Di sekolah saya tempat mengajar, persis di belakangnya adalah sebuah sekolah pula dengan jenjang tingkat dasar. Ada beberapa sekolah dasar yang berafiliasi dalam satu gedung bangunan sama. Tapi bukan hal ini yang mau saya bicarakan. Sebab itu urusan lain dan butuh tempat lain pula yang juga mungkin lain kali dibahasnya.
Hampir setiap hari, setiap waktu, yang terdengar adalah nada-nada yang mengalun dari pianika (alat musik dengan tuts seperti piano yang dibunyikan dengan tiupan) maupun rekorder (saya juga kurang mengerti tapi itulah istilah untuk menyebut alat sejenis violin yang meniupnya memanjang kebawah bukan ke samping). Lagu yang terdengar dari irama-irama tersebut hampir seluruhnya adalah lagu Nasional. Dari mulai Tanah Air, Hymne Guru, Mengheningkan Cipta, Ibu Kita Kartini, Indonesia Raya dan sesekali terdengar Buka Dikit Joss (yang terakhir ini bukan lagu Nasional, tapi gema-nya lebih bersifat nasional bahkan goyangnya sudah berskala internasional sejak di populerkan oleh salah satu stasiun televisi swasta).
Ada yang hilang dari itu semua, yakni apakah anak-anak yang membunyikan lagu-lagu tersebut mengerti dan memaknai dari lagu-lagu yang bunyi disana. Ditiup secara bersama tak jarang di siang hari saat panas mentari sudah banyak memanaskan udara. Ada yang hilang disana kala lagu-lagu Nasional dibunyikan tapi tak diiringi dengan makna dan historis dari lagu yang mungkin diajarkan oleh para guru mereka. Sedangkan saat mereka kembali ke rumah masing-masing, televisi telah kembali mempengaruhi lagu-lagu nasional yang ditiup siang hari tadi.
Ironis memang pendidikan di Indonesia, khususnya mungkin pendidikan di sekitar kita. Sekalipun itu berada di jenjang pendidikan dasar, jenjang pendidikan yang dalam ranah sosiologi berada pada area Game Stage dimana anak-anak sudah mengetahui peran dan mampu menghargai peran-peran yang berbeda dari orang-orang disekitarnya. Dimana anak-anak tersebut hanya tahu teks tanpa memahami konteks, sehingga pendidikan dan pengajaran hanya berbekas pada kertas tidak pada nafas. Berbeda dengan kala dahulu, di saat pendidikan begitu berharga, di kala pendidikan dijunjung tinggi dan begitu mulia adanya. Butuh biaya mahal dan diskriminasi yang tak rasional bila ingin hebat dan pintar pada masanya. Kini kita mungkin berada dalam kemunduran, disaat pendidikan hari ini sudah masuk pada fase pendidikan untuk semua, fase dimana pendidikan sudah sangat terjangkau bagi kalangan bawah sekalipun, tapi saat itu pula pendidikan kehilangan maknanya.
Karena sejatinya memaknai itu penting, maka sudah sewajarnya pendidikan hari ini lebih memprioritaskan makna mendalam atas banyak hal yang seharusnya dipelajari. Entah apa mungkin bobot kurikulum kita yang terlampau tinggi dengan standar indikator yang sangat 'wah' nilainya dikalangan para konseptor negeri ini. Atau karena pendidikan hari ini bak karet yang penuh dengan intrik politik didalamnya. Seperti banyak sindiran beredar setelah era reformasi bergulir, "paling ganti menteri, akan ganti kurikulum lagi". Saat ini sih buat saya, bukan sekedar ganti kurikulum, tapi sudah ganti sistem. Tergantung siapa yang punya pedang kuasa. Maka pendidikan jadi kendaraan politik nomor satu sebelum kesehatan. Karena perkara pendidikan adalah perkara kesejahteraan dasar, darisanalah sebuah bangsa memiliki nilai diantara bangsa-bangsa lainnya. Sekarang, kita tunggu saja apa produk (output/hasil) dari pendidikan paska reformasi di beberapa tahun kedepan khususnya saat opportunity window di Indonesia sudah sampai waktunya. Akankah benar-benar bisa mendatangkan kesejahteraan paripurna sekaligus menjadi momentum kebangkitan Indonesia untuk jaya kedua kalinya.
Mari, sebagai guru saya mengajak untuk membangkitkan dan menggairahkan pembelajaran dengan makna dari apa-apa yang akan dan sedang kita ajarkan hari ini. Menuangkan ide dan gagasan untuk mengubah sebuah peradaban. Untuk memberikan gagasan berfikir baru yang segar di hati anak didik kita. Agar kelak pendidikan bukan sekedar banyak cerita, membaca aksara, dan membuka mata saat kita bersua dengan mereka. Tetapi lebih jauh dari itu semua, menggugah naluri untuk kreatif baik bagi siswa dan guru khususnya, memberi inovasi dalam pembelajaran dengan eksplorasi yang tidak sekedar biasa, dan membimbing anak didik untuk meraih hati mereka dan memenangkan jiwanya bahwa mereka punya bakat kecerdasan yang berbeda-beda.
Tabik!
Bekasi, 27 Maret 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H