang produktif membuat guguritan di tahun tersebut? Walau timbul dugaan demikian, kita tetap harus mengapresiasi usahanya tersebut. Karena dalam buku ini, tetap Dian yang mendapat apresiasi yang positif dari para juri. Selain itu, dengan terbitnya buku ini, kita juga harus tetap memberi apresiasi. Karena dengan terbitnya buku ini kita dapat mempunyai harapan bahwa guguritan bisa eksis kembali saat ini. Karena hingga saat ini tidak banyak pengarang yang aktif membuat guguritan.

Rizki Sanjaya, Mahasiswa Sastra Sunda Unpad.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun