Mohon tunggu...
Rizki Aldi Cahyono
Rizki Aldi Cahyono Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Bersama rakyat, menyatu kuat menuju Indonesia Hebat...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Melawan Otoritarianisme: Peran Pers Kampus dalam Era Orde Baru

23 Desember 2024   15:06 Diperbarui: 23 Desember 2024   15:04 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Geger Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) tahun 1965 menjadi titik balik perubahan politik di Indonesia. PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dianggap sebagai dalang penculikan dan pembunuhan 6 jenderal 1 perwira menurunkan citra Paduka Jang Mulia Sukarno di mata rakyat. Fenomena politik “matahari kembar” antara Sukarno dan Soeharto muncul, hingga berujung pada naiknya Soeharto sebagai presiden baru Indonesia, 26 Maret 1968 secara resmi. Orde baru yang seharusnya membawa harapan baru, justru kandas di tengah jalan dengan perilaku otoritariansme rezim Suharto. Di awal pemerintahan, kondisi ekonomi memang membaik namun terjadi pembatasan di setiap lini kehidupan, salah satunya pembatasan pers.

Pers yang di dalamnya melekat fungsi informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, dan lembaga ekonomi memiliki pengaruh penting dalam stabilitas kekuasaan. Negara orde baru memahami itu dan menjaga marwah kekuasaannya melalui kontrol ketat terhadap pers, melalui sebutan “pers pembangunan” dan “pers yang bertanggung jawab”. Media pers yang melakukan kritik dibredel dan diikuti penangkapan serta pengasingan para wartawannya. Dalam situasi ini, muncul media alternatif yang berusaha menghadirkan informasi fakta kepada rakyat serta menyuarakan kebebasan pers dan hak asasi manusia. Ini terjadi karena pers yang mandiri menjadi satu-satunya media informasi rakyat, tanpa “membohongi” rakyat. Salah satu media alternatif itu adalah pers kampus.

Pers kampus atau menurut Departemen Penerangan Orde Baru disebut “penerbitan kampus mahasiswa” pada masa orde baru menerbitkan pemberitaan yang lebih berani daripada pers umum. IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) sebagai organisasi pers mahasiswa bahkan turut terlibat dalam politik sebagai Biro Penerangan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, dan dianggap sejajar dengan Departemen Penerangan RI. Melalui penerbitannya, pers mahasiswa berani mengkritik dan melawan otoritariansme Orde Baru hingga menggaungkan reformasi 1998. Artikel ini mencoba mengulas bagaimana pers mahasiswa menjadi wadah perjuangan demokrasi dan penyebaran informasi alternatif di bawah tekanan pemerintah otoritarianisme.

Dinamika Pers Kampus Masa Orde Baru

Kemesraan Suharto dengan pers dan mahasiswa tidak berlangsung lama, memudar pasca penggulingan Sukarno. IWMI dan SPMI yang melebur menjadi IPMI mulai menyadari pudarnya kebebasan dan wajah otoriter orde baru khususnya dalam mengontrol aktivitas kemahasiswaan. Konsep back to campus yang dikeluarkan orde baru tahun 1971 menjadi stimulus kemunduran pers kampus.

Pasca pada peristiwa 15 Januari 1974, dua belas pers kehilangan SIT (Surat Izin Terbit) dan SIC (Surat Izin Cetak). Harian KAMI dan Harian Mahasiswa Indonesia termasuk ke dalamnya. Diikuti dengan penahanan 470 wartawan, termasuk Mochtar Lubis dari Harian Indonesia Raya. Di sisi lain pers kampus muncul, seperti Surat Kabar Salemba (UI), Gelora Mahasiswa (UGM), Atmajaya (Unika Atmajaya), Derap Mahasiswa (IKIP Yogyakarta), Arena (IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Airlangga (Unair). Subsidi 50% dari universitas menjadikan pers kampus bergantung pada birokrat kampus dan “melemah”. Namun tidak dengan Salemba, Gelora Mahasiswa, dan Kampus (ITB) yang tetap memberikan kritik tajam pada kondisi sosial dan politik

Kekosongan pers umum pasca pembredelan tahun 1978, membuat pers kampus tampil sebagai pengisi pemberitaan. Tiras pers mahasiswa mencapai puluhan ribu eksemplar dan memikat banyak pembaca. Melihat adanya bahaya, pers kampus dibredel dan dilarang terbit, termasuk Salemba, Gelora Mahasiswa, dan Kampus (ITB) akibat kritikannya. Hubungan panas antara pemerintah dengan pers kampus kembali memanas. Ketidakberhasilan Abdul Gafur selaku Menpora dalam meng-KNPI-kan IPMI membuat IPMI terancam dimatikan. IPMI dilarang melakukan kongres ke-IX dan aksesnya di lembaga penerangan ditutup. Eksistensinya hanya sebatas pada pendidikan dan pelatihan pers mahasiswa antara 1980-‘82. Sementara penerbitan pers kampus tetap terbit, tetapi tidak mencapai tiras besar.

Tahun 1985, kehidupan pers kampus mulai bersemi. Di UGM misalnya, terdapat 47 penerbitan di setiap fakultas dan jurusannya dengan 26 pers aktif tiap semester. Balairung sebagai majalah kampus yang berorientasi pada intelektualisme terbit pada 8 Januari 1986. Di UI, muncul Warta UI yang banyak melahirkan jurnalis professional. Kedekatannya dengan rector, membuat surat kabar ini tampil kurang tajam, tidak seperti Solidaritas. Solidaritas adalah pers kampus Universitas Nasional (Unas) di Jakarta yang terbit pada Desember 1986 dengan dominasi berita politik. Baik UGM maupun Unas memiliki pimpinan birokrat yang memberikan kebebasan.

Memasuki periode 1990an, pers kampus mengalami kemunduran akibat jumlah SKS yang ketat, kurangnya dana, dan regenerasi kepengurusan dalam pengelolaannya. Ini merupakan dampak dari iklim politik orde baru yang memusatkan mahasiswa pada studi dan pengurangan aktivitas lain berbau politik. Aktivis-aktivis di tingkat nasional yang turut ikut campur pada pengelolaan pers kampus. Mereka adalah para aktivis yang mengalami pengekangan aspirasi (era 1971-’74 dan 1980an). Olehnya pers masa 1990an relatif lebih independent dan bebas serta lebih heterogen aspirasi politiknya.

Gerakan prodemokrasi turtu menjadi warna dalam aspirasi politik pers kampus. Kerja sama pers kampus dengan pihak luar terjalin demi mewujudkan cita-cita reformasi, misalnya antara pers kampus dengan AJI (Aliansi Jurnalis Independen). AJI memberikan pelatihan kepada mahasiswa dalam pembuatan siaran pers yang efektif sehingga agenda-agenda gerakan mahasiswa 1998 lebih tersosialisasi ke masyarakat. Selama kurun 1997-’99 AJI banyak menjalin kerja sama dengan pers kampus: Sekolah Tinggi Teologi, UPN Veteran, IISIP Lenteng Agung, Unitomo Surabaya, Unila, IAIN Jakarta, UKI, Unhas, serta Forum Komunikasi Mahasiswa se-Jabodetabek (FKSMJ).

Sokongan dari pihak luar dan semangat perubahan inilah yang membuat pers kampus mampu menjadi bagian dari perubahan politik pada reformasi 1998.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun