Mohon tunggu...
Rizki Affiat
Rizki Affiat Mohon Tunggu... -

Rumit tapi sederhana, dekonstruktif dan (harus) produktif. http://rizkiaffiat.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Gandhi Lebih 'Violent' Ketimbang Hitler”

30 Januari 2012   07:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:17 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Ungkapan itu bukan sembarang ungkapan. Di dalamnya tercermin paradoks yang menjadi kompleksitas umat manusia modern. Kalimat itu dilontarkan oleh Slavoj Zizek, seorang filsuf kiri asal Slovenia dalam wawancaranya dengan TV Al Jazeera.

Wawancara yang dilakukan pada November 2011 itu disiarkan di situs Al Jazeera ketika dunia sedang ramai oleh kemunculan fenomena gerakan sosial. Revolusi Arab (Arab Spring), Occupy Wall Street, demonstrasi di Yunani, Spanyol, dan Rusia, serta di berbagai wilayah lainnya.  Pandangan skeptis tentang relevansi gerakan sosial dan demokrasi terbantahkan. Begitupun tesis Fukuyama dengan ‘The End of History’ yang hendak meyakinkan kemenangan liberalisme kapitalisme. Semua itu runtuh dengan fenomena bersatunya masyarakat lintas golongan, kelas, afiliasi, suku, dan agama --  jutaan orang di banyak negara pada tahun 2010 dan 2011 berkumpul bersama untuk berani meneriakkan “Kami tidak suka kondisi ini!” tepat di hadapan moncong penguasa. Dan ya, revolusi bukan bunga manis – sampai sekarang kita masih dihinggapi teka-teki akan kemana arah negara-negara tersebut, tapi dunia sudah mengakui bahwa terjadi perubahan terhadap sistem, keyakinan, dan praktek politik yang selama ini represif dan korup.

Sejarah baru sedang dibentuk. Politik kekerasan oleh negara dilawan oleh kekuatan rakyat.

Siapa yang Violent? Semrawut Dunia dan Paradoks Politik

Menurut Zizek, kita harus melihat lebih kritis kepada pemaknaan manipulatif dari ‘kekerasan’ (baik violence atau violentkata sifatnya). Salah satu ungkapannya yang paling provokatif selama ini adalah “Gandhi lebih violent ketimbang Hitler”. Kenapa ia berkata seperti itu?

Kita mesti memahaminya dari realita paradoksal politik dunia.

Zizek menjelaskan, Hitler adalah seorang monster dan fasisme itu sangat destruktif, tapi Hitler melakukannya di dalam sebuah sistem dan kekuatan struktural yang menopang. Gandhi, dengan filosofi dan seruan moralnya, justru lebih violent karena ia melakukannya di luar sistem untuk mengkritik dan melucuti praktek kekuasaan. Zizek ingin mengingatkan pada kita bahwa term “violent” seringkali dimanipulasi untuk bahasa dan kepentingan politik tertentu yang sebenarnya bersifat reduksionis. Artinya, fenomena kekerasan yang sesungguhnya acapkali tidak terdengar gaungnya karena dianggap ‘normal’ – yaitu berada di dalam sistem – alias tidak dianggap ‘violent’ dalam konteks tertentu.

Contoh sederhana menurut Zizek adalah Republik Demokratik Kongo (DRC). Jutaan orang tewas terbunuh dalam pertikaian di negeri itu. Elemen-elemen penting demokrasi dan masyarakat runtuh oleh konflik, pembantaian, dan para penguasa tanah. Namun amat sedikit sekali berita mengenai tragedi kemanusiaan Kongo. Kenapa? Karena yang terjadi di Kongo adalah kekerasan di dalam sistem. Ini juga mengingatkan saya pada tragedi pembantaian besar di Darfur (Sudan), Rwanda, Palestina, dan Srebrenica (Bosnia). Jika dunia internasional memiliki kekuatan yang kita pahami sekarang, seharusnya aksi-aksi biadab tersebut bisa diantisipasi maupun dieliminir praktek dan akibatnya. Namun yang kita lihat adalah pembiaran hingga semua telat dan sebagian sudah menjadi debu kemanusiaan. Siapa bilang HAM itu tidak bermuka dua? HAM menjadi bermuka dua ketika term tersebut telah dikoptasi oleh hegemoni tertentu. Begitupun saya pikir dengan yang dimaksud Zizek sebagai term violent.

Tentu, analisis kritis Zizek tersebut tidak mengartikan bahwa ia mendukung kekerasan destruktif di luar sistem. Zizek sendiri menyayangkan kerusuhan di London, “Saya berbicara dengan para demonstran di sana tetapi mereka tidak punya pandangan ke depan. Mereka bersifat konsumeristik. Ini yang saya sayangkan.” Ujar Zizek. Di sisi lain, Zizek sangat mendukung gerakan Occupy Wall Street – yang banyak diinspirasi oleh literatur kiri – bahkan ia menjadi salah satu tokoh yang berorasi di peristiwa tersebut.

Violent atau sikap kekerasan juga menjadi unsur destruktif bagi kaum Yahudi itu sendiri di Palestina, menurut Zizek. Dengan tajam, Zizek mengatakan paradoks dari Israel: orang-orang Zionis itu sendiri adalah anti-semit. Sambil memberikan beberapa contoh, Zizek menandaskan bahwa seorang Zionis di Israel tidak keberatan jika seorang Zionis di Amerika Serikat bersifat anti-semitis selama Zionis di Israel bisa menindas Palestina. Tetapi Zizek tekankan, elemen violent tersebut sesungguhnya akan merugikan kaum Yahudi sendiri karena akan menghapus identitas mereka di Israel. Bahkan dengan gayanya yang ekspresif, Zizek mengatakan dengan metaforis, “They have sold their soul to the devil!”

Zizek adalah seorang filsuf kiri yang dengan cadas mengatakan bahwa ia seorang komunis. Tapi ia bukan sembarang intelektual yang berapi-api namun tidak relevan. Sebaliknya, gesturnya yang hidup dan ironi dalam rangkaian analisisnya yang kadang menggelitik sesungguhnya menohok nalar dan nurani kita. Kritisisme yang mendalam mampu menelanjangi hipokrisi praktek dan sistem politik yang menghegemoni saat ini. Ia mengingatkan pada kita pentingnya untuk selalu membongkar term-term yang sering menjadi bahasa penguasa dan melihat kedalaman yang terselubung dari setiap tragedi.

Sondang dan PIlkada Aceh: Paradoks Kekerasan

Bagaimana kita melihat fenomena ‘Gandhi lebih violent ketimbang Hitler’ ini dalam konteks dinamika sosial politik yang lebih dekat dengan kehidupan kita?

Pada suatu pagi di hari Jumat saya menghabiskan waktu di sebuah warung kopi yang menyenangkan bersama seseorang yang istimewa. Suasananya tidak bising dan hanya ada segelintir pengunjung.  Pekarangan belakangnya persis menghadap ke sungai kecil yang bersebelahan dengan sungai banjir kanal Darussalam. Meja-meja kayu diletakkan di bawah pepohonan yang rindang dan sebuah jembatan kayu melengkung melintasi sungai kecil itu. Sambil sarapan, kami berbincang.

Seingat saya, diskusi pagi itu bermula dari perbincangan soal situasi politik terbaru, lalu ketika saya bertanya padanya soal korupsi, obrolan kami mengerucut jadi sebuah pesimisme besar. Beberapa tema mencuat seperti soal 10 kabupaten di Aceh yang dinilai bangkrut oleh audit BPK, buruknya persoalan korupsi di Aceh Utara, sekelumit jerat skandal Century, dan para dedemit politik yang menyengsarakan rakyat. Saya bertanya tentang kasus-kasus korupsi di Aceh yang sudah didata oleh GeRAK (Gerakan Anti Korupsi) Aceh dan sejauh mana kasus korupsi bisa ditekan oleh kelompok masyarakat sipil maupun pemerintah. Seperti biasa, ia menjawab dengan runut dan penuh referensi: dari mulai peran KPK, polisi dan jaksa, presiden, hingga DPR. Dari tingkat provinsi ke pemerintah pusat. Hasilnya? Semua bermasalah dalam hukum, jadi bagaimana mau menyelesaikan kasus-kasus korupsi bahkan jikapun ada tekanan dari masyarakat sipil?

Kami berdua sama-sama pesimis, itu tak perlu ditegaskan lagi.

Ia berkata di penghujung diskusi kami, “…karena itulah Sondang bakar diri.”

Saya setengah menyeringai dan mendengus. Sebenarnya saya melakukan itu karena sedih. Seperti tragedi Muhammad Bouzzizi yang membakar diri di Tunisia sehingga memicu revolusi, tindakan Sondang dalam keblingsatan politik negeri ini adalah klimaks personal dari sebuah isu besar yang sebenarnya nasional: pertarungan yang tak pernah imbang antara kapital dengan kemanusiaan. Sondang adalah mahasiswa yang memutuskan untuk mati dalam keadaan idealis – ia menjemput maut sebelum materi menjemputnya.

Sepanjang akhir pekan lalu kami membeli beberapa buah buku di toko Dokarim dan Bandar lalu membacanya secara acak namun cukup tekun. Buku-buku yang kami beli antara lain karya Nietszche, Tolstoy, Mansour Fakih, dan Camus, selain dari beberapa literatur tentang demokrasi, pemilu, dan masyarakat sipil. Di tepi pantai kami duduk santai sembari sarapan dan membaca. Suasana tenang, hanya ada beberapa pengunjung yang datang untuk duduk. Tidak ada hingar bingar kedai kopi dan musik alay yang melemahkan otak. Hamparan rumput hijau, pasir, dan lautan biru bertemu sapa dengan pepohonan rindang dan langit cerah. Hanya ada bunyi air laut dan samar-samar orang bercakap. Kami pun membaca. Sesekali saya bertanya hal-hal filosofis dan personal padanya – rangkaian tanya jawab singkat dan padat, lalu sesekali ia akan mengatakan sesuatu yang membuat saya dongkol.

Seperti sengatan arus listrik, percakapan kami akan tersumbat oleh kejengkelan terhadap satu sama lain, lalu membaik kembali seperti sengatan mentari yang disergap oleh awan tebal.

Tetapi sudah cukup lama masing-masing kami tidak menghabiskan waktu untuk benar-benar membaca buku. Kami sibuk sendiri-sendiri dengan memburu deadline pekerjaan yang sama: harus menulis, menulis, menulis. Sesekali diskusi dengan beberapa kawan. Kepala kami rupanya diam-diam sama-sama merindukan asupan nutrisi referensi. Maka sekelumit bacaan yang sempat kami telan perlahan selama akhir pekan kemarin merevitalisasi kembali isi kepala. Kami pun mulai mendiskusikan hal yang konseptual: demokrasi.

Sebenarnya diskursus demokrasi sangat relevan bagi kami. Beberapa waktu lalu ia mengerjakan serangkaian tulisan tentang demokrasi di Aceh, sementara saya sedang mengerjakan riset tentang demokrasi lokal di Aceh. Di tengah-tengah rimba antara pikiran dan ketikan jemari di laptop, kami dihadapi pada kemelut Pilkada Aceh yang sempat memakan korban nyawa.

Nah, saya pun merenung, bagaimana demokrasi dengan paradoks kekerasan negeri ini?

Kematian Sondang adalah simbol kekerasan negara yang terbaru. Sondang memang tewas atas pilihannya sendiri, tetapi protesnya merupakan refleksi kekecewaan mendalam akan begitu banyak kekerasan yang dilakukan negara oleh rakyatnya yang seolah kebal hukum. Seperti kematian Marsinah dan Munir di masa lalu, ketiganya meregang nyawa dengan meninggalkan pesan pada rakyat Indonesia akan tragedi yang tak kunjung usai mendera bangsa. Paradoks kekerasan ditampilkan secara telanjang di muka kita semua sebagaimana pembakaran diri Sondang dan yang terjadi belakangan ini di Mesuji dan Bima.

Bagaimana dengan Aceh?

Belakangan ini Aceh sempat diramaikan dengan aksi-aksi kekerasan bersenjata yang memakan korban. Sebagian besar diantaranya adalah buruh dari Jawa. Serangkaian penembakan misterius itu dinyatakan terkait dengan polemik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Aceh. Spekulasi bermunculan. Imaji konspirasi berbagai versi menjadi bisik-bisik (yang cukup keras) dari kedai kopi ke kedai kopi, dari diskusi ke diskusi. Ketika saya menjadi salah satu pembicara soal kekerasan dan Pilkada serta relasi Aceh-Jawa di talkshow Radio PMI Banda Aceh, saya menekankan bahwa semua itu adalah rekonstruksi sosial politik yang (sampai saat ini) tidak berhasil memprovokasi masyarakat Aceh yang menurut saya “secara sosiohistoris tidak memiliki rekaman konflik dengan suku lain, kecuali pada masa konflik pemberontakan  ketika terjadi konstruksi kawan versus lawan dan mitos untuk penguatan ideologi”.

Dan seperti Gandhi versus Hitler dalam konteks violent ala Zizek, paradoks kekerasan sangat nyata di Aceh dalam momentum tertentu. Khususnya jika kita kaitkan dengan pengalaman masa lalu. Kerusuhan sosial tidak terjadi di Aceh, tetapi aksi-aksi kekerasan sporadis seperti penembakan tokoh politik Aceh (ataupun rumah dan kantornya), pemukulan wartawan dan mahasiswa, penembakan misterius kepada buruh Jawa, kekerasan berbasis komunitas atas nama agama, hingga intimidasi terhadap rakyat akibat kisruh lahan, menimbulkan dilema antara strategi dan kepentingan politik dengan ‘apologetik’ yang berbahaya dengan alasan “kami kan sedang transisi!”.

Jika kekerasan sistemik menjadi potensi ancaman di Aceh, bisakah gerakan violent Gandhi muncul sebagai counter terhadap banalitas  kekerasan yang terjadi di Aceh? Bisakah para aktivis dan mahasiswa di Aceh berhenti berdemo dengan teriakan, makian, dan kerusakan, tetapi mulai melawan sistem yang korup dan tidak demokratis dengan elegan?

Jika memang kekerasan adalah paradoks – selalu ada yang mengutuk dan ada yang membenarkan – maka bisakah kita semua berpaling dari hasrat violent yang destruktif seperti Hitler, dan mulai melihat gerakan protes lebih damai namun inspiratif dan meluas seperti Gandhi? Bisakah kekuasaan dan sistem tidak membuat kita haus untuk menindas, melainkan membuat kita menjaga jarak?

Pilkada Aceh, menurut keputusan terakhir, diundur dari tanggal 16 Februari ke 9 April 2012. Rakyat Aceh akan menentukan pemimpin politik mereka ke depan, namun jangan lupa juga rakyat selalu memiliki legitimasi untuk melawan.

Bukankah ukiran sejarah juga dilakukan oleh kekuatan rakyat yang mampu memainkan paradoks politik? Semoga kritisisme Zizek mampu membuka perspektif kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun