Pada 20 Januari 2025, Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif berjudul “Putting America First In International Environmental Agreements” yang mengarahkan penarikan Amerika Serikat dari Paris Agreement atau Perjanjian Paris. Dalam dokumen tersebut setidaknya terdapat 2 alasan keluarnya Amerika Serikat dalam Perjanjian tersebut, yaitu: Perlindungan terhadap Ekonomi Amerika Serikat dan Kedaulatan Nasional.
Trump menyebutkan bahwa Paris Agreement tidak mencerminkan nilai-nilai negara Amerika Serikat dalam mengejar tujuan ekonomi dan lingkungan. Ia berdalih bahwa Amerika Serikat harus mengembangkan ekonomi negaranya dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya, sambil memainkan peran kepemimpinan dalam upaya global untuk melindungi lingkungan. Selain itu, Trump tidak ingin uang pajak yang dibayarkan oleh warganya dialokasikan untuk negara-negara yang tidak memerlukan, atau tidak layak mendapatkan, bantuan keuangan demi kepentingan rakyat Amerika.
Selain itu, pasca pelantikannya saat parade pelantikan di Capital One Arena, Washington, ia menyebutkan kepada para pendukungnya:
“Saya segera menarik diri dari penipuan Perjanjian Iklim Paris yang tidak adil dan sepihak. Amerika Serikat tidak akan menyabotase industri kita sendiri saat Cina mencemarinya dengan impunitas”
Meskipun demikian, ini bukan kali pertamanya Trump mengeluarkan keputusan strategis untuk menarik dari Perjanjian Paris. Pada Tahun 2017 di periode kepemimpinan pertamanya pun Trump telah mengeluarkan keputusan kontroversi tersebut. Akan tetapi, saat Joe Biden memimpin pada tahun 2021, Biden kembali memasukan Amerika Serikat dalam Perjanjian Paris tersebut.
Nah, sebelum membahas apa pengaruh ketidakterlibatan Amerika Serikat dalam Perjanjian Paris yang telah disusun sejak tahun 2015. Saya akan menjelaskan secara singkat tentang sejarah terbentuknya Perjanjian Paris
Sejarah terbentuknya Perjanjian Paris dan Tujuan
Perjanjian Paris atau Paris Agreement merupakan perjanjian yang di gagas di Paris pada 12 Desember 2015 dalam Convention on Climate Change ke-21 (COP 21) untuk Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Perjanjian Internasional tersebut secara umum bertujuan untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya. Secara eksplisit, terdapat tiga tujuan utama, yaitu:
Pertama,
“Substantially reduce global greenhouse gas emissions to hold global temperature increase to well below 2°C above pre-industrial levels and pursue efforts to limit it to 1.5°C above pre-industrial levels, recognizing that this would significantly reduce the risks and impacts of climate change...”
atau, mengurangi emisi gas rumah kaca global secara signifikan untuk menahan kenaikan suhu global jauh di bawah 2°C di atas tingkat pra-industri dan melakukan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri, dengan menyadari bahwa hal ini akan mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim secara signifikan.
Kedua,
“Periodically assess the collective progress towards achieving the purpose of this agreement and its long-term goals...”
atau, menilai secara berkala kemajuan kolektif dalam mencapai tujuan perjanjian ini dan tujuan jangka panjangnya.
Ketiga,
“Provide financing to developing countries to mitigate climate change, strengthen resilience and enhance abilities to adapt to climate impact...”
atau, menyediakan pembiayaan kepada negara-negara berkembang untuk mengurangi perubahan iklim, memperkuat ketahanan, dan meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap dampak iklim.
Nah, point utama dari tujuan Perjanjian Paris menetapkan tiga elemen utama meliputi pengurangan emisi, tinjauan komitmen, dan dukungan finansial. Selain itu, COP 21 juga dihadiri oleh 195 negara yang berkomitmen untuk mengurangi emisi dan bekerjasama dalam mengatasi dampak perubahan iklim, termasuk AS, Cina, UE, Rusia, Jepang, dan India yang merupakan negara dengan tingkat emisi tinggi.
Keluarnya Amerika Serikat dalam Perjanjian Paris
Tentu, keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris menimbulkan pengaruh besar terhadap negara-negara lain. Pasalnya, menurut data dari World Population Review dan Global Carbon Project, Amerika Serikat menjadi negara diurutan kedua yang menduduki puncak daftar negara dengan emisi CO2 tertinggi pada tahun 2021-2022 setelah Tiongkok. Pada tahun 2021, Amerika Serikat telah mengeluarkan emisi sebesar 5.0507,00 juta ton CO2 dengan populasi penduduk sebanyak 337 juta orang.
Selain itu, dilansir dari climate.gov, emisi karbon dioksida per kapita AS pada tahun 1973 menghasilkan 20 kali lipat emisi karbon dioksida per kapita Tiongkok dan 66 kali lipat emisi karbon dioksida per kapita India. Pada tahun 2000, pembuat kebijakan menyadari hal tersebut dan berusaha menekan hingga emisi karbon dioksida per kapita AS turun menjadi lebih dari 21 metrik ton per tahun. Sejak saat itu, tingkat emisi karbon dioksida per kapita Amerika Serikat terus menurun, tetapi emisi karbon dioksida per kapita negara itu pada tahun 2021 masih hampir dua kali lipat emisi karbon dioksida per kapita Tiongkok dan hampir 8 kali lipat emisi karbon dioksida per kapita India.
Dalam analisis yang dilakukan oleh Scientific American pada tahun 2021, Amerika Serikat telah melampaui anggaran karbonnya sekitar 346 miliar metrik ton untuk mengurangi emisi karbon. Meskipun demikian, our world data mencatat bahwa Amerika Serikat masih melepas sekitar 5 miliar metrik karbon dioksida pertahun. yang merupakan sekitar 13,49 persen dari total emisi global—lebih dari dua kali lipat dari gabungan semua 28 negara di Uni Eropa. Emisi tersebut akan terus mendorong pemanasan global.
Pandangan Ahli
Nah berdasarkan penjelasan diatas, Peneliti dari Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Dandy Rafitrandi menyebutkan bahwa keluarnya Amerika Serikat dalam Perjanjian Paris akan mempengaruhi beberapa hal yaitu:
1. Pendanaan untuk penanganan perubahan iklim (climate financing) akan semakin sulit.
Pasalnya, sebagaimana yang dilansir oleh NRDC, pada kepemimpinan Biden tahun 2021, Amerika Serikat menganggarkan 669 dollar AS untuk Mendanai program penanganan terhadap iklim, termasuk di dalamnya green climate fund, global enviroment facility, clean technology fund dan UNFCCC serta IPCC. Pada tahun 2022, Biden mengajukan budget sebesar 2,608 dollar AS, dan kongres mengalokasikan anggaran sebesar 1,056 dollar AS. Pun demikian tahun 2023 sampai 2025 yang meningkat sampai angka 3, 832 dollar AS.
Oleh sebab itu, keluarnya Amerika Serikat juga akan memengaruhi negara-negara maju dalam mengalokasikan anggaran dalam membiayai perubahan iklim. Sebab, Amerika Serikat merupakan pemimpin dari G7 atau organisasi tujuh negara dengan ekonomi maju terbesar di dunia.
2. Keputusan Trump akan berdampak terhadap negara-negara berkembang yang mengalami keterbatasan biaya dalam mengeksekusi proses energi transisi energi. Sebab, negara-negara berkembang memiliki limited financing dan budget dalam melakukan transisi energi kedepan.
Selain itu, Pakar hubungan internasional Teuku Rezasyah menilai upaya Donald Trump untuk menarik keluar AS dari Perjanjian Iklim Paris menunjukkan kemungkinan pemerintahannya untuk melakukan industrialisasi. Teuku menafsirkan narasi “manufactur country” yang disebutkan trump itu ingin menjadikan Amerika Serikat sebagai produsen atau penghasul produk, bukan sebagai pembeli. Sebab, Trump juga mengatakan bahwa dengan melakukan industrialisasi baru akan memuat AS memiliki teknologi yang lebih canggih dan memiliki keunggulan komparatif dibandingkan negara-negara lainnya. Selain itu, Rezasyah menyebutkan bahwa Trump memungkinkan untuk mewujudkan slogan “Make America Great Again” dengan mengalokasikan anggaran yang selama ini digunakan untuk membantu penanganan iklim untuk memberdayakan nya di dalam negeri. Meskipun demikian, Trump masih akan tetap membantu negara-negara yang dia anggap perlu dibantu dalam penanganan isu lingkungan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H