Mohon tunggu...
Rizki Mubarok
Rizki Mubarok Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Seorang Melankolis Muda yang Gemar Bertualang dalam Sakralitas Peradaban Semu

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Keberlanjutan MAPALA di Era Modernisasi

12 Desember 2024   00:10 Diperbarui: 12 Desember 2024   01:41 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Artificial Intellegence 

   Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan modernisasi semakin pesat. Tentu hal ini menjadi solusi sekaligus tantangan yang semakin kompleks. Modernisasi kemudian memunculkan adanya pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Selain itu, modernisasi melibatkan beberapa aspek penting seperti; adanya kemajuan teknologi, perubahan sosial kebudayaan, urbanisasi, dan peningkatan taraf ekonomi.   

   Salah seorang ekonom Inggris, John Maynard Keynes menyebutkan bahwa modernisasi dalam hal ekonomi menjadi hal positif untuk mengurangi angka kemiskinan serta dapat menciptakan stabilitas ekonomi melalui kebijakan fiskal maupun pembangunan infrastruktur. Dalam hal ini, keynes menyoroti kestabilan ekonomi dapat dilakukan dengan pemerataan infrastruktur. Pemerintah sebagai pemangku kekuasaan perlu mendorong pembangunan infrastruktur seperti jembatan, jalan dan fasilitas publik lainnya yang dapat memudahkan efisiensi dan produktivitas masyarakat.   

   Hal ini kemudian disepakati juga oleh salah seorang ekonom dan juga filsuf berkebangsaan India bernama Amartya Sen. Sen menyepakati pandangan Keynes dalam intervensi pemerintah yang memiliki otonomi khusus dalam mengatur kestabilan ekonomi. Akan tetapi, Sen juga memiliki pandangan khusus yang menyebutkan bahwa dalam pembangunan di suatu negara, diperlukannya pengembangan individu terlebih dahulu. Kemampuan individu dalam kebebasan untuk hidup dan bermasyarakat menjadi nilai penting. Menurut Sen, pembangunan yang sesungguhnya adalah yang memungkinkan orang untuk memiliki kapasitas untuk membuat pilihan yang mereka anggap berharga dalam hidup. Selain itu, kesejahteraan tidak hanya diukur melalui pendapatan dan konsumsi saja, melainkan kesejahteraan secara holistik dalam berbagai aspek seperti; akses pendidikan, pelayanan kesehatan, partisipasi sosial, maupun akses lainnya yang dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat.   

   Masyarakat sebagai subjek pelaksana kebijakan pun perlu mengidentifikasi dan mempertimbangkan dengan kritis terhadap berbagai kebijakan yang berdampak pada keuntungan maupun kerugian sesuai dengan kebutuhan mereka. Sebab, dengan adanya modernisasi, akan semakin banyak tantangan yang dihadapi, khususnya dalam pelestarian alam.   

   Salah satu organisasi internasional yang bergerak dibidang lingkungan, Greenpeace mencatat berdasarkan Laporan Kualitas Udara Dunia tahun 20234, Kota Jakarta menempati peringkat ketujuh untuk kota paling berpolusi di seluruh dunia dengan angka PM 2,5 tahunan. Hal ini 8 kali melampaui standar pedoman WHO yaitu sebesar 43,8 ug/m3. Sementara di wilayah Asia Tenggara, Indonesia masih menempati posisi pertama negara paling berpolusi, dengan wilayah Tangerang Selatan menjadi peringkat pertama sebagai kota paling berpolusi se-Asia Tenggara, dengan konsentrasi tahunan PM 2,5 mencapai 71,7 ug/m3. 

   Selain itu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta merilis data yang menunjukkan kualitas udara di Jakarta terpapar pencemaran, dengan konsentrasi PM2.5 yang mencapai 40,3 g/m, jauh melebihi batas baku mutu udara ambien (BMUA) tahunan yang seharusnya hanya 15 g/m berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 21/2021. Peningkatan konsentrasi PM2.5 ini terutama terjadi antara bulan Juli hingga Oktober 2023. Analisis yang dilakukan di lima stasiun pengukuran kualitas udara di Jakarta menunjukkan bahwa kualitas udara kota ini berada dalam status "tercemar", dengan PM2.5 dan PM10 sebagai parameter utama yang mencatatkan angka tertinggi.

   Tak hanya itu, masalah kerusakan alam di era modern -- khususnya daerah perkotaan -- juga disebabkan tingginya laju urbanisasi sehingga menyebabkan peningkatan jumlah kendaraan dan energi tak terbarukan. Pembangunan infrastruktur yang masif sering kali mengabaikan keberlanjutan lingkungan yang menyebabkan kerusakan ekosistem seperti penurunan kualitas tanah dan air, serta hilangnya ruang terbuka hijau.   

   Padahal jika mengacu pada UU No 20 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah disebutkan di dalam pasal 29 bahwa setiap daerah harus menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 30% dari luas wilayah kota tersebut. Dari jumlah tersebut, 20% harus berupa RTH yang dapat diakses oleh masyarakat umum dan sisanya dapat berupa RTH yang lebih privat. Keberadaan RTH ini menjadi bagian dari pembangunan kota untuk mendukung kualitas hidup dan lingkungan yang sehat.   

   Akan tetapi, Databoks mencatat pada tahun 2023, Pemprov DKI Jakarta menyebutkan bahwa luas ruang terbuka hijau (RTH) di wilayah Jakarta hanya mencapai 33,34 juta meter persegi atau hanya sebesar 5,2% dari total luas provinsi tersebut. Lebih rinci lagi, Jakarta Timur memliki RTH sebesar 26,2%, Jakarta Selatan 24,87%, Jakarta Utara 20,93%, Jakarta Pusat 12,69% dan terakhir Jakarta barat 8,64%. Berdasarkan data tersebut, luas RTH di DKI Jakarta masih sangat minim sekali. Hal ini sangat tidak ideal sebagaimana dituliskan didalam UU Nomor 6 tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa standar ideal RTH di perkotaan sebesar 30%.   

   Tentu hal ini menjadi persoalan yang tidak bisa dianggap sebelah mata, sebab hal tersebut akan berdampak bagi masyarakat di kawasan perkotaan. Meskipun, kerusakan yang terjadi di perkotaan tidak dapat dilihat secara kasat mata sebagaimana kerusakan di daerah perhutanan, perbukitan, lereng gunung atau daerah kawasan alam, akan tetapi dampak polusi dan kerusakan ekosistem yang terjadi di perkotaan akan merusak lapisan ozon yang menyebabkan adanya peningkatan suhu udara. Tak hanya itu, diabaikannya masalah lingkungan dalam pembangunan infrastruktur akan menyebabkan terjadinya banjir serta penyakit lainnya seperti ISPA, asma, dan lainnya.   

   Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) sebagai pioneer dalam aktivitas pergerakan pelestarian alam harus bisa beradaptasi dengan modernisasi. MAPALA tidak hanya fokus pada kegiatan tradisional seperti mendaki gunung ataupun mengeksplorasi alam. Melainkan ikut serta dalam pembangunan keberlanjutan di perkotaan atau sustainable urban. Hal ini sebagaimana prinsip dalam sustainable yaitu lingkungan (enviromental), sosial (social) dan ekonomi (economic). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun