"Winning is an important thing, but to have your own style, to have people copy you, to admire you, that is the greatest gift". Demikian buah pikiran Johan Cruyff yang dilansir dari Eurosport kala dirinya menangani Barcelona dan menyodorkan konsep tiki-taka untuk versi baru La Masia pada tahun 1979 ke Presiden Barcelona saat itu, Josep Lluis Nunez.
Dengan ti ki taka sebagai referensi gaya sepakbola yang diajarkan di La Masia, Akademi sepakbola Barcelona sebagai tempat membina pemain-pemain muda masa depan Barca, Cruyff ingin membentuk La Masia sebagai sumber utama pengembangan gaya bermain Barcelona di masa depan.
Tiki-taka merupakan penyempurnaan Cruyff pada konsep Total Football Belanda milik Rinus Michell dimana Cruyff menjadi aktor utamanya. Tiki-taka kemudian menjadi gaya bermain khas dari Barcelona yang kemudian mempengaruhi gaya bermain timnas Spanyol. Modifikasi boleh saja dilakukan seperti yang diterapkan Guardiola, Enrique dan Del Bosque tetapi sejatinya tiki-taka masih menjadi konsep utamanya.
Transfermarkt mencatat ketika menangani Barcelona, Cruyff baru memetik buah penerapan tiki-taka saat membawa Guardiola dkk menjuarai La Liga 4 kali beruntun pada tahun 1991, 1992, 1993 dan 1994. Pencapaian yang luar biasa karena The dream team Barcelona era Guardiola yang disebut-sebut terbaik sepanjang sejarah sekalipun tidak mampu mengulangi pencapaian 4 kali beruntun juara La Liga tersebut.
Puncak kehebatan tiki-taka ala Cruyff di Eropa adalah kala legenda Belanda itu membawa Barcelona juara Liga Champions (saat itu bernama Piala Champions) untuk kali pertama pada tahun 1992 dengan mengalahkan Sampdoria di final. Meski demikian, tiki-taka Cruyff di Barcelona juga pernah merasakan kekalahan menyakitkan pada final Piala Champions 1994 kala AC Milan membantai mereka 4-0.
Di sinilah ujian untuk tetap menjadi diri sendiri itu dimulai. Kekalahan telak pada final Piala Champions jelas bukan satu hal yang bisa dimaafkan dan dilupakan begitu saja.
Satu kegagalan seperti ini bisa saja membuat orang tergoda untuk menjadi seperti lawan yang mengalahkannya. AC Milan sendiri saat itu dikenal dengan identitas pola 4-4-2 yang membuatnya dijuluki The Dream Team. Apakah Barcelona lantas berubah dan meninggalkan identitas tiki-taka mereka?
Tidak. Sejarah kemudian merekam bagaimana Barca benar-benar meraih sukses besar saat ditangani Pep Guardiola yang notabene pernah merasakan didikan La Masia sebagai sumber identitas gaya bermain tiki taka. Pep, salahsatu murid terbaik Johan Cruyff mempertahankan gaya tiki-taka Barcelona.
Bersama Pep, Barca bangkit kembali. Saking hebatnya, semua gelar disapu bersih tiki-taka Barcelona ala Pep pada tahun 2009 atau tahun pertama kepelatihannya. Pep Guardiola membawa Barca memenangi La Liga 2008/2009, 2009/2010 dan 2010/2011 serta 2 titel Liga Champions 2009 dan 2011.
Meski demikian, ujian tetap hadir kala sosok Jose Mourinho bersama Inter Milan dan Roberto Di Matteo bersama Chelsea menemukan cara menaklukkan racikan tiki taka milik Pep Guardiola. Tiki-taka Barca terhenti di semifinal Liga Champions musim 2009/2010 dan 2011/2012.