Mohon tunggu...
Rizki Fadhilah R
Rizki Fadhilah R Mohon Tunggu... Insinyur - Energy and Politics Enthusiast

Geology Specialist | Awardee of Honorable Mention for Scientific Publication 2022 | Energy and Natural Resources Researcher | Economic Geology, Oil and Gas, Energy, Politics Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bagaimana G20 Berperan dalam Percepatan Transisi Energi di Indonesia?

18 Juni 2022   01:32 Diperbarui: 18 Juni 2022   01:59 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presidensi G20 Indonesia/kemlu.go.id

Indonesia memimpin G20 dalam situasi ketidakpastian global yang menantang dan kompleks akibat pandemi COVID-19, dengan agenda prioritasnya seputar kesehatan global, transformasi ekonomi dan digital, serta transisi energi. Forum G20 sangat penting bagi Indonesia, yang mencerminkan kepercayaan dan kehormatan di negara ini, tetapi juga tanggung jawab dan kesempatan, untuk berkontribusi lebih banyak pada pemulihan ekonomi global dan untuk menyelaraskan dengan kepentingan ASEAN, Pasifik, dan negara-negara berkembang.

Indonesia terpilih menjadi presidensi atau tuan rumah untuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Twenty (G20) pada tahun 2022. G20 merupakan platform multilateral strategis yang menghubungkan negara-negara maju dengan negara-negara berkembang di dunia. 

Bagi Indonesia, keikutsertaan dalam forum ini dapat menjadi tempat untuk melakukan berbagai upaya demi mencapai kepentingan nasional. Salah satunya adalah Isu climate change dan energi transisi yang menjadi salah satu ancaman terbesar bagi perekonomian dan masyarakat di dunia khususnya di Indonesia. G20 bersepakat untuk mendukung pentingnya mengatasi climate change dan mendukung transisi energi yang. Kunci utama pendekatan G20 untuk mengatasi perubahan iklim dan transisi energi adalah kebijakan energinya. Menjadi Presidensi G20 2022 memberikan peluang bagi Indonesia untuk menciptakan upaya kolaborasi level global dalam menghadapi ancaman climate change. Pengaruh Indonesia menjadi penting karena mencerminkan kepentingan negara-negara berkembang.

G20 (Group of Twenty) dibentuk pada tahun 1999 ketika krisis moneter melanda Asia yang sebelumnya dianggap sebagai kawasan dengan potensi ekonomi paling menjanjikan. Kemudian ditingkatkan menjadi Leader's Summit pada tahun 2008 ketika krisis keuangan global (GFC) melanda AS dan membuat dampak serius pada ekonomi internasional. G20 memainkan peran kuncinya sebagai penanggap krisis terhadap dua krisis ekonomi dan memimpin seluruh negara untuk bertahan dari krisis.

Sekaranglah saatnya bagi Indonesia untuk memastikan bahwa G20 dapat membantu dunia bertahan dari krisis sulit lainnya yang tidak terduga. Sudah dua tahun sejak pandemi COVID-19 mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia di awal tahun 2020. Di bawah Presidensi G20 Indonesia, G20 harus merumuskan strategi pemulihan terbaik dan komprehensif untuk memulihkan produktivitas dan pertumbuhan yang kuat secara efektif. 

Pada saat yang sama, G20 juga bertanggung jawab untuk meletakkan dasar yang kokoh bagi percepatan pertumbuhan hijau, sejalan dengan komitmen para pemimpin global yang dijanjikan pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) 2021. Dalam hal ini, indikator pemulihan tidak hanya mencakup pertumbuhan yang inklusif dan kuat, produktivitas tinggi, penciptaan lapangan kerja besar-besaran, akses ke fasilitas kesehatan yang berkualitas dan kembalinya pendidikan ke normal, tetapi juga kebutuhan untuk memastikan bahwa proses pemulihan secara keseluruhan tidak akan membahayakan planet dan generasi mendatang.

Tiga prioritas utama

Ilustrasi Tiga Prioritas Utama G20 (Suarasurabaya.net)
Ilustrasi Tiga Prioritas Utama G20 (Suarasurabaya.net)

Tema Forum G20 Indonesia adalah “Recover Together, Recover Stronger”. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia ingin memimpin G20 untuk membangun upaya bersama untuk membuat pemulihan yang lebih kuat dari krisis COVID-19 dan memungkinkan pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif di seluruh dunia. Hasil utama yang diharapkan adalah strategi keluar yang komprehensif untuk mendukung pemulihan, dengan rencana aksi yang konkret dan dapat dilakukan.

Tiga agenda utama telah dipilih sebagai pilar utama untuk merumuskan strategi untuk mempercepat pemulihan yang berkelanjutan, inklusif dan kuat ini: arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi dan digital, dan transisi energi.

Kali ini kita mencoba fokus ke agenda ketiga yakni transisi energi yang bertujuan untuk memperkuat sistem energi global yang berkelanjutan dan transisi yang adil. Isu prioritas termasuk perluasan akses energi yang berfokus pada memasak bersih, elektrifikasi dan negara-negara pulau kecil, eskalasi penerapan teknologi bersih yang layak, dan intensifikasi pembiayaan transisi energi. Target langsung kepresidenan adalah untuk mencapai kesepakatan global tentang percepatan transisi energi. 

Kesepakatan ini akan berkontribusi pada agenda jangka panjang untuk mendukung komitmen global untuk mencapai komitmen nol emisi bersih. Kepresidenan Indonesia ingin menunjukkan bahwa G20 akan mengambil tanggung jawab yang lebih tinggi untuk mendukung komitmen para pemimpin global di COP26, mengikuti warisan kepresidenan Italia yang menempatkan perlindungan planet sebagai salah satu agenda prioritasnya.

Kelompok Kerja Transisi Energi memusatkan perhatian pada strategi untuk mengamankan aksesibilitas energi, meningkatkan teknologi cerdas dan bersih, dan memajukan pembiayaan energi. Kelompok Kerja Lingkungan dan Keberlanjutan Iklim bertanggung jawab untuk membahas lingkungan dan isu-isu terkait perubahan iklim dan mengidentifikasi strategi untuk mendukung pemulihan yang lebih berkelanjutan, meningkatkan tindakan berbasis darat dan laut untuk mendukung perlindungan lingkungan dan tujuan iklim, memobilisasi sumber daya untuk melindungi lingkungan dan mencapai tujuan iklim.

Percepatan Transisi Energi

Peluncuran Transisi Energi G20 (ebtke.esdm.go.id)
Peluncuran Transisi Energi G20 (ebtke.esdm.go.id)

Melalui Kepresidenan G20 tahun 2022 Indonesia dapat mendorong negara-negara G20 untuk melakukan transisi energi secara lebih cepat dan terukur. Harapannya semoga Indonesia dapat mengajak setiap negara untuk memiliki target energi terbarukan. Misalnya, Indonesia memiliki target bauran energi terbarukan sebesar 45 persen dari sektor ketenagalistrikan pada 2030. Hal ini juga dapat diterapkan di negara-negara G20 lainnya. Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kenaikan suhu global dapat dicegah antara 1,5 hingga 2 derajat Celcius. Syaratnya, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) harus ada pengurangan 70 persen untuk pengurangan emisi karena dianggap mencemari. Untuk mengatasi hal tersebut harus ada kesepakatan bersama global untuk mengurangi penggunaan PLTU pada 2030.

Kementerian ESDM memfokuskan isu transisi energi dari ketahanan energi ke teknologi dalam forum diskusi dan kerjasama pada KTT G20 yang akan diselenggarakan di Bali pada Oktober hingga November 2022. Melalui forum G20, Indonesia berpeluang untuk mendorong upaya kolektif dunia dalam mewujudkan kebijakan percepatan pemulihan ekonomi global secara inklusif. Indonesia juga memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia dukungan penuhnya terhadap transisi energi global. Hal ini karena negara-negara anggota G20 menyumbang sekitar 75% dari permintaan energi global. 

Oleh karena itu, negara-negara G20 memiliki tanggung jawab dan peran strategis yang besar dalam mendorong penggunaan energi bersih. Energy Transitions Working Group (ETWG) berfokus pada keamanan energi, akses dan efisiensi, dan transisi ke sistem energi rendah karbon, serta investasi dan inovasi dalam teknologi yang lebih bersih dan efisien.

Sebagai tuan rumah konferensi G20 tahun ini, Indonesia memiliki kesempatan unik untuk membangun momentum internasional menuju masa depan energi yang berkelanjutan, dan mengukir langkah-langkah penting berikutnya untuk mempercepat fase global dari pembangkit listrik tenaga batu bara, sambil tetap memprioritaskan pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Menanggapi tantangan COVID-19, pemanasan global, dan krisis energi global, banyak yang akan melihat ke G20, untuk sinyal yang jelas bahwa ekonomi terbesar dunia siap untuk berinvestasi dalam solusi lintas sektoral yang membatasi dampak global pemanasan dan mempercepat pemulihan ekonomi.

Tahun lalu, G7 mengambil langkah penting untuk mengakhiri dukungan pemerintah untuk pembangkit listrik tenaga batu bara internasional yang berkelanjutan pada akhir tahun 2021. Ini ditindaklanjuti di G20 pada tahun 2021, di mana negara-negara paling kuat di dunia berjanji untuk berhenti membiayai pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri.

Sejak itu, negara-negara G20 telah membuat banyak komitmen nol, termasuk dari Rusia, Arab Saudi, dan Indonesia. Faktanya, Argentina sekarang adalah satu-satunya negara di G20 tanpa janji emisi nol bersih. Ada kemajuan di G20, tetapi itu harus berjalan lebih cepat jika dunia ingin menjaga pemanasan global dibatasi hingga 1,5 derajat.

Pada COP 26, Indonesia selanjutnya berkomitmen untuk secara bertahap mengurangi pembangkit listrik tenaga batu bara, dan menghapus subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien. Hal ini juga membuat banyak analis energi bersemangat ketika bergabung dengan Global Coal to Clean Power Transition Statement. 

Pendekatan unik Indonesia dibutuhkan di G20

Tahun ini, banyak negara juga akan melihat apakah Indonesia bersedia memperbarui rencana iklim nasionalnya, sejalan dengan komitmen yang dibuat di Glasgow tahun lalu. Di sana, pembuat kebijakan Indonesia memiliki kesempatan untuk menetapkan jalur Transisi Adil nasional untuk mengakhiri batubara, dengan jelas menyoroti dukungan yang dibutuhkan untuk meningkatkan energi bersih.

Ini akan mengirimkan pesan yang jelas di seluruh G20 tentang perlunya mengoperasionalkan serangkaian komitmen kuat yang dibuat pada tahun 2021.

Di puncak transisi energi global, Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam upaya mendorong G20 untuk mendukung dan mempercepat transisi ini. Sebagai Presiden G20, upaya diplomatik dan domestik Indonesia untuk mempercepat transisi ini akan berjalan beriringan.

Sebagai tuan rumah G7 tahun ini, Jerman telah berkomitmen untuk menggunakan Kepresidenannya untuk mendukung negara berkembang dan berkembang dalam transisi mereka sendiri dari batu bara, minyak, dan gas dan menuju sumber energi terbarukan. Yang penting, Jerman juga telah mendukung misi ini dengan tujuan domestiknya yang baru diperbarui untuk menghapus batubara secara bertahap pada tahun 2030.

Indonesia dapat bekerja secara kolaboratif dengan Jerman untuk memastikan bahwa G7 tidak hanya menyelaraskan prioritasnya dengan G20, tetapi juga berkomitmen kepada negara-negara ekonomi terbesar di dunia untuk berinvestasi dalam mengatasi tantangan pengurangan batubara secara bertahap, terutama di negara-negara berkembang.

Melalui kemitraan Mekanisme Transisi Energi dengan Bank Pembangunan Asia, Indonesia mengambil langkah proaktif untuk mengembangkan solusi keuangan guna mempercepat transisi energi global dari batu bara.

Namun, kemitraan ini baru saja dimulai. Membuat langkah nyata untuk memajukannya sepanjang tahun dapat membuka peluang bagi mitra G20 untuk meningkatkan mekanisme penghentian batubara serupa di Bali, serta inisiatif energi bersih untuk meningkatkan ketahanan energi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun