"If you want to be productive, wake up early.
If you want to be creative, stay up late".
—Zach Progob
...
Mungkin kita pernah mendengar sebuah pepatah yang mengatakan bahwa "Proses tidak pernah mengkhianati hasil". Ya, memang demikian nyatanya. Jika kita komparasi kan di kehidupan nyata, apapun yang ingin kita gapai pasti perlu diperjuangkan dan di korbankan, entah itu waktu, tenaga, pikiran, bahkan materi. Nah, apakah kalian juga pernah mendengar sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa "Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik?" Ya, itu juga benar adanya.
Sebuah premis yang sangat bertentangan sekali, bukan? lalu mana yang harus kita percayai?
Dalam artikel kali ini, saya ingin berbagi sebuah pandangan tentang pekerjaan. Hal yang menurut saya paling banyak di bahas ketika seseorang mempunyai sebuah cita cita atau mimpi yang besar.
"HUSTLE CULTURE"
Sebuah istilah baru di dunia maya yang mungkin sangat jarang di dengar ataupun di ketahui. Lalu, apakah itu?
Hustle Culture merupakan sebuah fenomena dimana seseorang menerapkan sebuah gaya hidup untuk bekerja melebihi batas waktu demi mencapai sebuah tujuan untuk keberhasilan. Jika ditarik point of view nya, rata rata kecenderungan seseorang untuk menjadi "workaholic" adalah dorongan psikologis seseorang untuk mencapai sebuah target yang diimpikan. Ketika biasanya kita mengerjakan sesuatu 1-2 jam, ini bisa sampai 5 jam atau lebih. Dalam pekerjaan misalnya jam kerjanya 35-40 jam per minggu, ia bisa sampai 50 jam karena mengejar target yang ia inginkan. Karena ketika seseorang memiliki sebuah target yang besar, pasti akan berusaha semaksimal mungkin sampai hasil itu tercapai bukan?
Ya, tidak ada salahnya memang untuk terus berusaha. Bahkan makna "usaha sampai titik darah penghabisan" merupakan sebuah mindset yang sering ditanamkan bagi para pekerja keras. Entah itu para pegawai kantor yang bekerja lebih dari 8 jam sampai ia harus lembur demi sepeser rupiah, Mahasiswa yang sedang menyusun skripsi sampai harus begadang tiap hari tanpa tidur demi skripsi nya selesai, seorang pelajar yang sedang menyiapkan ujian sampai harus begadang demi menghafal semua materi yang akan diujikan esok hari, atau hal lainnya.
Sekali lagi saya katakan, apakah hal itu tidak diperbolehkan? sangat boleh. Akan tetapi point of view nya bukan di usaha nya, tapi management waktunya. Benar time is money atau time is everything. Tapi sadari, bahwa manusia punya kapasitas nya masing masing.
Kita boleh memaksimalkan usaha yang kita lakukan, akan tetapi tetap ingat pada diri sendiri. Kesehatan, kebahagiaan, ketenangan, hal tersebut yang menjadi penting. Untuk apa punya uang banyak jika kesehatan kita tidak baik? untuk apa punya uang banyak tetapi hidup kita tidak tenang.
Hal terpenting adalah bagaimana kita memanage untuk bisa memaksimal kapasitas diri dengan waktu yang kita miliki. Nah, Daniel H Pink dalam bukunya "When: The Scientific Secrets of Perfect Timing" menjelaskan bahwa, ada 3 tiga pola waktu produktif seseorang, yaitu:
1. Peak (permulaan)
Pada kondisi ini seseorang akan merasa sangat menggebu gebu. Ia akan excited terhadap hal yang baru ia kerjakan. Kerap kali perasaan senang ini akan ia gunakan secara totalitas. Ia akan fokus dalam pekerjaan yang sedang ia kerjakan. Bahkan ia akan terus mempush dirinya untuk bisa menyelesaikan tugas sebanyak apapun dengan riang gembira. Ya, karena yang ia pandang adalah target, target, dan target. Bagaimana pun caranya, ia harus sampai ke tujuan nya. Sampai ia pun lupa bahwa dalam hidup akan ada fase up and down, yang mana sewaktu waktu ia akan merasa capek dengan kerjaan yang ia kerjakan
2. Through/ Slamp
Fase inilah menjadi tantangan bagi seseorang, dikarenakan hampir tiap waktu ia mengerjakan sesuatu yang terus menerus secara berulang ulang. Boring,Jenuh, Capek adalah salah satu dari sekian banyak kondisi psikis dan mental ketika menghadapi fase ini. Ketidakstabilan emosi inilah yang menjadikan pekerjaan tersebut terasa berat. Bahkan, rasa malas untuk mengerjakan hal tersebut sudah ada didalam dirinya. Usaha nya terkadang seperti sia sia. Nah pada fase ini lah seseorang akan down yang mengakibatkan tidak ada lagi semangat dalam mengerjakan sesuatu.
3. Rebound
Perlu disadari, fase ini lah yang akan terjadi ketika masa masa down sudah bisa terlewati. Rasa semangat akan kembali menanjak drastis sama seperti fase awal yang ia kerjakan. Tidak mudah memang untuk mencapai fase ini. Butuh konsistensi dan stabilitas emosi supaya bisa sampai di tahap ini.
Daniel kemudian melanjutkan bahwa fase tersebut tidak bisa disamakan, cukup dipahami supaya kita bisa tau kapan kita harus berusaha dan kapan kita beristirahat.
Hustle Culture merupakan budaya yang tidak sehat. Karena ketika kita menerapkan hal tersebut, bukan produktivitas kita yang tercapai, malah kreativitas akan menurun, daya semangat akan semakin berkurang, pikiran dan emosional tidak stabil. Solusi konkrit nya adalah manage semaksimal mungkin. Tidak perlu mempush diri terlalu berlebihan. Tidak perlu perfeksionis akan suatu hal. Step by step, satu persatu, pelan pelan.
Ketika mulai jenuh, istirahat sejenak. Alokasikan waktu yang kita miliki untuk bersantai sejenak. Lepaskan beban yang berat untuk menghirup udara yang segar supaya pikiran kembali fresh. Baru setelahnya bangun kembali semangat tersebut untuk bisa lebih extra kembali.
Hal tersebut tidak mudah memang dan bagi saya pribadi, hustle culture sering saya lakukan. Akan tetapi, tulisan ini selain menjadi insight baru bagi kalian selaku pembaca, juga sebagai pengingat bagi saya pribadi untuk bisa lebih aware terhadap diri sendiri.
#satulangkah lebih baik, sedikit namun berarti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H