Seluruh asa tercecer di ruang tak berpenjaga. Bak tempat buku yang lama tak dirawat oleh sang empunya. Mata suntuk, pikiran terpuruk, hati seolah tertusuk mengingat keterbatasan yang menembok kokoh di hadapan pelupuk. Namun, hati tak henti-hentinya berorasi bahwa "Tuhan selalu bersama prasangka hamba-Nya". Hingga hirrahku tergugah untuk terus melangkah walau patah-patah.Â
Saat remaja, memoriku mencatat bahwa bibit unggul tak selamanya menuai panen yang unggul pula. Kutipku dari pembimbing jiwa. Realitanya padi rojolele yang berbenih unggul bisa sakit karena wareng menjangkitnya.Â
Nyatanya anggrek menawanbi sa layu karena dilingkupi benalu. Tak luput juga manusia. Maka, inilah mula saraf motorikku merangsang saraf pusatku untuk tetap menapak.
Setelah sekian menit otakku melilit jiwaku yang terjepit akhirnya melonggar dari segala problema yang rumit. Itupun berkat alarm ponsel tuaku yang berbisik. Dia berkata bahwa matari telah menyambut. Mesin sidik jari telah melambai agar aku menyapa tak abai. Begitulah rutinitasku setelah hari senin kembali jumpa. Bergelut dengan setumpuk data.Â
Memberi jasa pada instansi yang mengangkatku sebagai pekerja. Motivasiku beranjak dari sofa sederhana. Hanya berupaya memungut sedikit materi agar tak cuci tangan terhadap buah hatiku. Bukan sesuatu yang megah hanya kesunnahan membantu meraup nafkah.
Akan tetapi, perlu diingat. Tak hanya materi yang dibutuhkan anak. Rohani juga ia perlukan. Dahulu, aku sempat berada di taraf merasa bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa. Bukan karena aku tak mampu bergerak.Â
Bukan juga karena tak sanggup tanggap. Apalagi karena hidungku tak mampu menghirup udara. Melainkan karena aku bukan konglomerat dengan segala keagungannya juga bukan alim dengan segala kesuciannya. Sugestiku mengguncang jiwaku. Namun, kiniku sadari baik buruk seseorang bukan bermuara pada benih saja.Â
Melainkan tentang bagaimana kita menyirami, tentang kita memupuk, tentang kita merawat serta tentang menjaganya. Manakala sabar, tegar, sayang bersemayam maka tumbuhlah tanaman tersebut menjadi makhluk dambaan dengan penuh eksistensi. Dan yang pasti eksistensi setiap orang berbeda. Begitupun sebaliknya. Demikian yang terangsang oleh saraf sensorikku semasa bersama mamah dan papaku.
"Adiba...," panggilku.
"Iya ama," spontanitasnya sekaligus mengarah padaku.
"Ama pergi dulu ya. Jangan lupa sarapan sama belajar ya nak," senyumku sembari mengusap ubun-ubunnya.
Tak melebihi 15 menit kakiku telah menapak di depan ruang kerjaku. Disinilah kehidupan keduaku. Berkecimpung dengan ragam lapis kalangan. Sliwar sliwer mereka silih berganti berinteraksi denganku. Ada yang minta pinjaman seperti bu Asih Namanya.Â