Sepertinya akhir yang klise cenderung tidak menarik lagi bagi kisah-kisah soal kebingungan dan jiwa-jiwa luka. Namun alur yang tidak konvensional bukan berarti tragedi. Kadang justru akhir kisah tidak benar-benar tamat riwayat: kita disisakan ruang bebas untuk berimajinasi dan berharap mengenai kelanjutan yang benar-benar bahagia sebagaimana kita bayangkan. Kekuatannya adalah paradoks: kesederhanaan kisah dengan alur yang tetap mampu mengoyak pikiran kita yang monoton.
Itulah serpih-serpih antara film dan realita yang saya tangkap dari tiga film yang saya tonton beberapa minggu lalu: Blue Valentine (Ryan Gosling dan Michelle Williams), Hersher (Joseph Gordon Levitt dan Natalie Portman), dan Tree of Life (Brad Pitt dan Sean Penn). Ketiga film tersebut, dengan kisah yang berbeda-beda, adalah elegi untuk kemuraman tapi juga pergerumulan untuk memahami apa itu cinta, kebaikan, dan normalitas.
Dari ketiga film tersebut, kita bisa merefleksikan juga tentang realita: kadang kita perlu mengakui bahwa hidup juga hasil ramuan dari kebingungan dan jiwa-jiwa luka kita.
Oleh waktu dan persepsi, kita ditempa untuk tumbuh dengan itu. Dramatisasi sebaliknya justru mendekonstruksi apa yang kita anggap sebagai sentimental berlebihan menjadi sajian hidup yang apa adanya.
Blue Valentine
“Baby Sometimes love just ain’t enough…” (Patty Smith, ‘Love Just Ain’t Enough’)
Blue Valentine mengisahkan dua pasang kekasih dari latar belakang yang sangat berbeda. Sebuah pertemuan kebetulan dan rentetan kejadian mempersatukan mereka dalam kegilaan cinta dan hasrat. “Let’s be a family.” Kata si tokoh pria yang dimainkan Ryan Gosling (Dean) kepada si tokoh perempuan, Michelle Williams (Cindy) yang berasal dari keluarga berantakan. Ucapan itu dibisikan ketika Williams diketahui hamil oleh mantan pacarnya yang tidak bertanggung jawab. Gosling membisikkan itu ketika mereka sedang berangkulan di sebuah subway. Ucapan itu tidak sekonyong-konyong dikeluarkan oleh Gosling. Beberapa malam sebelumnya mereka lewati dengan bermain ukulele, bernyanyi dan berdansa berdua di tepi jalan. Gosling, si pemuda sederhana yang drop out dari SMA, begitu memuja Williams. Ketika didengarnya bahwa Williams hendak masuk sekolah kedokteran, Gossling terperangah. “You don’t look like a doctor. You’re a supermodel.” Kata Gosling. Williams hanya tertawa. Setelah itu mereka bercinta.
Kesetiaan dan kebersamaan melewati suka duka mereka jalani, namun rupanya itu tidak cukup.
Alur film ini adalah rangkaian kilas balik yang dikenang oleh Gosling dan Williams ketika mereka sudah menikah selama beberapa tahun. Gossling masih jadi seorang pria yang urakan, cuek, tapi pecinta yang penuh dedikasi. Williams sudah menjadi seorang dokter yang juga pencari nafkah utama dalam keluarga. Anak yang dulu dikandung Williams kini sudah menginjak SD.
Pernikahan keduanya memasuki krisis, tapi konflik diantara Gosling dan Williams tidak ditampilkan dengan perselingkuhan maupun kekerasan dalam rumah tangga. Cinta Williams pupus disepanjang perjalanan waktu karena tuntutan hidup, kejenuhan, dan – ini istilah umum dalam perceraian – irreconcilable difference, atau ‘perbedaan yang tidak bisa direkonsiliasi’. Gosling bekerja sebagai tukang cat bayaran, tapi itu tidak cukup bagi Williams yang berprofesi sebagai dokter. Rekan kerjanya menyukai Williams tetapi ia tetap menjadi istri setia. Gosling yang jiwanya masih urakan seperti dulu tetap mencintai Williams dengan gayanya. “Let’s get out of here and make love.” Ajak Gosling dengan ringan. Williams merespon dengan ogah-ogahan.
“Why don’t you do something? You can sing, you can dance, you can do many things.” Keluh Williams. Agenda bulan madu kedua yang direncanakan Gosling untuk memperbaiki pernikahan mereka tidak berhasil. Adu argumen memuncak. Ego masing-masing bersahutan dalam perdebatan yang tak kunjung menemukan titik substansi. Gosling selalu mengelak dengan lihai dan enteng namun tidak menjawab persoalan, sementara Williams sudah mulai muak.
Dengan kekuatan sekaligus kesederhanaan dialog dan akting yang keren dari Gosling dan Williams, film ini akan menyisakan kita dengan sebuah kesan yang kering sekaligus mampu menangkap kegalauan dari mereka. Kisah ini terasa begitu dekat dengan kenyataan sehari-hari.
Hersher
“I am loser baby…so why don’t you kill me?” (Beck, ‘Loser’)
Hersher, sejujurnya menurut opini saya, adalah film yang menjengkelkan dan sedikit tidak masuk akal. Namun sepertinya film ini tak hendak mengajak penonton untuk mengutuki betapa menjengkelkannya si Hersher dan betapa malangnya si tokoh anak kecil bernama TJ (dimainkan oleh Devin Brochu) yang hidup dengan keluarganya yang kacau serta rentetan ‘anarki’ yang disuguhkan.
Singkat cerita, TJ adalah seorang anak tunggal yang hidup dengan ayah dan neneknya. Mereka masih terpukul oleh kematian ibu TJ. Ayahnya menderita persoalan psikologis sehingga butuh terapi dan obat-obatan. TJ sendiri selalu menjadi olok-olok dan sasaran bullying dari seorang anak di sekolahnya. Kehidupan TJ berubah ketika ia bertemu oleh Hersher (dimainkan oleh Joseph Gordon Levitt) dan Nicole, seorang kasir yang dimainkan oleh Natalie Portman. Seketika, kebosanan dan kemuraman dalam kehidupan TJ berubah menjadi serangkaian aksi-aksi anarki yang mengguncang, menjengkelkan, sekaligus membingungkan. Namun, di tengah belitan kegilaan yang terjadi akibat ulah Hersher, komunikasi yang janggal namun nyata telah muncul kembali dalam keluarga TJ. Ekspresi kemarahan tersalurkan ketika sebelumnya kehidupan mereka senyap seperti kuburan. Percakapan terjadi meski dengan dialog yang mengganggu. Dari situ, dinamika lahir.
Film ini hendak menunjukkan sekumpulan manusia yang jiwa-jiwanya luka dan bingung. Hersher muncul di film ini sebagai sosok berandalan yang vulgar, kasar, penuh dengan kata-kata makian dan cabul, serta pembawa sial. Bagi sebagian pengamat, Hersher adalah tokoh anti-hero yang memporak-porandakan segala namun pada ujungnya membantu keluarga TJ dengan cara yang tidak konvensional.
Hampir sepanjang film ini kesialan yang dibawa Hersher ke kehidupan TJ akan membuat kita mengurut dada. Hersher adalah kisah tentang keluarga semrawut, orang-orang serampangan, dan kenaifan. Film ini tidak berbicara soal klise hitam putih, sesuatu yang heroik, apalagi melankolik, namun film ini juga menunjukkan kebaikan dan kepolosan yang diwakili oleh tokoh TJ – dibalik semua persoalan dan kesialan yang dihadapinya, TJ selalu menyimpan rasa balas budi, pengharapan, dan kenaifan seorang anak. Di tengah keserampangan orang-orang yang mengitarinya, karakter TJ memberi nilai pada film ini.
Tree of Life
“Images of broken light which dance before me like a million eyes…” (The Beatles, ‘Across the Universe’)
Film ini mengisahkan tentang kilas balik si tokoh utama yang dimainkan Sean Penn tentang kenangan masa kanak-kanaknya. Kisah pergerumulan Sean Penn masa kecil dengan kedua saudara laki-lakinya beserta kedua orangtuanya ditampilkan dengan sangat apik dan detil. Dialog dan kisah-kisahnya sangat kaya dan mengikat. Para penonton dipaksa dengan penuh pesona untuk gagal menebak alur cerita. Film ini akhirnya membuat kita menyerah dengan sajian kisah dari sebuah mozaik psikologis seorang pria paruh baya yang dimainkan Sean Penn.
Tree of Life berkisah tentang masa kecil Sean Penn yang sangat dipengaruhi oleh kedua orang tua yang berbeda karakter. Ibunya (dimainkan oleh Jessica Chastain) adalah seorang perempuan anggun, berdedikasi, sekaligus juga memiliki filosofi ‘mother earth’ dalam mendidik anak-anaknya. Ayahnya (dimainkan oleh Brad Pitt) adalah seorang yang cerdas tapi berkarakter sangat keras dan disiplin. Ibunya mengajari Sean Penn melihat dunia dengan ketakjuban dan senyuman, sementara Ayahnya mengajari melihat dunia dengan kewaspadaan dan kerutan dahi. Sean Penn pun tumbuh remaja dengan gejolak diri: ia patuh kepada orangtuanya dengan canggung tapi juga memiliki hasrat untuk bereksperimen dengan kenakalan. Pada momen-momen kilas balik yang tak beraturan itu, Sean Penn paruh baya mengalami nostalgia yang membingungkan sekaligus melankolik.
Meski begitu, editing dan alur film yang tidak konvensional – penuh dengan fragmen-fragmen kosmik dan kehidupan mikrokosmos masa lalu Sean Penn – membuat saya mempertanyakan seberapa besar substansi dari film ini berhasil ditampilkan. Ataukah film ini adalah sebuah dekonstruksi untuk sebuah alur kisah yang runut dan memang menampilkan ketiadaan substansi? Apa maksud tarikan panjang dari potongan-potongan film tentang asal mula alam semesta dan pembentukan kehidupan di bumi dengan masa kecil si tokoh yang tumbuh di sekitar tahun 1960-an? Apakah kisahnya adalah jejaring kehidupan si tokoh tanpa inti, melainkan serpih-serpih memori yang berkecamuk liar dari seorang dengan kegelisahan?
Dengan fragmen-fragmen kosmik, kilas balik masa kecil yang menggurat-gurat, serta alur cerita yang nonlinear, film ini menyajikan tata visual yang memikat dan menyedot benak para penikmat film yang tekun. Berkat pendekatan yang tidak konvensional dalam perfilman, ‘Tree of Life’ mendapat banyak penghargaan meski menyisakan kita dengan pertanyaan-pertanyaan perihal film tersebut yang pada akhirnya tidak butuh jawaban.
Cinta, Luka, dan Memori
Drama kehidupan kadang difilmkan dengan manis, dan tentu saja kita menyukai itu. Tapi sentimentalisme sebuah drama tidak hanya tentang kisah cinta yang berisi orang-orang cantik dan rupawan lalu berakhir manis. Drama juga bisa menjadi sentimental melalui orang-orang yang sama sekali tidak sempurna: egois, depresi, jenuh, dan memendam kemarahan. Faktor-faktor psikologis yang muncul dalam karakter film juga dijelaskan melalui pertalian mereka dengan latar belakang keluarga atau masa lalu. Disinilah kekuatan film drama muncul. Tokoh-tokoh yang ditampilkan adalah mereka yang dikonfrontasikan oleh cinta, luka, dan memori. Mereka yang hadir tidak untuk menasehati, tetapi untuk mengekspresikan kebingungan dan jiwa yang mencari arah.
Blue Valentine, Hersher, dan Tree of Life meramu pengalaman tentang cinta, luka, dan memori namun dengan magnitudo yang berbeda. Di akhir film tidak ada penyatuan yang mengharu biru dari tokoh-tokoh protagonis. Ketiga film ini menggambarkan kisah dimana para tokoh utamanya harus melewati konflik batin dan lorong jiwa yang tidak hitam putih dalam memaknai hidup mereka. Kekuatan dari ketiga film ini adalah kemampuannya untuk mengangkat persoalan-persoalan yang mendasar dan universal dalam kehidupan modern manusia tanpa membuatnya klise. Sebaliknya, dengan pendekatan yang berbeda, persoalan sederhana yang menjadi tema film terasa dekat dengan kehidupan orang pada umumnya. Karena pergerumulan kebingungan inilah ramuan perjalanan hidup para tokoh menjadi beragam. Bahkan bisa dikatakan alur cerita ketiga film itu benar-benar tidak serupa satu sama lain.
Blue Valentine lebih menonjolkan aspek cinta, Hersher lebih kepada luka jiwa, dan Tree of Life menonjolkan kekuatan memori. Di atas semua itu, ketiga film itu berbicara secara frontal sekaligus estetis kepada kita. Bahwa masing-masing kita memiliki drama sendiri, namun dibalik semua kemarahan dan kebingungan, kita masih disisakan ruang untuk ‘percaya’ – percaya ada sesuatu yang lebih besar dari kita, ada sesuatu yang lebih mendasar, dan ada tugas besar yang selalu menghantui hidup ini: penaklukan pada lorong-lorong gelap jiwa kita masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H