Mohon tunggu...
Rizki ananda subari
Rizki ananda subari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa politeknik STIA LAN Jakarta

Saya adalah seorang mahasiswa politeknik STIA LAN Jakarta program studi administrasi pembangunan negara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kelas Menengah RI: Bantuan tak Dapat, Negara tak Melihat?

6 Oktober 2024   13:31 Diperbarui: 6 Oktober 2024   13:37 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masyarakat kelas menengah adalah golongan orang yang berpendapat berkisar Rp 2.040.262 sampai Rp 9.909.804 perkapita perbulan. Jika dilihat dari kisaran pendapatannya kelas menengah masih tergolong mampu untuk membeli kebutuhan sehari-hari, membeli kendaraan bermotor, serta sedikit menyimpan uangnya untuk menabung . Menurut badan pusat statistik (BPS) jumlah kelas menengah di Indonesia pada 20224 berjumlah 47,85 juta orang. Sementara jumlah menuju kelas meningkat dari dari 128,85 juta (48,20 persen) menjadi 137,50 juta (49,22 persen) pada tahun 2024.

Kelas menengah adalah basis bagi pemerintah untuk menopang pertumbuhan ekonomi, kelas inilah yang biasanya suka konsumtif dalam membeli barang yang mereka butuhkan, namun akhir-akhir ini masyarakat menengah dan menuju kelas menengah sedang di "cekik" oleh kebijakan pemerintah yang baru-baru ini telah dibuat yaitu, tepera (tabungan perumahan rakyat), tabungan pensiun wajib, dan pembatasan subsidi KRL dengan NIK. Tak ayal hal ini membuat menambah pengeluaran bagi masyarakat kelas menengah.

Terlebih lagi dalam 5 bulan terakhir menurut badan pusat statistik (BPS)saat ini sedang mengalami deflasi yang artinya terjadi penurunan daya beli masyarakat. Pada Selasa (1/10/2024) pada September 2024 deflasi sebesar 0,12% secara bulanan mount ro mount ro (mtm) angka deflasi itu semakin besar dibandingkan kondisi Agustus 2024 sebesar 0.03% kondisi ini telah berlangsung sejak bulan Mei 2024 yang sebesar 0.03% lalu berlanjut pada Juni 2014 sebesar 0.08% dan juli 2024 sebesar 0.18%

Hal ini membuktikan bahwa telah terjadinya penurunan daya beli masyarakat yang menurun selama 5 bulan terakhir. Alih-alih mendapatkan bantuan dari negara namun apadaya tak memenuhi kriteria. Negara yang seharusnya memelihara kaik menengah seakan diam tak bersuara melihat kejadian yang terjadi saat ini. Tidak seperti masyarakat miskin yang mendapatkan subsidi besar-besaran dari pemerintah baik itu berupa bantuan sosial, bantuan kartu prakerja, bantuan pendidikan dan bantuan lainnya, sementara itu masyarakat menengah hanya bisa gigit jari bertahan dari gaji untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tidak berhenti sampai disitu saja melansir dari infobank new.com menteri koordinator bidang perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan kenaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% tetap akan direalisasikan pada 1 Januari, dari melihat trend saatini yang sudah menunjukkan deflasi selama 5 bulan berturut-turut, seharusnya pemerintah lebih menimbang lagi akan kebijakan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) tahun depan. Bukan tidak mungkin masyarakat menengah saat ini akan terjun bebas menjadi masyarakat rentan miskin jika pemerintah tidak meninjau hal ini. Karena kenaikkan PPN akan berpengaruh terhadap semua sektor, contohnya saja jika kita hendak membayar makanan atau minuman pasti kita akan menemukan tulisan PPN dibawah struk belanja, misal harga total belanja Rp 50.000 jika ditambah dengan PPN 12 % maka totalnya menjadi Rp 56.000, Begitu pun jika hendak membeli rumah pasti ada PPN nya.

Hendaknya pemerintah lebih memperhatikan keputusan yang akan diambil demi terjaganya neraca perdagangan Indonesia, sebab Indonesia kebanyakan penduduknya berada dikelas ekonomi menengah dan menuju menengah, jika pemerintah tetap memaksakan keinginan ingin menaikkan harga-harga kebutuhan pokok (misal: BBM subsidi dibatasi, subsidi gas melon dibatasi, harga kebutuhan pokok melambung tinggi, pajak naik ugal-ugalan) bukan tidak mungkin Indonesia akan berada pada kurang resesi yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun