Dalam dunia sosial, tindakan manusia digerakkan oleh makna tertentu. Tindakan sosial tidak hadir dengan sendirinya, atau muncul secara tiba-tiba; dan tentunya tindakan sosial ini berbeda dengan tindakan reaktif belaka. Pun juga bukan rutinitas sehari-hari, seperti makan, mandi, gosok gigi, dan lain-lain. Namun, tindakan sosial yang dimaksud di sini muncul karena ada sebab-sebab yang melatarbelakanginya. Sebab-sebab inilah yang disebut sebagai makna. Dikatakan demikian karena dalam setiap tindakan sosial, manusia melekatkan makna subjektif dalam membentuk tindakannya. Tema "makna" ini menjadi fondasi bagi kita untuk memahami seluk beluk pemikiran dari seorang tokoh yang sangat berpengaruh di dunia, khususnya ilmu sosial. Beliau adalah Max Weber.
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, pada 21 April 1864 dan meninggal di Munchen, Jerman, pada 14 Juni 1920. Beliau lahir dari keluarga kelas menengah dengan kontradiksi yang cukup kuat di antara ayah dan ibunya. Ayahnya adalah seorang birokrat dengan orientasi keduniawian, sedangkan ibunya adalah seorang Protestan-Calvinis yang taat. Nantinya hal ini akan berpengaruh pada karya-karya Weber yang membuatnya menjadi seorang tokoh yang berpengaruh bagi ilmu-ilmu sosial.
Tindakan sosial (social action) menurut Weber selalu berkaitan dengan makna sosial. Dinyatakan dengan cara yang agak berbeda (Ritzer & Stepnisky, 2019: 142), tindakan dikatakan terjadi bila para individu melekatkan makna-makna subjektif pada tindakan mereka. Misalnya, dalam penggunaan jilbab, seseorang memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Ada seseorang yang menggunakan jilbab karena memang sudah menjadi suatu tradisi di keluarganya. Ada yang menggunakan jilbab karena alasan yang rasional, seperti jenis pekerjaan yang mengharuskan penggunaan jilbab atau mode fashion yang tengah berkembang di daerahnya. Ada pula yang memakai jilbab dengan alasan religius, yakni sebagai bentuk ibadah dan ketaatan terhadap agamanya. Ada pula yang menggunakan jilbab karena sebuah alasan afeksi, seperti menyenangkan orang tua atau sebagai bentuk ketaatan anak terhadap perintah orang tuanya.
Weber membagi beberapa tipe tindakan (Ritzer & Stepnisky, 2019: 143), yakni rasionalitas alat-tujuan, atau sebuah tindakan yang "ditentukan oleh ekspektasi-ekspektasi mengenai perilaku objek-objek di dalam lingkungan dan perilaku manusia lainnya; ekspektasi-ekspektasi digunakan sebagai 'kondisi-kondisi' atau 'alat-alat' untuk tercapainya tujuan-tujuan yang dikejar sendiri dan diperhitungkan secara rasional oleh aktor" (Weber, [1921] 1978:24). Lebih lanjut dijelaskan, tipe kedua adalah rasionalitas nilai, atau tindakan yang "ditentukan oleh kepercayaan sadar akan nilai tersebut demi perilaku yang etis, estetis, religius, atau bentuk lainnya, terlepas dari prospek-prospek keberhasilannya". Kemudian ada tindakan sosial afektual yang ditentukan oleh keadaan emosional. Terakhir, tindakan tradisional ditentukan oleh cara-cara berperilaku aktor yang biasa dan lazim dilakukan.
Bagi Weber, setiap masyarakat mempunyai sebuah tipe ideal (tipologi), "ciri khas", atau "karakter sosial" yang dapat membantu kita untuk memahami bagaimana norma masyarakat membentuk tindakan sosial individu (Kevin Nobel, 2020: 56). Hal ini juga berarti bahwa tindakan sosial manusia yang digerakkan oleh makna; sedangkan makna itu sendiri dibentuk oleh otoritas yang ada. Hal ini dipertegas dalam Teori Sosiologi (Ritzer & Stepnisky, 2019: 145), yang menyebutkan bahwa "Weber tidak kehilangan pandangan terhadap tindakan; aktor hanya bergeser sebagai fokus perhatian menjadi suatu variabel dependen yang ditentukan oleh berbagai kekuatan berskala besar". Kekuatan berskala besar ini adalah struktur otoritas yang mengatur tindakan sosial individu. Namun, tentunya setiap otoritas mengambil bentuk yang berbeda-beda.
Dalam kerangka teoritis, diskusi otoritas dalam dimensi sosiologis selalu merujuk pada Max Weber. Otoritas dapat dipahami sebagai kekuasaan untuk mempengaruhi dan mengontrol orang lain. "Otoritas tidak dimiliki oleh sembarang orang, melainkan dimiliki oleh sebagian orang yang pantas" (A. Mushonnif, 2013:163). Apa yang menarik perhatian Weber, dan apa yang memainkan peran sentral di dalam sosiologinya, adalah tiga basis yang melandasi pengesahan otoritas bagi para pengikutnya---rasional, tradisional, dan karismatik (Ritzer & Stepnisky, 2019: 146). Saya akan mendeskripsikan beberapa contoh dari masing-masing tipe otoritas tersebut.
Pertama, otoritas tradisional. Otoritas jenis ini didasarkan pada kepercayaan bahwa ada suatu kebajikan dari kekuasaan yang berlaku secara turun-temurun. Hal ini menyiratkan bahwa otoritas tradisional didasarkan pada klaim kebenaran tradisi. Biasanya, otoritas tradisional melekat pada kekuasaan yang diwariskan secara turun-temurun, seperti dalam konteks kerajaan. Seperti yang kita ketahui, anak raja berhak mendapatkan kursi kekuasaan setelah raja mewariskannya. Kepatuhan dari massa muncul karena pemimpin membawa muatan tradisi---dia dipilih untuk menduduki posisi itu dengan cara yang tradisional (Ritzer & Stepnisky, 2019:149). Hal ini terus berlaku selama kerajaan dapat melindungi dan mengatur kehidupan masyarakatnya. Tindakan sosial masyarakat juga didasarkan pada nilai-nilai tradisional---bahwa tindakan yang bermoral adalah kepatuhan terhadap aturan-aturan yang ditetapkan oleh kerajaan. Pada umumnya, otoritas tradisional cenderung mempertahankan status quo dan tidak cocok bagi perubahan sosial (Peter M. Blau, 2003:233).
Kedua, otoritas karismatik. Otoritas jenis ini banyak memuat nilai afeksi, yakni sebuah perasaan---tentunya masyarakat---kepada sosok yang karismatik. Mungkin banyak dari kita yang mengira bahwa sosok karismatik adalah sosok yang memiliki sifat-sifat yang menonjol. Dalam Teori Sosiologi (Ritzer & Stepnisky, 2019: 150), pengertian Weber atas sosok yang berkarisma bukan pada sifat-sifat yang menonjol, "namun lebih tergantung pada kelompok pengikut dan cara mereka mendefiniskannya" (D.N. Smith, 1998). Contoh yang sangat representatif dari otoritas karismatik adalah sosok Bung Karno. Kita pasti tahu bahwa Bung Karno adalah sosok yang karismatik. Beliau seakan menjadi ikon bagi kemerdekaan Indonesia. Sebagai seorang proklamator dan Bapak Bangsa Indonesia, beliau ditahbiskan menjadi seorang pemimpin yang digadang-gadang memiliki kekuasaan atau kualitas-kualitas yang luar biasa, melebihi orang-orang lain. Oleh sebab itulah Bung Karno mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat luas. Namun, Weber berpendapat bahwa figur karismatik juga akan mengalami resiko ketika pemimpin tersebut menjadi tua dan tidak ada yang melanjutkan tongkat kepemimpinannya (Kevin Nobel, 2020: 58).
Ketiga, otoritas legal-rasional. Otoritas jenis ini muncul setelah diberlakukannya hukum-hukum positif. Berbeda dengan dua jenis otoritas sebelumnya, otoritas legal-rasional diperoleh pemimpin setelah adanya pemilihan umum atau konsensus dari masyarakat. Weber mendefinisikan model legitimasi pada otoritas ini sebagai "model yang didasarkan pada keyakinan atas legalitas pola-pola aturan normatif dan hak orang-orang yang menduduki otoritas di mana di bawah aturan tersebut ia mengeluarkan perintah" (Rusli, 2005). Adanya sistem hukum menentukan layak atau tidaknya seorang pemimpin. Gejala yang muncul pada otoritas ini adalah terwujudnya suatu struktur yang mengatur kehidupan masyarakat, yaitu birokrasi. Dalam Teori Sosiologi (Ritzer & Stepnisky, 2019:146), disebutkan bahwa "dari sudut pandang teknis, birokrasi adalah alat yang paling rasional bagi pelaksanaan otoritas" (Weber, [1921] 1978: 223). Nilai-nilai rasionalitas yang terbentuk pada otoritas jenis ini juga yang menandai kemajuan modernisme dan kapitalisme di Eropa Barat sebab sistem ini memberlakukan perhitungan instrumental-rasional dalam hal efektivitas dan progresivitas (Kevin Nobel, 2020: 59).
Dari sedikit uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa Weber cenderung menekankan makna subjektif pada tindakan sosial individu. Sebagaimana yang sudah dijelaskan, makna ini dibentuk oleh struktur otoritas atau latar belakang yang mengatur tindakan seseorang. Sampai saat ini, ide-ide Weber banyak diajarkan atau bahkan menjadi fondasi bagi riset-riset ilmu sosial karena teorinya mengenai tindakan sosial dan otoritas ini masih sangat relevan. Bahkan, jauh sebelum kehidupan birokratisasi menggejala di era modern seperti sekarang, Weber sudah memprediksikannya. Dalam Teori Sosiologi (Ritzer & Stepnisky, 2019: 147), Weber menyimpulkan bahwa "masa depan adalah milik birokratisasi" ([1921]1978: 1401), dan waktu telah membuktikan prediksinya. Sementara itu, pandangan Weber mengenai otoritas karismatik juga masih ada di Indonesia. Figur ulama atau kyai telah menjadi sosok karismatik yang sangat dihormati orang-orang, khususnya santri-santrinya. Begitu pula dengan otoritas tradisional yang didasarkan pada kesucian tradisi; yang umumnya ada pada era feodalisme.
Referensi:
- Ritzer, George dan Jeffrey Stepnisky. 2019. Teori Sosiologi, edisi kesepuluh. Penerjemah: Rianayati Kusmini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
- Kurniawan, Kevin Nobel. 2020. Kisah Sosiologi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
- Blau, Peter M, "Komentar Kritis atas Teori Weber tentang Otoritas" dalam Dennis Wrong (ed), Max Weber: Sebuah Khazanah, Yogyakarta: IKON, 2003
- A Mushonnif, "Fragmentasi Otoritas Antara Organisasi Pemerintah dan Organisasi Keagamaan Dalam Penentuan Awal Bulan Islam," Jurnal Al-Hukama: The Indonesian Journal of Islamic Family Law 3, no. 2 (2013): 163
- Rusli, "Max Weber: Etika Keagamaan, Kharisma dan Kepemimpinan Kharismatik"Â Jurnal Religi, Vol. IV, no. 1, (2005): 75-96
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H