Mohon tunggu...
Rizki Dwika Aprilian
Rizki Dwika Aprilian Mohon Tunggu... -

Interior Architecture, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

SNM-DPR, Perlukah?

6 Juni 2011   00:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:50 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara politik, bicara DPR. Mungkin ini terlalu pagi, tapi, bagi saya, yang notabene adalah calon pemilih baru di pemilu 2014 nanti, mereka semua itu memuakkan. Jujur, saya bingung mau milih siapa, partai apa, nomor berapa, dan warna apa, mereka sama saja, tidak amanah dan menurut saya, munafik semua.

Misalnya, saat gembar-gembor soal gedung baru DPR yang anggarannya sebelum kena koreksi mencapai satu trilyun lebih kemarin, fraksi mayoritas mendukung penuh pembangunan gedung itu. Sudah pasti mereka diprotes partai oposisi yang selalu mengatasnamakan rakyat kecil padahal mereka sendiri masih sudi diberi gaji dan tunjangan lebih (mbok ya kalau sayang wong cilik jangan setengah-setengah, kasih aja itu gajinya ke wong cilik, talk less do more, kan?). Rapat pun kian memanas. Pentolan masing-masing fraksi angkat bicara, biarin ngobrolnya ngalor-ngidul yang penting disorot tipi, pikirnya. Di sudut lainnya, ada beberapa anggota dewan yang asik ng-ipad. Ada yang facebookan, twitteran, atau nonton porno-pornoan.

Atau belakangan ini, yang sedang panas-panasnya, kasus Udin Sedunia. Rosa bilang kalau bekas pengacaranya, si Udin yang suka di kamar, memaksa dia untuk menghancurkan partai berkuasa. Tiba-tiba terkuak juga kasus bendahara umum partai, si Udin yang suka bikin nazar, yang konon begini-begitu sampai-sampai Presiden SBY meminta kadernya melakukan penjemb, penjemputan (nggak salah ketik, kan?) ke Udin yang kabarnya sedang mengamankan diri itu. Semua partai lainnya senang, sama-sama jualan gorengan, baik yang sejalan maupun berseberangan. Begitu juga media yang secara intens memberitakan kasus Udin Sedunia itu, media yang punya kepentingan terselubung demi ormasnya, eh partainya, eh ormas atau partai ya? Nasgor? Nasduk? Panas adem? Ya itulah pokoknya, saya lagi amnesia.

Sumpah ya, nggak abis pikir. Mereka itu kenapa? Sakit jiwa? atau bermuka dua? Waktu diwawancara mengenai lawannya, emosinya meledak-ledak. Waktu bertemu langsung di dialog TV, mereka tersipu. Duh, mereka kan pejabat. Pejabat bukan sembarang pejabat, loh, mereka itu pejabat dengan tambahan embel-embel yang terhormat! Tapi, kok kelakuan dan moralnya sekarat? Saya sangsi, apa benar mereka adalah representasi dari 230 juta penduduk Indonesia? Kalau mereka jawab iya, wajar saja kalau sampai saat ini Indonesia masih dibilang bodoh dan primitif. Toh wakilnya juga goblok. Klop kan?

----------

Ngomong-ngomong, di sela-sela istirahat saat melaksanakan ujian paling menggemparkan tahun ini yaitu SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi) beberapa hari lalu, saya sempat kepikiran: kalau mau masuk PTN favorit aja perjuangannya segini besar, kenapa untuk menjadi anggota dewan seseorang hanya membutuhkan kampanye besar-besaran, nampang di baliho segede gaban, lalu nunggu orang-orang untuk nyontreng atau nyoblos mukanya di surat suara saat hari-H pemilu? Ini lucu.

Untuk bisa mendapatkan bangku PTN, kebanyakan dari siswa belajar mati-matian. Ada yang belajar, merangkum, les dan try out di sana-sini, berdoa yang rajin, semua mereka lakukan sendiri. Itu pun belum pasti seratus persen berhasil. Berbeda dengan proses untuk bisa menjadi anggota dewan. Si calon cukup nyebar duit, mengerahkan tim suksesnya, kasih pelicin sana sini, pasti lolos. Pantas saja banyak orang-orang yang tidak berilmu tapi berduit yang bisa ongkang-ongkang kaki di istana malas Senayan.

Saya berkesimpulan, ini tidak etis. Mengapa untuk bisa menduduki jabatan yang mahapenting itu –yang juga lebih penting dari sekadar bangku PTN— tidak membutuhkan tes lanjutan? Semacam fit and proper test, gitu? Saya punya ide. Kenapa kita tidak mengadakan tes seleksi untuk ? Oke, sebut saja program itu SNM-DPR (Seleksi Nasional Masuk Dewan Perwakilan Rakyat)

Dalam bayang-bayang pemikiran saya, SNM-DPR adalah tes seleksi independen bagi siapa saja masyarakat Indonesia yang ingin menduduki posisi anggota dewan yang terhormat, yang dipanitiai oleh professor dan guru besar dari PTN-PTN yang sudah professional di bidangnya masing-masing. Mekanismenya sih hampir sama dengan pemilu biasa, tapi, yang membedakannya adalah adanya tes kedua setelah pemilu dan syarat-syarat untuk menjadi anggota DPRnya itu sendiri.

Syarat-syarat untuk menjadi anggota dewan harus diperketat. Pertama, minimal harus lulusan S-1 dengan IPK minimal 3,5. Kedua, mendalami suatu bidang yang berkaitan dengan ekososbud/polhukam/teknologi setidaknya empat tahun. Terakhir dan yang paling penting, setiap anggota dewan harus berasal dari daerah perwakilannya atau asli putra daerahnya, tidak ujug-ujug muncul baliho padahal orang-orang nggak kenal siapa dia. Nah, apabila si anggota dewan ini lolos di tahap satu, yaitu tahap pemilihan umum, Beliau boleh lanjut ke tes tahap dua, tes SNM-DPR.

Di tes SNM-DPR ini, setiap anggota dewan berhak memilih DUA KOMISI yang bakal ditempatinya nanti. Tidak hanya itu. Beda komisi, beda pula tesnya. Misalnya, si A ingin menempati komisi tentang pariwisata dan olahraga. Nah, si A ini harus melalui beberapa tes tertulis dahulu, yaitu TES KEMAMPUAN DASAR (meliputi MATEMATIKA, BAHASA INDONESIA, BAHASA INGGRIS, TES PSIKOLOGI) dan TES KEMAMPUAN KOMISI (misalnya si A memilih komisi pariwisata dan olahraga, maka si A akan mendapati dua paket soal yang berbeda, yang masing-masing menanyakan soal pariwisata dan olahraga di Indonesia, mulai dari sejarahnya, seluk beluknya, studi kasus, sampai hal-hal yang sifatnya mendetail. Mabok-mabok deh tuh). Mengenai kebocoran soal, saya pikir nggak mungkin. Orang panitia SPMB/SNMPTN terkenal ketat dan antikebocoran dari dulu.

Bayangkan kalau semua anggota DPR kita semuanya dipilih lewat tes itu. Pasti rumah keong itu bakal ramai diisi oleh cendikiawan muda, anak-anak Indonesia yang pernah menyabet ratusan medali di olimpiade sains dunia, serta orang-orang jenius yang biasa muncul di Kick Andy. Pasti!

Andai saja tes ini benar-benar ada…

Dijamin, nggak bakal ada lagi tikus-tikus goblok yang cuma bisa retorika, ngomong panjang kali lebar di media dengan kosakata yang njlimet biar dilihat orang-orang kalau dia vokal.

Nggak akan ada lagi anggota-anggota dewan yang pagi buta bukannya ngantor malah dinas ke stasiun TV.

Imbas terbesarnya? Nggak akan ada lagi babi gendut yang bicaranya proyek dan anggaran trilyunan padahal nggak jauh dari Senayan sana banyak gelandangan yang butuh perawatan atau setidaknya sebungkus nasi untuk makan.

Sayangnya, tes ini belum ada dan mungkin tidak akan pernah ada…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun