Mohon tunggu...
Rizki Amalia Putri Hidayat
Rizki Amalia Putri Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Yogyakarta

Mahasiswa Sastra dan Bahasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bilik Kecil untuk Mimpi

1 Oktober 2024   19:07 Diperbarui: 1 Oktober 2024   23:07 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desir angin mengelus leher hingga merinding mulai terasa. Bukan karena kehadiranmakhluk supranatural melainkan debur hujan yang begitu kencang. Pohon-pohonmenari-nari mengikuti alunan rintik air dan arah mata angin. Matari yang hariannya telah bangun tersenyum kepada dunia urung unjuk diri entah mengalah atau kalah dari mega abu-abu. Yogyakarta pagi ini pun tampak muram karena tak ada sorotan maha vitamin kalsiferol. Maha yang terusir oleh awan yang berdesir. Di balik pohon yang bergoyang terdapat gubuk sederhana yang berdiri sama reyot dengan goyangan pohon. Angin kuat seolah ingin maruntuhkan bilik kecil itu yang keras kepala tetap tegak. Tak perlu ditelisiki hingga ke dalam, meski hanya sekilas rumah itu tampak memerlukan renovasi sebab atap bercelah-celah, dinding miring dan sekeliling mulai basah yang tak lumrah. Air meninggi hampir menyaingi tinggi pondasi. Tampak memprihatinkan. Namun, yang di dalam tak pernah mengeluhkan takdir kehidupan. Meski kota ini basah dan mendung Lillah tetap tersenyum dan tak pernah murung. 

Lillah seorang anak laki-laki berusia 6 tahun lugu nan polos yang sangat patuh kepada orang tuanya terutama ibunya. Nahas di usia belia dia sudah tidak bisa berbakti kepada ayahnya selain mendoakannya. 

Sepeninggalan ayahnya ibunya hanya dapat tidur 3 jam dalam sehari karena harus mengurus dua anak, rumah, dan mencari nafkah. Sorot mata lelah dan kantung mata yang besar menghitam begitu jelas setiap hari dari mata Sri, ibu Lillah. Wanita muda yang menawan meski miskin kehilangan pancarankecantikannya karena sibuk banting tulang demi sesuap nasi pagi dan sesuap nasi sore.
Keseharian Lillah belum padat karena dia masih kanak-kanak. 

Meski Lillah anak laki-laki dan masih bau kencur ia gesit bolak-balik mengambil cetakan lucu untuk membentuk kue. Setiap hari ia lakukan demi menemani sang Ibu. Karena ibunya membuat kue basah setiap fajar untuk dijual di pasar sebelum pagi hari pergi menarik ojol hingga malam menyapa. Musim penghujan memang tidak bersahabat bagi penarik ojol motor. Lain dengan taksi yang banyak peminat karena penumpang terlindungi dari air hujan.

Baca juga: Angka Rasa

Meski berada di jalanan ketika adzan berkumandang Sri selalu berhenti menghampiri masjid untuk berdoa batin dan lahirnya. Ketika ia pergi menarik ojol, Lillah ditinggalnya sendirian di rumah sembari menunggu kakak laki-lakinya pulang sekolah. Jika sudah duduk bersama Rafli, kakaknya mereka berbincang banyak hal hingga lupa hari mulai petang. Lillah yang menyukai menulis, menuliskan semua lintas hal ide yang dalam otaknya entah itu emosi, harapan, bayangan keseharian yang kemudian ia adukan kepada sang kakak. Karena kakanya yang sudah lebih paham dan yang telah menginjakkan bangku sekolah sedikit-dikit ia mulai menganalisis ranah kepenulisan sang adik. Rafli pun sebagai kakak mulai mengarahkan apa yang ia seharusnya tulis, bagaimana caranya menulis yang lebih, bagaimana cara menumpahkan emosi dengan nilai estetika. Rafli tak pandai menulis namun ia mengetahui beberapa teori karena ia bersekolah walau baru memasuki bangku SMP.

Rafli lebih menyukai sepak bola bahkan bermimpi masuk sekolah sepak bola. Namun, keterbatasan ekonomi menjadi tembok penghalang. Ia tak pernah menyalahkan keadaan soal kemiskinan yang ia alami. Ia mencari cara lain untuk tetap bisa berkembang dari hobinya itu. Setiap pulang sekolah ia berlatih sepak bola bersama teman-temannya. Jika tidak ia kan bermain sendiri. Yang ia pikirkan hanya berlatih seadanya agar memperoleh hasil yang terbaik. 

Di bilik reyot pun Lillah semakin giat menulis. Di usia yang hampir masuk sekolah saja ia sudah pandai berangan-angan. Memang imajinasi anak kecil bisa dibilang liar. Bersyukurnya imanjinasi itu dapat ia tuangkan dalam sebuah coret-coret tinta yang kelak dapat berkembang menjadi tulisan layak. Setiap pagi, seperginya ibunya mencari nafkah ia Kembali ke kamar kumuhnya untuk bermain dengan kertas dan pena yang ia miliki. Sesekali ia menulis. Sesekali ia berguling-guling menatap atap yang banyak sarang laba-laba di karpet robek sembari tersenyum. Entahlah apa yang ia pikirkan. Selesai menatap kembalilah ia mencoret-coret kertas itu. Jika dikumpulkan hasil coret-coretnya sudah satu lemari penuh meski belum ada yang sebaik tulisan. 

"Assalamu alaikum", terdengar suara lembut di balik pintu yang mendecit.

"Waalaikum salam Ibu", teriak Lillah yang berlari ke arah Ibunya.

"Di luar hujan ya Bu? Saya ambilkan handuk dulu ya Bu?" Gesit Lillah mengambil handuk di gantungan belakang dan memberikannya pada ibunya.

"Terima kasih anak baik", ucapan manis sambil mengelus wajah anaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun