Sekarang sedang ramai dibicarakan perihal sistem zonasi PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru). Orang-orang khususnya orang tua wali murid banyak yang kecewa atas kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah ini."Sekolah negeri adalah milik publik yang tak bisa disekat karena kepintaran, kelompok masyarakat ini atau itu. Makanya ditetapkan zonasi, karena itu yang paling masuk akal." ujar pakar pendidikan, Itje Chodidjah, di Jakarta Pusat, Rabu (19/06/2019). -dikutip dari pernyataannya yang ditulis di tirto.id.
Di Jawa Timur, para wali murid berkumpul membentuk barisan demonstran untuk menuntut agar sistem zonasi dihapuskan. "Padahal rata-rata pendaftar memiliki nilai yang bagus-bagus. Anak kami nilainya bagus, tapi gagal masuk ke sekolah negeri. Ini tidak adil. Makanya kami mendesak pemerintah untuk menghapus sistem zonasi itu," kata Ratna, salah satu wali murid yang ikut demo. -dikutip dari medcom.id, dengan judul "Dindik Jatim Hentikan Sementara PPDB Sistem Zonasi".
Menurut saya, pemerintah memiliki niat yang baik dalam rangka pemerataan kualitas pendidikan di seluruh pelosok negeri. Hal serupa juga terjadi di Finlandia, yakni negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia. Pemerintah daerah di Finlandia juga tegas dalam otorisasi untuk menerapkan sistem zonasi. Namun, sekolah negeri di Finlandia sudah merajalela. Kalau ada sekolah swasta pun itu juga sama kualitasnya dengan sekolah negeri lainnya. Di sana tidak ada pemeringkatan kualitas sekolah, juga pemerintah bertanggung jawab atas dana pendidikan yang digelontorkan demi tercapainya kualitas pendidikan di sana. Mungkin pemerintah Indonesia berencana untuk meniru apa yang menjadi sistem pendidikan di Finlandia.Â
Ada maksud yang baik untuk hal tersebut. Tapi nampaknya pemerintah Indonesia kurang memperhatikan apa yang menjadi pokok permasalahan sistem pendidikan dalam negeri tercinta ini. Di samping kurangnya sekolah negeri pada pelosok-pelosok wilayah, mutu dan fasilitas pun masih tergolong sangat kurang.Â
Sekolah-sekolah masih berkumpul pada suatu wilayah tertentu, yang menyebabkan wilayah tersebut dipenuhi dengan sekolah. Sedangkan di wilayah lain masih banyak yang tidak memiliki ruang pendidikan yang memadai. Belum lagi kualitas pendidik yang tidak merata serta minat literasi masyarakat yang masih rendah.
Kebijakan ini terlalu cepat bagi pendidikan di Indonesia yang belum kondisional. Hal ini juga mengekang kebebasan siswa untuk memilih apa yang sudah menjadi keputusan untuk masa depan mereka sendiri. Kecerdasan dan usaha keras yang mereka usahakan lenyap digilas oleh anak-anak yang santai-santai saja dengan nilai ujian yang tergolong rendah, namun rumahnya dekat dengan sekolah yang berkualitas. Tentu saja ini menyebabkan rasa ketidakadilan. Infrastruktur pun belum merata sehingga akses pendidikan di wilayah tertentu belum ada atau belum memadai.
Ingat, hidup adalah sebuah jalan yang ditempuh untuk sebuah perjuangan. Setiap orang yang ingin mendapatkan apa yang sudah ia impikan, maka ia harus belajar dan berkompetisi dengan pesaing yang lain. Lingkungan juga mempengaruhi siswa untuk berkembang menjadi lebih positif atau lebih negatif. Di samping itu, kebijakan ini juga dapat menurunkan kualitas sekolah yang tadinya berkualitas menjadi turun atau bahkan melorot drastis.
Demokrasi seharusnya membebaskan warga negaranya untuk memiliki hak dalam memilih keputusannya secara personal atau individu. Demokrasi juga menyetarakan hak-hak warga negaranya. Setara dalam hal ini lebih fokus terhadap persamaan hak dalam memperoleh apa yang seharusnya diperoleh--dalam hal ini, fokusnya ke pendidikan--, namun bukan berarti mengekang kebebasan setiap orang untuk memilih pendidikan mana yang pantas ia peroleh sesuai dengan prestasi yang sudah ia hasilkan dan usahakan.
Jika pemerintah ingin agar pendidikan di Indonesia sama rata, sama dalam hal kualitas dan mutu, sebaiknya pemerintah fokus terlebih dahulu terhadap kualitas pendidik ataupun calon pendidik, juga memperhatikan fasilitas yang belum memadai agar segera dilakukan pembangunan pada sekolah-sekolah di wilayah pelosok negeri.Â
Hal ini akan membuat calon siswanya menjadi senang dan semangat jika sekolah mereka ternyata memadai dengan konsep pendidikan yang mereka inginkan. Siswa yang berprestasi pasti ingin lebih meningkatkan kualitas individunya agar lebih berkembang dan menjadi lebih baik dari pribadi yang sebelumnya. Setiap siswa yang cerdas berhak menentukan pilihannya sesuai dengan apa yang ia impikan.
Sebaiknya, kebijakan zonasi ini ditunda terlebih dahulu. Pemerintah harus memperhatikan kondisi sekolah, mulai dari tenaga pengajar, fasilitas pendidikan, kualitas dan mutunya. Di Finlandia pantas menerapkan sistem zonasi ini karena kualitas dan fasilitas serta lingkungannya sudah memadai dan merata. Sedangkan di Indonesia sendiri, kualitas dan fasilitasnya saja masih belum memadai. Belum lagi sekolah swasta lebih banyak daripada sekolah negeri. Biaya antara sekolah satu dengan yang lain pun masih berbeda. Ada yang tergolong mahal, ada yang murah dan lain-lain. Kualitas siswa yang tadinya cerdas akan menurun seiring dengan keadaan sekolah yang belum memadai dan tidak kondusif.Â