Mohon tunggu...
RIZKI FEBY WULANDARI
RIZKI FEBY WULANDARI Mohon Tunggu... Editor - Mencoba menyelaraskan kata dan laku.

Menorehkan segala ambisi dan luka di atas tinta, bukan bermaksud apa-apa. Hanya saja terdapat kelegaan di sana. Pelajaran yang tercatat tidak akan musnah meski waktu menggerusnya.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tidak Ada Dosen Killer, Hanya Belum Ketemu Kecocokan Hati Saja

2 November 2022   20:12 Diperbarui: 2 November 2022   20:19 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat segala hal di atas terpenuhi, selamat kita bisa disebut sebagai manusia dewasa. Sayangnya kebanyakan dari kita masih menutup mata dengan hal ini. Dan memilih cari aman dengan menghindari dosen seperti ini.

Mungkin sangat klise jika tidak saya beri contoh realnya. Jujur, saya adalah mahasiswa biasa saja tidak begitu pandai. Saya tergolong mahasiswa teledor. Pernah sewaktu perkuliahan, saya mendapatkan nilai D pada salah satu mata kuliah dengan dosen Pak Budi yang tentu ini nama samaran.

Pada awalnya saya mengelak dan tidak terima dapat nilai sejelek ini, karena meskipun tidak cerdas-cerdas banget saya juga gak jelek. Saya mempertanyakan ke dosen tersebut, transparansi nilainya bagaimana? Saya merasa selalu mengikuti kelas beliau waktu itu karena pandemi jadi kelas online.

Ternyata, saya sering melewatkan presensi karena waktu beliau batasi demi menjaga kedisiplinan mahasiswannya. Agak rumit yaa, tidak ada toleransi apapun. Pengen "Hihhhhhhhh", tapi karena nilai saya juga tidak mampu menutupi, ya sudah apa boleh buat.

Jujur, saya tidak membenci beliau, karena saya sadar memang itu salah saya di luar toleransi beliau minim. Semester berikutnya, bertemu lagi pada mata kuliah lain. Apakah saya menghindar? Ooo, tentu tidak, ada hasrat ingin membuktikan ke beliau, kalau saya tidak seburuk nilai yang beliau beri.

Masih sama dengan argumen sebelumnya, pembuktian atau cara meluluhkan dosen killer bukan menuruti apa yang beliau mau, tetapi cukup menjadi mahasiswa yang seidealnya. Yaps, saya dengan pak Budi sekarang justru saling memahami maksud masing-masing. Bahkan, beliau pernah menawarkan penelitian pada saya hingga akhirnya menjadi mahasiswa bimbingannya.

Kenyataannya, tidak seburuk testimoni kakak tingkat, tidak semenyeramkan pandangan mahasia-sia. Ada satu hal lain yang membuat saya beruntung menjadi mahasiswa bimbingan dosen killer. Memang saat pengerjaan dan bimbingan agak ketat, namun tidak ada perjuangan yang sia-sia.

Jalan sulit itu yang nantinya membuat kita terbiasa menyelesaikan masalah. Simplenya begini, saat mahasiswa lain selama bimbingan selalu di ACC tapi pada dasarnya mereka belum paham akan penelitiannya.

Beda cerita dengan dosbing killer yang sewaktu bimbingan serasa diuji hingga paham. Hingga pada waktu sidang pengujian bisa dihadapi dengan elegannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun