Tahun 1991 menjadi awal Dian membuat guguritan. Guguritan pertama yang dibuat dalam bukunya, berbentuk sinom, dengan judul Pegat Asih. Karakter Dian bisa terlihat dari pengulangan kata “engkang” yang dibuat berkali-kali. Dian menempatkan dirinya sebagai seorang perempuan yang merasa kehilangan. Kehilangan di sini sangat terasa ketika air mata sudah terasa tak bernilai dan menganggap rendah penilaian dosa. Di sini guguritan menjadi pengungkapan rasa bagi Dian.
Ada kalanya Dian berhenti menulis guguritan. Terhitung ada tiga fase Dian berhenti menulis. Yakni rentang 1992-1998, 2000-2003, dan 2006. Sebelum fase pertama, hanya satu guguritan yang Dian buat. Mendekati berakhirnya orde baru, banyak sekali orator yang menulis gagasan dan pemikirannya lewat sebuah sajak. Dengan semangat zaman, mungkin Dian juga ikut meramaikan waktu itu. Untuk fase kedua, tentu bisa dihubungkan dengan kesibukan Dian yang bekerja menjadi wartawan di Metro Bandung. Sedangkan 2006, Dian lagi-lagi tidak membuat guguritan.
Guguritan merupakan primadona pada zamannya. Penggagasnya adalah Haji Hasan Mustapa. Etti RS pernah menjelaskan bahwa guguritan dan dangding sering dipakai dalam bentuk gending karesmen dan setra karesmen. Beberapa di antaranya karya-karya dari Ahmad Bakri, Hidayat Suryalaga, dan Wahyu Wibisana. Dan sebelum Dian membuat Lagu Ngajadi, sudah ada buku-buku guguritan sebelumnya. Beberapa pengarang yang guguritannya dibukukan adalah Dedy Windyagiri, Dyah Padmini, Wahyu Wibisana, dan Yus Rusyana.
Bicara tentang awal dibuatnya guguritan, Ajip Rosidi dalam esainya Haji Hasan Mustapa: Hiji Fénoména Manusa Sunda, menceritakan bahwa naskah tulisan Haji Hasan Mustapa yang diceritakan dari Mangsawirdja, lebih dari 10.000 pada. Naskah tersebut pernah dikumpulkan dan dijilid menjadi empat jilid. Bisa dibayangkan banyaknya tulisan mengenai guguritan dan dangding pada masa itu.
Pada tahun 2013, Dian semakin rajin membuat guguritan: (1) 1991,1 (2) 1999, 1 (3) 2004, 5 (4) 2005, 4 (5) 2007, 1 (6) 2008, 1 (7) 2009, 2 (8) 2010, 3 (9) 2011, 3 (10) 2012, 2 (11) 2013, 13. Melihat dari semakin giatnya Dian mengumpulkan guguritan di tahun 2013, perlu dipertanyakan apa maksud di balik niatnya itu. Apakah Dian ingin cepat menerbitkan buku, dikejar deadline, atau Dian sedang produktif membuat guguritan di tahun tersebut? Walau timbul dugaan demikian, kita tetap harus mengapresiasi usahanya tersebut. Karena dalam buku ini, tetap Dian yang mendapat apresiasi yang positif dari para juri. Selain itu, dengan terbitnya buku ini, kita juga harus tetap memberi apresiasi. Karena dengan terbitnya buku ini kita dapat mempunyai harapan bahwa guguritan bisa eksis kembali saat ini. Karena hingga saat ini tidak banyak pengarang yang aktif membuat guguritan.
Rizki Sanjaya, Mahasiswa Sastra Sunda Unpad.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H