Mohon tunggu...
Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Suka makan ikan tongkol

Hari ini adalah besok pada hari kemarin

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Kelahiran Semua Musim

13 Februari 2020   23:10 Diperbarui: 13 Februari 2020   23:16 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: twitter.com/avogado6

Aku dan kau berjumpa tanpa kita mau; bersama peduli tanpa kita sadari. Kita tersungkur dalam alur yang terbujur, dan memanen rasa yang kita tabur.

Masihkah kau sanggup memelukku dalam doa? Atau dengan lugasnya kata-kata? Mungkin penuh makna? Bahkan tarian rima?
Mungkin kita adalah satu kesatuan yang selalu mengharapkan sebuah temu, dalam pemaknaan semu; kita berlarian mengelilingi taman dengan bunga yang layu; namun tidak dengan cintaku.

Kala daun-daun berjatuhan, kita sama-sama memandang daun yang kering kerontang; menyerah pasrah, lalu mengaku kalah. Kita terdiam hingga malam menjelang, sama-sama membisu hingga samudera kering dan dipenuhi sesak air matamu.

Kala musim hujan tiba dan singgah di hatimu untuk sementara waktu, kutanyakan kepada engkau: bukankah kau menyukai air hujan? Mengapa kau hindari berjuta air hujan yang keluar deras dari sudut-sudut matamu yang menduga sebuah akhir yang tak pasti? Pertemuan tak dapat dihindarkan; perpisahan tak mungkin terbantahkan. Kita akan baik-baik saja. Jikalau tidak, mungkin itu bukanlah sebuah akhir; yang tanpa kita sadari, kita sudah menduga sebuah akhir dari kebenaran yang tak teruji.

Kala musim panas tiba, ketika terik matahari menyinari sisi sebagian dunia, termasuk dirimu yang hampir padam di ujung gelap, tak satupun angin yang berembus bercabang, untuk sekedar memberi keindahan sebongkah kejutan, bagaikan surya di ujung petang. Warna jingganya mengelabui mata dengan kedipan estetika. Jangan kau ragukan peluh yang menetes ragu dalam sayu sorot matamu. Kisah ini cerah: bawalah sedikit cintamu untukku, lalu kuteguk mesra sebagai obat rasa rinduku, yang kubasuh dengan air mata kebahagiaanku.

Suaramu menenangkan lorong kalbu. Begitu tenang, dan bermuara tepat memenuhi isi kepalaku. Sorot matamu mengingatkanku, pecahnya rasa cintaku dalam membunuh keheningan malam. Lalu mengapa kau masih saja bermuasal dari kisah yang sama? Bukankah kita ini berbeda?

Ketakutan menjadikanmu seseorang yang asing bagi semua musim,
Keluarlah dari tempatmu, berdiri tegak; menyerap kata, menuai makna, menuju keabadian masa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun