Apa yang dalam pikiran manajemen Napoli? Mereka memecat Carlo Ancelotti setelah Napoli berhasil dibawanya lolos dari fase grup Liga Champions. Performa Napoli yang angina-anginan di Serie A Italia disinyalir jadi penyebab utama turunnya keputusan pemberhentian itu.
Meski demikian, memecat Don Carlo usai menorehkan "prestasi" lolos dari fase grup Liga Champions tetap sulit saya terima. Ancelotti adalah salahsatu pelatih terbaik Italia dalam 10 tahun terakhir. Kinerja buruk Napoli di Liga Italia bukan alasan bagus untuk menilai bahwa kemampuannya meracik strategi bagi Insigne dkk sudah mentok. Edannya lagi, Napoli kemudian memilih Gennaro Gattuso yang terbilang gagal di Milan sebagai pengganti Ancelotti.
Pemecatan sosok sekaliber Ancelotti mengingatkan saya pada sejumlah pemecatan pelatih yang terhitung mengejutkan. Sebut saja bagaimana Leicester City memberhentikan Claudio Ranieri saat dirinya belum genap setahun mempersembahkan titel juara Premier League yang sensasional. Terkejut? Tentu saja. Performa The Foxes memang tidak sebaik saat menjadi juara tapi atas jasa luar biasanya, Ranieri seharusnya "punya hak" untuk dipertahankan setidaknya sampai akhir musim.
Pemecatan Ranieri seperti mengulangi kisah Jose Mourinho di periode keduanya menangani Chelsea. Usai membawa The Blues  juara Liga Inggris dan seakan-akan bakal menjadi Sir Alex Ferguson versi Stamford Bridge, Mourinho justru dipecat pada musim berikutnya. Imajinasi The Special One bakal menua di ruang ganti Chelsea sirna seketika.
Kisah-kisah pemecatan ini menegaskan kembali bahwa dunia sepakbola sudah berubah. Tidak ada lagi kesabaran ala Manchester United yang diterima Sir Alex Ferguson dulu. Manager legendaris MU itu beruntung berada pada jaman dimana kegagalan mencapai target masih mendapatkan ruang permakluman.
Untuk mengingatkan saja, Sir Alex puasa gelar selama 4 tahun pertama menangani MU. Klub elit mana hari ini yang bisa bersabar dengan kondisi tersebut? Lihatlah Louis Van Gaal yang berhasil membawa MU juara FA Cup pada musim kedua justru dipecat. Atau suksesornya Jose Mourinho yang langsung juara Piala Liga Inggris dan Europa League di musim perdana tetap tidak dapat "keistimewaan" yang dulu diterima Sir Alex.
Rasanya klub terakhir yang memberlakukan "penghormatan" bagi manager yang sudah berjasa bagi mereka adalah Arsenal. Meski diiringi nada-nada sumbang di musim-musim terakhirnya, Arsene Wenger berhasil meninggalkan Arsenal dengan status tidak dipecat. Penghargaan pun tetap diberikan Arsenal untuk Wenger pada hari-hari terakhirnya bersama The Gunners.
Â
Kondisi-kondisi ini rasanya akan semakin sulit untuk didapati di era sepakbola modern yang tidak hanya mengejar soal menang kalah di atas lapangan. Sepakbola modern juga berhitung soal citra bisnis klub di mata publik dan untung rugi klub sebagai sebuah perusahaan. Dua hal ini punya kaitan dengan kinerja skuad diatas lapangan hijau.
Performa baik diatas lapangan hijau adalah bekal untuk meraih citra positif yang akan jadi modal bisnis. Sebaliknya jika kinerja buruk yang dihadirkan maka bisnis juga bisa ikutan terkoreksi. Dalam kondisi demikian, klub tidak lagi "punya hati" soal loyalitas dan kesetiaan pada sosok yang mendedikasikan diri bagi klub.
Pada akhirnya semua hanya tentang siapa yang bisa membuat klub kompetitif. Tidak peduli bahwa seseorang sudah sangat berjasa bagi klub. Ketika tidak ada lagi "manfaat" yang bisa diberikan bagi klub maka selesai sudah kerjasama.
Dalam kondisi seperti ini, jangan berharap akan lahir sosok seperti Sir Alex Ferguson yang mampu bertahan lama menangani satu klub. Jika Fergie ada dimasa ini, maka pria Skotlandia itu tidak akan bertahan lama di Old Trafford karena 4 tahun pertama tanpa gelar juara. Inilah dunia sepakbola dengan sangat kecil peluang mendapati lagi profil seperti Sir Alex Ferguson.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H