Mohon tunggu...
Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Suka makan ikan tongkol

Hari ini adalah besok pada hari kemarin

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kehidupan, Akankah Bertahan?

17 Januari 2020   11:31 Diperbarui: 17 Januari 2020   11:34 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Burung-burung menyanyi dengan satir, lirih, dan sarkas, tak ubahnya sebuah pohon tua yang memekik luruh, atas kebebasannya. Udara pagi tak sejenuh apa yang dibayangkan, sinar surya menembus arus udara; melewati celah-celah jendela dan membentuk satu garis lurus; indah, dan begitupun nyanyian raya, bersatu dalam wajah kedamaian semesta.

Tak ubah pandanganku pada dunia ini, tempat di mana aku bisa pulang dan kembali dengan wajah berseri. Para petani dengan celana lusuh dan baju yang kusut; wajah yang bangga dan menolak carut-marut; membentang sawah dan percikan air sungai; bunyi cangkul dan rumput yang menari, dalam satu ruangan luas mereka berkompetisi tuk bersatu menyambut hari.

Gunung yang tak satupun kabut berani membiasnya; mentari yang mengintip dari balik badan gunungnya; telah berpijak awan putih dan berdiam tepat di atas langit yang biru; cerah dan nampak malu-malu.

Kini, aku hampir kembali pada dunia gelap; bahkan layu dan hampir tamat. Hatiku berseru menolak kepergian, namun raga menuntut bahwa mimpi tidak hanya berjalan di tamannya sendiri. Aku akan kembali kepada padamnya nyanyian alam, gedung yang membentang kelam, dan udara kotor yang menyambutku dengan salam. 

Aura panas dan kedengkian; tak ubahnya parang yang memenggal seutas keraguan, pada hati yang menolak kepergian. Aku melebur bersama jalan raya, bertemankan sederet hak-hak yang teraniaya, kesenjangan kehidupan yang membuat hati berteriak atas kejamnya dunia; buruh-buruh yang bekerja tuk penuhi nafkah keluarga, di tengah kehidupan menjijikkan dan tak lain merupakan neraka kehidupan; kita bagaikan domba telanjang yang menjadi budak di bawah bayang-bayang tuannya, hanya demi seonggok nasi tuk penuhi nutrisi hari demi hari. 

Anak kecil mengamen di persimpangan, orang tua menjual koran di perempatan, gembel-gembel menaruh harapan di jalanan; senyum kepalsuan, tarian bersemayam dalam bayangan muram, hati yang remuk redam; semua hanya untuk memenuhi tugasnya menjadi manusia: bahwa hidup harus tetap dilanjutkan.

Beginilah, tangisku pada asap-asap yang membutakan, orang-orang yang acuh, individualis, dan sadis; panas, keramaian, hati yang dengki; frustasi, bingung, dan hampa dalam kesia-siaan.

Kita adalah warna lain di ambang hitam dan putih; menggenggam seikat dendam dan dipaksa untuk menikmatinya; masih sempat menerka rindu di bawah payung kemanusiaan; di dalam penjara panjang yang tak berkesudahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun