Mohon tunggu...
Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Suka makan ikan tongkol

Hari ini adalah besok pada hari kemarin

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Manusia di Ambang Keterasingan

14 Januari 2020   22:28 Diperbarui: 15 Januari 2020   18:50 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada malam-malam yang sehangat perapian; hangat dan nampak mencekam di perjalanan panjang. Ratapan-ratapan muram yang kita khawatirkan, takkan selesai walaupun waktu habis ditelan peradaban.

Kita telah sampai di persimpangan. Enggan melepas harap, namun hati semakin berkarat. Tak ada satupun ungkap yang kita tinggal dalam perapian, sebagai bukti bahwa kita pernah menjadi manusia, walau tak menemukan kepastian.

Kita berjalan; tak melekat; bahkan lambat. Kita berdiri di atas hasrat akan materi, pertimbangan akan pandangan, modus eksistensi yang bertumpu pada keramaian; bising dan seolah mempedulikan.

Kita duduk dan meratapi kehidupan; di tepian jalan, kita anggukkan kepala dan menyambut hari depan. Tetapi apa? Yang kita dapatkan hanyalah ilusi kepedulian, hasrat semu kebahagiaan; kita hanya menemukan identitas diri yang menghancurkan. Kita kehilangan arah; kehilangan naluri; kehilangan daya; kehilangan asumsi; kehilangan diri sendiri; kebebasan kita telah mati.

Inilah kesalahan kita: bertumpu pada pandangan orang, bersikukuh dalam kesementaraan; bersemayam dalam keangkuhan; melakukan sesuatu yang bahkan tak membahagiakan; bahkan yang lebih menyakitkan: terabaikan dalam ketiadaan. Kita hanya mempedulikan keberadaan melalui nilai-nilai dari dunia luar. Kita tak pernah menanamkan nilai pada dunia kita sendiri.

Sampai di ujung jalan, kita bertepuk tangan atas angkara dunia; cinta-cinta yang tertunduk lesu; bertransformasi menjadi sesuatu yang keji dan teralienasi. Sampai akhirnya dunia menyadari bahwa kita tidak pernah saling mencintai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun