Wiji Thukul lahir pada 26 Agustus 1963 di Solo, mulanya adalah Wiji Widodo. Ia masuk sekolah teater dan bertemu seorang guru teater, Namanya diubah menjadi Wiji Thukul. Sang guru melihat bahwa dalam diri Wiji memiliki bakat dalam membuat dan membaca sajak-sajak. Hal inilah yang menjadi kekuatan Wiji Thukul menjadi seorang yang ahli dalam membuat puisi dan mengkritik pemerintah Orde Baru. Saat itu ia pernah mengamen menggunakan puisi, untuk membantu ekonomi keluarganya. Bahkan, setiap lika-liku kehidupannya yang terbilang sulit ia warnai dengan beragam menulis puisi.
Wiji Thukul adalah seorang aktivis paling berani yang pernah ada dalam sejarah Indonesia. Puisi-puisinya menjadi senjata utama untuk menegakkan kebenaran. Tentang rakyat yang segala kekurangan dan tertindas, ia lukiskan dalam sebuah puisi. Seperti pada puisi yang berjudul "Nyanyian Akar Rumput". Selain itu, unsur sindiran dan kritik terhadap pemerintah orde baru selalu dihadirkan dalam puisi-puisinya. Beliau tidak memercayai miskin itu adalah takdir, tetapi adanya kemiskinan bisa jadi ditimbulkan oleh penguasa yang serakah akan dirinya sendiri. Tidak hanya berbentuk puisi, tetapi juga mengobarkan gerakan dengan para petani, para rakyat yang merasa telah dikhianati oleh negaranya sendiri. Seperti pada kata yang cukup terkenal pada kalangan aktivis yaitu "hanya ada satu kata: Lawan!". Tidak takut pada siapapun.
Puisi yang paling terkenal dan bahkan yang masih dipakai sampai saat ini untuk membuat sebuah perlawanan adalah yang berjudul "Peringatan" pada tahun 1986. Bait terakhirnya berbunyi "Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata, lawan! Dari bait terakhir puisi yang dibuat Wiji menggambarkan rasa keberanian tanpa rasa takut siapa lawannya. Terkesan seperti, jika kita telah melakukan hal yang benar mengapa harus takut salah.
Kabar orang hilang sangat hangat diperbincangkan pada masa itu, Wiji merupakan salah satu korban dari kejahatan itu. Tetapi, kabar itu masih simpang siur. Banyak yang mempercayai bahwa ia telah diculik oleh aparat suruhan pemerintah orde baru, karena kehilangan dirinya tepat pada detik-detik lengsernya kekuasaan Soeharto. Akhirnya benar bahwa nama Wiji Thukul termasuk pada kejahatan penghilangan orang yang dilakukan oleh penguasa. Karena, penguasa tahu Wiji Thukul bisa menjadi duri untuk menghancurkan pemerintahan orde baru. Maka dari itu, ia hilang pada Mei 1998.
Puisi-puisi Wiji Thukul menunjukkan makna yang sangat berarti bagi setiap orang yang ingin selalu menegakkan keadilan. Begitu luas pemikirannya, bahkan ia sampai sudah tahu jika kebenaran tidak diperjuangkan akan berakibat buruk bagi masa depan. Fajar Merah putranya memiliki sebuah lagu yang dibuat dari puisi ayahnya yang berjudul "Bunga dan Tembok". Ini seperti bentuk kritik yang dilanjutkan dengan lebih disempurnakan menjadi lagu. Makna yang terkandung sangat mendalam dan menyentuh hati. Wiji Thukul sudah menulis puisi dari menginjak sekolah dasar. Salah satu keunikan dari Wiji Thukul adalah beliau menyukai nasi goreng yang ditambahkan jamur dari kotoran sapi, hal ini membuat banyak muncul imajinasi dan ide yang dapat dituangkan ke dalam sebuah puisi. Kegiatan menulis puisi sedari kecil sudah menjadi rutinitas baginya.
Dalam kehidupan seorang Wiji Thukul hadirlah orang yang paling ia cintai yaitu Sipon (istrinya). Kemudian mereka dianugrahi dua anak yaitu Fitri Nganthi yang lahir pada 16 Mei 1989 dan adiknya Fajar Merah yang lahir pada 22 Desember 1993. Dalam membuat berbagai puisi, ia mendapat dukungan dari orang-orang terdekatnya. Ia pernah diberi mesin ketik oleh seorang aktivis terkenal untuk memudahkan Wiji membuat puisi. Tidak adil rasanya melihat seseorang yang ahli membuat puisi yang indah, tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan tanpa ucapan perpisahan. Kritik pada penguasa itu wajar dilakukan, karena seseorang yang tidak pernah dikritik akan menganggap dirinya paling benar.
Puisi Wiji Thukul yang realistis membuat ia banyak dicari oleh aparat negara. Bahkan, hal ini ia realisasikan dalam puisi tanpa judul yang pernah ia tulis. Dengan kata lain Wiji Thukul adalah seorang buronan, ia melarikan diri dari tempat ke tempat lain, hingga sampai ia tuliskan puisi yang berjudul "Nyanyian Akar Rumput", bait pertama. Jalan raya dilebarkan, kami terusir, mendirikan kampung, kami digusur, kami pindah-pindah, menempel ditembok-tembok. Ini seperti kondisi melarikan diri dan bersembunyi.
Ia menulis puisi sebagai senjata mengkritik pemerintah Orde Baru bukan tanpa alasan, tetapi ia melihat banyaknya dampak kesenjangan sosial yang terjadi pada kaum miskin, seperti buruh yang hidupnya tertindas. Bagi orang normal, semua bentuk puisi dan kritiknya itu diharapkan dapat setidaknya meminimalisir kesenjangan sosial waktu itu. Jika peristiwa penculikan aktivis itu benar-benar telah dilakukan, berarti puisi yang berisi kritik itu membuat mereka semakin ganas hingga sampai melakukan menghilangkan orang. Penjelasan dari istri Wiji Thukul adalah benar-benar yakin ia telah diculik oleh aparat negara saat itu. Cukup masuk akal karena orang yang paling ia cintai tiba-tiba hilang ditengah kegembiraan atas kemenangan.
Puisi Wiji Thukul selain menjadi media kritik adalah sebuah karya seni yang begitu indah untuk dibaca. Puisinya seperti membuat pembaca terlibat dengan apa yang ada pada tulisan. Beliau begitu pandai membuat sebuah kritik, protes, sindiran, dalam sebuah karya seni. Padahal banyak orang membuat karya seni itu untuk dipamerkan lalu dijual. Tetapi ini tidak hanya sekedar keindahan lebih dari itu dapat menggerakkan orang-orang. Meskipun, akhirnya Wiji Thukul menghilang tetapi puisi-puisinya membuat beliau seperti ada. Bahkan adanya Fajar Merah yang kini telah memiliki band Merah Bercerita mengingatkan bahwa ia adalah penerus dari karya-karya ayahnya. Lagu-lagunya diangkat dari puisi-puisi ayahnya, seperti pada Bunga dan Tembok, Kebenaran Akan Terus Hidup. Yang pada isinya mempertunjukkan musikalisasi puisi. Pada akhir lirik lagu Kebenaran Akan Terus Hidup, terdapat kata-kata "Aku Masih Utuh dan Kata-Kataku belum Binasa".
Bagi masyarakat pada masa Orde Baru, Wiji Thukul bukan hanya sekedar penulis puisi yang sangat ahli. Tetapi juga sebagai orang yang paling berpengaruh dalam menyuarakan rakyat yang ingin keadilan. Hingga detik ini kabar Wiji Thukul hilang menjadi suatu kesedihan bagi tiap individu. Bahkan dalam lagu-lagu kontemporer masa kini banyak yang mengisahkan tokoh-tokoh aktivis yang diculik dimasukkan kedalam suatu lagu, yang bertujuan mengenang peristiwa-peristiwa saat itu yang sulit dilupakan. Contohnya seperti pada lagu Efek Rumah Kaca yang berjudul "Jingga", terdapat lirik yang menyebutkan siapa saja korban orang hilang pada masa Orde Baru dan keterangan tahunnya dari masing-masing orang yang hilang. Kebanyakan aktivis-aktivis yang menjadi korbannya, Wiji Thukul 1998, bahkan Munir dan aktivis lain juga disebutkan pada lagu itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H