Leicester terpuruk dan Ranieri menjadi korban dengan keputusan pemecatan.
Keputusan yang lantas mengundang reaksi dari dunia sepakbola dimana kebanyakan mengecam dan menyayangkan.
Ranieri memang bisa dianggap gagal mempertahankan performa bagus Leicester musim lalu dan jika terus dibiarkan berpotensi membawa The Foxes degradasi.
Kondisi degradasi inilah yang sangat ditakutkan manajemen Leicester.
Degradasi akan membawa nilai bisnis Leicester sebagai merk sebuah klub turun dan otomatis berpengaruh pada keuangan yang masuk.
Bagaimanapun klub kini sudah menjadi instrument bisnis dalam sepakbola modern dan untuk itu sebuah klub harus berada di sebuah etalase terbaik di tengah pasar.
Premier League sebagai liga domestic paling populer diseluruh dunia jelaslah merupakan etalase terbaik untuk memasarkan sebuah klub.
Atas dasar inilah romantisme kisah hebat yang ditorehkan Ranieri bersama Leicester musim lalu menjadi tidak berarti lagi.
Manajemen dihadapkan pada pilihan mempertahankan seseorang yang sudah berjasa teramat besar bagi sejarah klub ataukah mendahulukan pertimbangan bisnis untuk keberlangsungan klub itu sendiri?
Kita semua tahu bahwa manajemen Leicester memilih mengesampingkan sentimen pribadi.
“Ini menjadi keputusan paling sulit yang harus kami ambil sejak King Power mengambil alih Leicester City, tapi kami berkewajiban mengutamakan kepentingan jangka panjang klub diatas sentimen pribadi seberapa pun kuatnya” tegas Wakil Chairman Leicester, Aiyawatt Srivaddhanaprabha saat menyampaikan informasi pemecatan Ranieri.