Mohon tunggu...
Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Suka makan ikan tongkol

Hari ini adalah besok pada hari kemarin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Relevansi

25 Oktober 2020   14:16 Diperbarui: 5 Agustus 2022   19:49 1941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehidupan sosial selalu diwarnai oleh beragam kejadian yang kompleks. Beragam hal ini telah menjadi fokus para sosiolog dalam mengkaji fenomena sosial. Hal yang paling mendasar dari fenomena sosial berawal dari interaksi sosial antar individu dalam masyarakat. Bahkan sudah terdapat para pemikir penting dalam tradisi interaksionis simbolik, tak terkecuali Erving Goffman.

Erving Goffman adalah seorang sosiolog asal Kanada. Beliau lahir pada 11 Juni 1922 di Kanada dan meninggal di Amerika Serikat pada 19 November 1982. Beliau dikenal sebagai tokoh dalam aliran Chicago dan sebagai interaksionis simbolik, meski Erving Goffman sendiri menolak disebut seperti itu. 

Randall Collins, seorang sosiolog asal Amerika Serikat yang terpengaruh oleh teori-teori Erving Goffman, menyebutkan bahwa pengkajian-pengkajian di dalam karya Goffman justru dipengaruhi oleh antropolog sosial. 

Namun Goffman juga terpengaruh oleh studi deskriptif yang dihasilkan Chicago dan memadukannya dengan studi antropologi sosial untuk menghasilkan perspektifnya yang khas (George Ritzer & Jeffrey Stepnisky, 2019).

Awalnya saya mengenal tokoh ini melalui buku Kisah Sosiologi karya Kevin Nobel Kurniawan. Kemudian saya tertarik dengan teori Erving Goffman yang lebih melekat dalam sosiologi sehari-hari dan melanjutkan pembacaan di buku Teori Sosiologi karya George Ritzer dan Jeffrey Stepnisky. 

Baca juga: Pemikiran Dramaturgi Goffman

Berdasarkan buku tersebut, dramaturgi diartikan sebagai pandangan kehidupan sosial sebagai rangkaian penampilan dramatis yang mirip dengan penampilan yang dipentaskan di panggung.

Sebagaimana manusia hidup sebagai makhluk sosial, kita selalu merepresentasikan diri di hadapan orang lain agar dapat menaruh kesan yang bermakna bagi orang lain, sesuai dengan apa yang kita harapkan. 

Namun beragam representasi diri untuk menaruh citra ini terkesan artifisial dan manipulatif, seperti dalam konsep dramaturgi ala Erving Goffman. Seorang pemikir interaksionis simbolik berpikir bahwa orang cenderung menciptakan suatu citra diri. 

Sedangkan dalam konsep dramaturgi Goffman, orang bukan hanya menciptakan suatu citra diri dengan sendirinya, namun disebabkan karena pemaksaan identitas oleh masyarakat.

Setiap orang mempunyai hidup yang berbeda, antara yang terlihat di luar dan tersembunyi di dalam (Kevin Nobel Kurniawan, 2020). Dalam istilah Erving Goffman, yakni frontstage dan backstage, bagian lainnya adalah setting-front. 

Kita pasti bisa merasakan representasi diri yang berbeda-beda ketika kita dihadapkan pada berbagai konteks, seperti menemui dosen saat berada di kampus, bertemu teman akrab di tempat kopi, bertemu orang tua di rumah, dan lain-lain. 

Hal ini juga terjadi ketika kita sedang berada dalam lingkaran masyarakat. Tentunya beragam representasi diri dalam suatu konteks tertentu ini bertujuan untuk memperoleh kesan yang baik dari orang lain.

Orang akan berusaha menampilkan identitas yang konsisten di hadapan orang lain. Hal ini tercermin jika kita melihat dengan jeli apa yang ditampilkan oleh selebriti di televisi. Ambil saja contohnya artis Drama Korea atau K-Pop. 

Para artis ini berusaha menyenangkan para penggemarnya dengan berusaha memenuhi ekspektasi penggemarnya. Saya pernah melihat video di Instagram yang menunjukkan Ji Chang Wook---seorang artis Drama Korea yang pernah bermain peran dalam serial K2---sedang merokok sambil tersenyum di kamera yang divideokan oleh orang lain. 

Lalu apa tanggapan para penggemarnya di kolom komentar? Mereka justru menyayangkan kalau artis setampan dan sekeren Ji Chang Wook ini merokok. Dari fenomena ini kita bisa melihat bahwa di backstage, Ji Chang Wook tetaplah manusia biasa yang juga bisa menyukai kenikmatan rokok, apalagi cuaca di Korea Selatan sangatlah dingin. 

Dengan hal ini, para penggemar Ji Chang Wook kecewa melihat kenyataan yang sesungguhnya dan Ji Chang Wook sendiri gagal memenuhi tuntutan ekspektasi para penggemarnya yang berharap bahwa artis tampan dan keren itu tidak merokok.

Baca juga: Mengenal Konsep Stage dari Teori Dramaturgi Melalui Drama Korea "True Beauty"

Kalau di kalangan artis maupun selebriti itu sudah jelas bahwa hidupnya dipenuhi dengan beragam kepalsuan. Saya akan mengambil contoh lain. Saya pernah nongkrong dengan beberapa teman di sebuah kafe bar terkenal dan elit, bahkan saya saja keberatan dengan harga-harga yang tertera untuk sebuah kopi. 

Kemudian saya mencari minuman dengan harga yang tidak sampai Rp. 20.000,-. Berbeda dengan teman saya. Dia membeli sebuah kopi dengan harga yang mahal. Dia juga berpakaian bukan dengan ala kadarnya seperti orang yang nongkrong di warung kopi sederhana. 

Dia memakai atribut yang menunjukkan posisi status sosialnya, seperti pakaian bermerek, sepatu Vans, tas selempang dengan brand terkenal, serta topi Converse. 

Saya bukan sedang menghakimi mereka karena model berpakaian merupakan kebebasan seseorang. Namun saya akan menganalisis konsep dramaturgi ala Erving Goffman melalui fenomena kecil ini.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, pengertian frontstage adalah sebuah ruang atau panggung drama seseorang untuk menampilkan citra dirinya melalui representasi yang ditunjukkan oleh orang itu kepada orang lain dengan beragam atribut---simbol yang dikenakan sebagai tanda posisi status sosial. 

Ketika di angkringan atau warung kopi sederhana, teman saya kebanyakan memakai atribut yang sederhana, seperti sandal jepit, celana training, bahkan juga terkadang belum mandi sama sekali. Hal ini sangat berbeda ketika berkunjung di kafe bar terkenal yang banyak dikunjungi oleh anak muda yang lain. 

Teman saya memakai atribut yang bisa menunjukkan posisi status sosialnya atau demi memperoleh citra yang baik dari orang lain yang melihatnya. Bisa dikatakan, teman saya ini berusaha menampilkan citra atau imej dirinya agar dapat menaruh kesan pada orang lain. Jadi dalam sebuah kelompok masyarakat memiliki idealisasi bahwa simbol status akan menunjukkan status sosialnya (Metta Rahma Melati, 2016).

Saya juga pernah mendapatkan cerita dari teman saya yang pernah mendapatkan godaan dari seorang wanita yang sudah bersuami. Hal ini sangat menunjukkan dramaturgi. 

Teman saya bercerita bahwa wanita itu merasa kecewa dengan suaminya karena sifat-sifatnya. Jika kita berpikir secara abstraksi, wanita ini menikah dengan suaminya dengan ala kadarnya. Maksudnya, pasangan ini menikah hanya berdasarkan rasa suka terhadap apa yang ditampilkan dalam frontstage. 

Tentu hal ini akan menimbulkan adanya suatu jarak sosial, yang menurut Kevin Nobel Kurniawan (2019) yakni jarak antara individu sebagai subjek dan audience, individu sebagai subjek perlu mengemas dan merekayasakan sebuah performa sebagai sebuah objek persona dalam beraudisi untuk memenangkan perhatian yang lain.

Baca juga: Citraku Pada Pilkada Serentak 2020: Dramaturgi Goffman Terhadap Para Calon Kepala Daerah

Jika kita mau membayangkan, ketika si wanita tadi kecewa terhadap sifat-sifat suaminya, pasti sebelumnya dia tidak tahu pada sifat-sifat suaminya yang tersembunyi di balik bilik backstage. Hal ini akan berakibat pada kekecewaan yang mendalam karena ekspektasinya yang salah ketika mengetahui sifat-sifat suaminya yang asli. 

Hubungan antara kedua individu ini hanyalah sebuah drama yang dipentaskan di panggung sosial. Representasi diri suaminya sebelum menikah selalu menampilkan hal-hal yang baik---yang bisa memesonakan sang wanita. Namun hal ini hanyalah sebatas pertunjukkan drama, di mana lelakinya sebagai aktor dan si wanita sebagai audiens. 

Pada akhirnya, hal ini sangat berbeda ketika mereka sudah menikah, di mana sang wanita akhirnya tahu sifat-sifat sang suami yang sebelumnya terselip di backstage.

Dramaturgi selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi setelah merebaknya aktivitas sosial di media sosial, seperti Instagram. Kita tidak bisa menilai seseorang dengan apa yang ditampilkannya di Instagram karena itu hanyalah sebuah frontstage yang terkesan artifisial.

Di Instagram juga selalu hadir berbagai macam kepalsuan yang sedang tren dikenakan. Jika kita ingin mengenal seseorang lebih jauh, kita harus mengakrabkan diri terlebih dulu melalui pertemuan nyata agar identitas aktual bisa dilihat dengan jeli. 

Saya rasa, konsep dramaturgi Erving Goffman sangat relevan dalam kehidupan yang dibumbui dengan beragam kepalsuan pada jaman sekarang ini. Semoga kalian bisa memahami, memperkaya refleksi, dan membantu dalam menemukan berbagai fenomena sosial ini secara lebih luas.

Referensi:

  • Ritzer, George dan Jeffrey Stepnisky. 2019. Teori Sosiologi, edisi ke-10. Penerjemah: Rianayati Kusmini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  • Kurniawan, Kevin Nobel. 2020. Kisah Sosiologi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
  • Melati, Metta Rahma. 2016. "Analisis Konsep Dramaturgi Erving Goffman dalam Pola Penggunaan Ruang Publik Kafe oleh Mahasiswa di Kota Surakarta". Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun