Meski bisa terjadi pada siapa saja, permasalahan gangguan jiwa akibat luka mendalam terhadap trauma diri secara psikologis telah menjadi aspek bahasan yang melekat di kalangan masyarakat. Namun, banyak masyarakat Indonesia yang masih minim pengetahuannya dengan gangguan kejiwaan atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Bahkan, sebutan ''orang gila'' sudah lumrah digunakan. Padahal sebutan ODGJ lebih dirasa pantas untuk memanusiakan manusia.
Permasalahan gangguan jiwa menurut Undang-Undang Kesehatan Jiwa No. 18 Tahun 2014 merupakan permasalahan yang berkaitan dengan gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku.
Sedangkan menurut Akemat, Helena, Keliat, Nurhaeni pada tahun 2011 menyatakan gangguan jiwa adalah manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam hal bertingkah laku. Hal ini terjadi karena menurunnya semua fungsi kejiwaan. Jika tidak segera mendapat penanganan, ODGJ ini dapat berdampak lebih parah.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6 persen untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang.
Sedangkan, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400 ribu orang. Ternyata 14,3 persen di antaranya atau sekitar 57.000 orang pernah atau sedang dipasung.
Gangguan jiwa yang paling sering ditemui, masuk ke dalam dua kategori; gangguan depresi serta kecemasan. Kedua kategori gangguan kesehatan mental ini sangat lazim ditemui pada populasi dunia.
Beberapa kalangan, sebagaimana yang pernah saya temui sendiri, menanggap bahwa ODGJ berbahaya, dekat dengan perilaku kekerasan, dan perlu diwaspadai kehadirannya. Misalnya saja, banyak ditemukan di Indonesia para ODGJ ini dipasung, diasingkan, didiskriminasi, bahkan diterlantarkan oleh keluarganya sendiri. Artinya, kita bisa simpulkan bahwa kesadaran soal kesehatan jiwa di Indonesia masih rendah, dan salah satu pemicunya adalah stigma.
Namun, setidaknya saya rasa, dengan masih berkembangnya stigma pada ODGJ ini, Indonesia masih harus berjuang keras melawan stigma itu. Padahal, bila semakin sedikit ODGJ menerima stigma maka peluang sembuhnya semakin besar. Dampak yang paling parah dari hal ini adalah dapat menimbulkan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh ODGJ terhadap diri sendiri dan orang lain.
Menurut penelitian oleh E. Fuller Torrey (2011) menyimpulkan ODGJ justru lebih sering menjadi korban kekerasan. Ya, kita bahkan sering menjumpai ODGJ yang menjadi sasaran perundungan, dituduh melakukan pelecehan seksual, dituduh menculik anak dan dihajar hingga babak belur, dianggap mengancam tokoh agama atau menyerang tempat ibadah. Padahal penelitian Torrey berkesimpulan, orang dengan pengaruh alkohol dan narkoba jauh lebih berpeluang melakukan kekerasan ketimbang ODGJ. Hanya saja, ada pula ODGJ yang melakukan kekerasan ketika tidak mendapat perawatan tepat.
Dengan begitu, peran keluarga bahkan para Psikolog dan masyarakat sangat dibutuhkan bagi para ODGJ ini untuk keberlangsungan hidup mereka karena pasti ada peluang sembuh dari gangguan mental yang mereka idap bila selalu didampingi dan dirawat dengan kasih sayang.
Kita pun dapat menjadi pelopor yang mendukung ODGJ dengan cara sederhana, misalnya, mendukung orang-orang gangguan kejiwaan dan keluarga mereka dengan mengurangi diskriminasi.
Cara sederhana untuk membantu termasuk belajar dan berbagi fakta tentang kesehatan mental. Lalu, untuk menghapus stigma, kita juga sebaiknya tidak melabeli atau menghakimi orang pengidap penyakit mental dengan sebutan ''orang gila''. Caranya, perlakuan mereka dengan hormat, seperti kita melakukannya pada orang lain.
Secara psikologis ODGJ membutuhkan kasih sayang dan perhatian keluarga akibat menurunnya kemampuan aktivitas fisik dan mental. Keluarga adalah garda terdepan dalam menjaga kesehatan jiwa anggotanya dan menjadi pihak yang memberikan dukungan dan pertolongan pertama psikologis apabila tampak gejala yang mengarah pada kekambuhan ODGJ.
Pada akhirnya mereka yang mengalami gangguan jiwa tetaplah manusia yang memiliki hak yang sama seperti semua orang sehat di dunia ini. Agaknya, saling menghormati, menghargai dan mengasihi menjadi sesuatu paling mulia yang dapat kita lakukan untuk tetap bisa hidup berdampingan secara damai dengan mereka yang sedang berjuang melawan suara dalam kepala.
Maka dari itu, orang-orang dengan gangguan jiwa sudah selayak untuk tetap diayomi dan di sayangi meskipun ia sedang menjadi sakit. Jadi, apakah masih lumrah manusia memanggil manusia lainnya dengan sebutan ''orang gila'' dengan stigma yang lekat?
Daftar Pustaka
Widya, D. Jusuf, W. (2019, 15 Oktober) Gangguan Kejiwaan Bukan Kejahatan, Stigmatisasi Harus Dihentikan. Retrieved from tirto.id
Kurniawan, D. (2019, 11 April) Apa itu ODGJ? 5 Hal Penting Ini Perlu Kamu Tahu Tentang Gangguannya. Retrieved from IDN TIMES
Adzani, F. (2019, 19 November) Kenali Beragam Gangguan pada ODGJ yang Sering Ditemui. Retrieved from SehatQ
Annonymous. Penyandang Disabilitas Mental. Retrieved from InteL MEDIA
Adrian, K. (2018, 27 November) Pasien Tidak Langsung Dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa, Berikut Prosesnya. Retrieved from Alodokter
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H