Bagi orang-orang yang sering bermain Twitter, pasti sudah tidak asing lagi dengan akun @tiktokjelek. Akun newbie yang baru memasuki umur sekitar enam bulan itu kini sudah memiliki pengikut sebanyak 278,1 ribu. Akun yang memiliki bio "yang jelek bukan mukanya" tersebut juga dijadikan sebagai akun komedi bagi para pengikutnya. Konten-konten yang diunggah juga seputar video TikTok yang menurut mereka itu "cringe". Jika dibandingkan dengan jenis-jenis video TikTok yang lain, saya rasa sama saja. Mungkin perbedaannya ada pada konsep videonya saja. Atau mungkin gaya berjogetnya. Yang pasti, video yang diunggah dalam akun tersebut haruslah memenuhi standar humor para pengikutnya.
Namun sebenarnya terdapat suatu tradisi budaya yang hegemonik.  Akun @tiktokjelek dan para pengikutnya juga menggunakan media sosial Twitter untuk melanggengkan tradisi ini. Lalu fenomena apakah yang sebenarnya terjadi? Mungkin bagi sebagian orang---khususnya para pengikut akun @tiktokjelek---konten yang ada di dalam akun tersebut hanyalah sebatas hiburan. Mungkin juga konsep video TikTok yang diunggah dalam akun tersebut, menurut para pengikutnya, memiliki kekhasan tersendiri, yakni konsep yang begitu absurd, aneh, dan cringe. Kekhasan inilah yang menjadi acuan utama bagi akun tersebut dalam mencari, atau bahkan mencuri, konten dari orang lain yang dianggap demikian. Namun, jenis hiburan semacam ini merepresentasikan "kekerasan simbolik". Hal ini mencerminkan bahwa terdapat kekerasan non-fisik yang terwujud dalam perbedaan kekuasaan antar kelompok sosial.
Alih-alih melihatnya sebagai hiburan, saya justru melihat adanya suatu ketimpangan yang ada. Dengan kata lain, konsep video yang dimunculkan dalam akun @tiktokjelek dibandingkan dengan jenis video TikTok pada umumnya memiliki perbedaan yang bersifat oposisi biner. Dalam tradisi strukturalisme, oposisi biner adalah perbedaan yang bersifat hirarkis. Hirarkis di sini berarti ada yang menempati posisi yang lebih tinggi atau lebih baik. Di sinilah muncul ketegangan struktur antara yang "bagus" dan "jelek". Namun, akun @tiktokjelek memegang posisi sebagai kelas yang lebih tinggi terhadap wacana kejelekan yang dibawanya tersebut. Mungkin memang terkesan satir, namun pesan yang diwacanakan olehnya ini membawa muatan kekerasan simbolik. Melalui Twitter, wacana yang dibawanya ini dikonstruksikan dan diwajarkan oleh para pengikutnya sebagai bahan olok-olok.
Dikatakan sebagai "kekerasan simbolik" karena di dalamnya terdapat unsur pemaksaan preferensi nilai-nilai budaya, selera, dan keyakinan terhadap tipe-tipe ideal dari nilai-nilai dominan. Mari asumsikan bahwa dalam konteks ini terdapat dua jenis kelompok yang berbeda, antara yang mendominasi dan terdominasi. Dalam hal ini, pihak yang mendominasi adalah akun @tiktokjelek sebagai akun media sosial yang mengkonstruksikan nilai-nilai budayanya yang dominan. Diikuti pula oleh para pengikutnya yang berjumlah ribuan tersebut. Kali ini, pihak yang terdominasi adalah orang-orang yang terjerembab ke dalam video TikTok yang dikategorikan cringe, aneh, absurd atau jelek tersebut.
Jika dilihat sekilas, olok-olok yang terjadi hanyalah sebatas persoalan selera saja. Namun, selera di sini juga merepresentasikan kekuasaan nilai-nilai kultural dari salah satu kelompok. Mari kita merefleksikannya sejenak. Dalam kehidupan sosial, terbentuk suatu struktur kelas yang berbeda-beda. Struktur kelas ini selalu menghasilkan beragam pola berpikir maupun selera sosial tiap individu. Selain itu, struktur kelas juga berdampak besar dalam menempa pengalaman, psikologi, dan pola perilaku individu (Kevin Nobel, 2020: 144).
Setiap individu menginternalisasi nilai-nilai kehidupan dalam lingkungan sosialnya masing-masing. Dalam konteks kehidupan kontemporer sekarang ini, kebudayaan yang ada semakin cair atau dinamis; komunikasi semakin luas berkat perkembangan teknologi dan media massa. Sebagian besar orang memiliki akses yang sama dalam mewujudkan eksistensinya di dunia maya. Namun, pengalaman kehidupan yang mereka jalani ini berbeda. Setiap individu dibentuk oleh latar belakang dan lingkungan sosial yang berbeda-beda.
Menurut Pierre Bourdieu, lingkungan sosial atau yang biasa disebut olehnya sebagai "habitus", merupakan sistem-sistem disposisi (skema-skema persepsi, pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama) yang merupakan gaya hidup (lifestyle), nilai-nilai (values), watak (dispositions), dan harapan (espectation) kelompok sosial tertentu (Nanang Martono, 2012: 36). Jika merujuk langsung pada Bourdieu (1992), ditemukan sejumlah kata kunci terkait dengan lingkungan sosial ini, seperti "disposisi" dan "sistem yang tahan lama". Dengan kata lain, lingkungan sosial dan struktur kelas terbentuk melalui sebuah proses historis yang berlangsung lama dan dapat diwariskan secara tidak sadar sehingga membentuk latar belakang individu yang berbeda-beda. Aspek-aspek biasa, seperti perabotan, pakaian, selera musik, ataupun selera makan pun dibentuk oleh lingkungan sosial atau "habitus" ini.
Dalam konteks kekinian, habitus direpresentasikan melalui media sosial. Di berbagai video pada akun @tiktokjelek, semua video yang diunggah sama-sama memiliki pola konsep beserta simbol-simbol yang dianggap lebih rendah dan tidak sesuai dengan selera umum. Media sosial Twitter di sini menjadi lahan yang subur bagi tumbuh kembangnya kekerasan yang tidak tampak; sebuah kekerasan dengan bahasa caption yang sengaja didistorsi dan diselewengkan demi humor kelas dominan. Bourdieu melihat bahwa sistem simbolik melalui bahasa digunakan sebagai instrumen dominasi (Bourdieu, 1991).
Dalam beberapa video, muncul konsep yang menampilkan beberapa orang dengan pakaian yang serupa. Namun, hal ini menjadi bahan olok-olok oleh para netizen yang ikut berkomentar di dalamnya---meskipun olok-olok tersebut dilontarkan secara tidak langsung. Hal ini mengindikasikan adanya oposisi biner mengenai "selera". Agar ada selera, maka harus ada barang-barang atau hal-hal yang dikelas-kelaskan (Bourdieu, 1984/2020: 270). Dalam pengertian yang sederhana, konsep video seperti yang diunggah dalam akun @tiktokjelek beserta pakaian dari beberapa orang yang serupa dalam video tersebut dianggap "berselera rendahan". Kelompok dominan---akun @tiktokjelek beserta pengikutnya---mencoba memosisikan diri sebagai kelompok yang lebih tinggi. Dalam konsekuensinya, kelompok dominan ini berhasil mencetak "kelompok yang inferior" dalam setiap video-video yang diunggah.
Media memang bekerja sebagai konstruksi realitas. Selain itu, media juga mengkonstruksikan citra-citra yang ditampilkan di dalamnya. Demikian pula dengan konstruksi nilai-nilai budaya dan pemaksaan preferensi sosial kelas dominan. Media memang memberikan ruang bagi kebebasan berekspresi setiap orang. Namun kebebasan ini seringkali menjadi rujukan bagi kelompok dominan dalam menyalahi kebebasan dari kelompok yang terdominasi. Dengan beberapa alasan, saya tidak melihat adanya unsur humor dalam akun @tiktokjelek. Sebagaimana namanya, akun @tiktokjelek mengunggah beragam video TikTok yang tidak sesuai dengan selera kelompok dominan dan mereka menjadikannya sebagai bahan tertawaan, hinaan, dan olok-olok. Bukannya humor, namun yang ada justru kekerasan simbolik yang telah dinormalisasi dan dianggap sebagai "sesuatu yang wajar".
Referensi:
- Bourdieu, Pierre. 1991. Language and Symbolic Power. USA: Harvard University
- Bourdieu, Pierre. 1992. The Logic of Practice. California: Stanford University Press
- Bourdieu, Pierre. 2020. Pertanyaan-pertanyaan Sosiologi, terj. oleh Stephanus Aswar Herwinarko. Yogyakarta: IRCiSoD
- Kurniawan, Kevin Nobel. 2020. Kisah Sosiologi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
- Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: PT Raja Gearfindo Persada