Gifted atau anak keterbakatan seringkali dipandang sebagai anak yang diberikan karunia, terpilih dan spesial menurut kebanyakan orang. Hal tersebut seringkali menyebabkan anak gifted mendapatkan perilaku berbeda dari anak-anak pada umumnya. Gifted merupakan suatu kemampuan yang dimiliki individu dengan karakteristik tertentu seperti, hasil nilai Intelligence Quotient (IQ) kisaran 125-140, perhatian terhadap sains, rasa ingin tahu serta imajinasi yang tinggi, dan mempunyai kemampuan dominan pada suatu bidang. Dikemukakan oleh Renzulli (2005; dalam Wandasari, 2011) pada teorinya yaitu three conceptions of giftedness bahwa karakteristik anak gifted mencakup 3 hal, yaitu kemampuan di atas rata-rata, komitmen pada tugas dan kreativitas.
Akan tetapi tidak semua anak keterbakatan berhasil mengembangkan kemampuan yang mereka miliki dan memperoleh sebuah penghargaan ataupun prestasi. Dalam penelitian Hollingworth (1942, dalam Muhid, 2019) menemukan bahwa banyak dari anak gifted yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mengoptimalisasikan kemampuan mereka secara sepenuhnya di sekolah. Sejalan pula dengan data yang dilaporkan oleh Australian Senate Select Committee for the Education of Gifted and Talented Children (2001, dalam Muhid, 2019) dimana 35% hingga 75% anak gifted kurang berprestasi di sekolah dan antara 15% dan 40% anak tersebut di drop-out dari sekolah sebelum menyelesaikan masa studinya. Beberapa hasil penelitian lainnya juga melaporkan bahwa terdapat beberapa anak gifted yang tidak mencapai prestasi akademik yang sesuai dengan potensi mereka, atau biasa disebut dengan underachiever gifted.
Underachiever merupakan keadaan dimana anak berada pada level yang sangat rendah prestasinya jika dibandingkan dengan kemampuan yang sebenarnya (Rahmawati, 2013). Menurut hasil penelitian, terdapat beberapa faktor-faktor penyebab anak menjadi underachiever yaitu :
- Kondisi fisik, seperti anak mengalami  sakit, ada gangguan tertentu, atau cacat fisik.
- Kondisi psikis, yang sifatnya rentan seperti perfeksionisme, supersensitivity, kurang akan keterampilan sosial, rasa tertekan karena berbeda, ketidacocokan atau ketidaknyamanan akan sesuatu hal, terlalu banyak minat dan kegiatan.
- Keluarga, beberapa faktor seperti tidak mendapatkan apresiasi atau penghargaan, tidak ada sikap positif dari orang tua, prestasi menjadi ancaman kebutuhan superioritas, status sosial ekonomi yang rendah, disfungsi keluarga.
- Sekolah, seperti lingkungan yang tidak mendukung, tidak ada apresiasi, ketidakcocokan kurikulum maupun cara pengajaran, lingkungan kelas yang otoriter.
- Teman Sebaya, seperti rasa tidak ingin ditinggalkan oleh teman, dikucilkan atau pembullyan.
- Masyarakat, seperti tuntutan atau harapan dari lingkungan sekitar.
Seringkali masyarakat memandang sosok anak gifted adalah layaknya karunia yang sempurna, dimana secara tidak langsung mereka menaruh harapan besar pada anak gifted. Harapan tersebut mengakibatkan anak gifted mengalami tekanan. Baker (1996) memaparkan hasil penelitiannya berupa tekanan -- tekanan yang dimiliki oleh anak gifted yaitu, 1) Kesuksesan akademik, 2) Tekanan untuk sukses, 3) Perasaan berbeda dengan lainnya, 4) Kejenuhan, 5) Banyak minat, 6) Pilihan karier, 7) Kompetisi. Tak hanya soal meraih prestasi, labelisasi pintar dalam bidang akademik, maupun karier, tapi juga bagaimana mereka menjalani kehidupan bersosial dengan lingkungannya. Kemampuan bersosial menurut Hurlock (Wandasari, 2011) yaitu ketika seseorang mampu menyesuaikan diri dengan orang lain, dan juga kelompoknya. Penyesuaian sosial tersebut dapat dilihat dari kemampuan dalam membangun relasi yang sehat dengan orang lain, sehingga orang lain akan bersikap positif dan menerimanya dengan baik.
Hal yang jarang sekali orang ketahui adalah bahwa daya kognitif anak gifted yang kompleks, membuat anak dengan tingkat inteligensi tinggi tersebut memiliki kedalaman emosi, sehingga tidak hanya berfikir secara berbeda dari anak seusianya, melainkan juga merasa dengan cara yang berbeda. Tingginya kapasitas intelektual pada anak gifted mengakibatkan anak mempersepsi rangsangan dari lingkungan sosial lebih tinggi dari penalaran teman seusianya. Ada tingkatan atau masa tertentu dimana kepekaan perasaan yang intensif mempersulit anak gifted dalam beradaptasi atau kemampuan bersosial dengan lingkungannya. Anak gifted menggunakan strategi proses informasi yang digunakan oleh anak beberapa tahun diatas usianya sehingga anak gifted lebih memilih untuk berinteraksi dengan anak-anak yang beberapa tahun lebih tua diatas usianya.
Kesulitan anak gifted dalam bersosialisasi dikarenakan konep pemahaman yang sangat dalam mengenai arti persahabatan dan memikirkan apa yang perlu dipenuhi dan achievement pada tingkat kemampuannya. Oleh karena itu, ia harus berani mengambil risiko dalam mengorbankan pencapaian keakraban (intimasi) dengan teman seusianya (Nurhayani, 2013). Anak gifted rentan mengalami kesulitan dalam menjalin relasi dengan teman seusianya, hal tersebut dikarenakan kondisi perkembangan kognitif, perkembangan sosial dan emosi anak berinteligensi tinggi yang berbeda dari teman sebayanya (Nurhayani, 2013).
Penulis melakukan observasi serta wawancara dengan salah satu guru dari sekolah di daerah DKI Jakarta. Ditemukan bahwa terdapat kasus seorang anak gifted yang mengalami kejenuhan untuk melanjutkan sekolahnya. Tak hanya itu sang anak pun mengaku ingin berhenti masuk sekolah dikarenakan sudah bosan. Hingga pada akhirnya pihak sekolah mengambil tindakan untuk datang ke rumah (home-visit) anak tersebut dan mengajak bicara dengan kedua orang tuanya. Pada pertemuan itu dilakukan jalan tengah atau mencari solusi atas permasalahan tersebut. Home-visit tidak hanya dilakukan dalam hitungan sekali atau tiga kali, namun  sebulan lamanya. Hingga pada akhirnya, cara itu berhasil sehingga anak tersebut kembali ke sekolah dan melanjutkan masa studinya.  Saat ini bahkan ia sudah menyandang gelar Ph.D dari Harvard University.
Agar anak gifted dapat mengoptimalisasikan kemampuan yang dimilikinya, individu berbakat memerlukan pendidikan yang berdiferensiasi sesuai dengan minat dan kemampuan intelektualnya melalui program khusus. Individu berbakat akan memperoleh pengayaan dari materi pelajaran, proses belajar dan produk belajar (Hawadi dkk, dalam (Issom et al., 2020). Program pendidikan bagi individu berbakat dapat diselenggarakan melaui berbagai cara (Semia-wan, dalam (Issom et al., 2020), ialah sebagai berikut :
- Mempercepat waktu belajar (akselerasi), secara menyeluruh atau hanya mata pelajaran tertentu.
- Meluaskan pengalaman dan pengetahuan dengan memperkenalkan bahan-bahan yang tidak diberikan dalam kurikulum biasa.
- Memberikan kesempatan mendalami mata pelajaran yang diminati.
- Mengembangkan keterampilan penelitian dan pemecahan masalah secara kreatif agar menjadi produsen pengetahuan dan bukan knsumen pengetahuan semata-mata
Terdapat berbagai alternatif perlakuan pendidikan khusus bagi anak gifted menurut Nurhayani (2013), yaitu
- Memberikan program pengayaan (enrichment), yaitu memberikan pengalaman belajar yang berbeda di dalam kelas, seperti menugaskan mereka dengan membaca dan tugas ekstra atau diskusi kelompok atau penelitian independen.
- Program yang memungkinkan percepatan (acceleration), yaitu sejumlah modifikasi terhadap program belajar di sekolah umum sehingga anak gifted dapat menyelesaikan sekolah lebih cepat dari biasanya.
- Kombinasi antara program pengayaan (enrichment) dan percepatan (acceleration).
Menjadi anak gifted, memang layaknya seperti anak yang terpilih. Terpilih untuk mendapatkan sebuah karunia, berupa kemampuan yang perlu dikembangkan agar dapat berkembang secara optimal. Namun disamping hal tersebut, sadar bahwa anak gifted bukanlah sesosok individu yang sempurna. Karena kenyataannya dibalik karunia yang dimilikinya, anak gifted juga mengalami segelintir problematika. Dan harapan mereka hanyalah ingin diperlakukan sama layaknya anak-anak pada umumnya. Karena anak gifted, juga manusia.
Referensi :